Hampir di setiap September hingga 1 Oktober, masyarakat Indonesia seperti dijejali serangkaian perdebatan mengenai apa yang disebut malah jahanam G-30-S. Bukanya tanpa alasan, sebab pasca reformasi 1999, keterbukaan informasi menyebabkan banyak sekali koreksi kritis terhadap apa yang yang selama 32 tahun orde baru lakukan khususnya pada peristiwa 30 september yang menjadi fundamentalis berdirinya rezim Orde Baru.
Ketika G-30-S meletus dan menewaskan 6 jendral AD, 1 perwira pertama AD, 1 perwira menengah AD, 1 perwira tinggi AD dan 1 perwira pertama Kepolisian, pemerintahan Bung Karno sebenarnya masih percaya bahwa tragedi tersebut tak lain dan tak bukan bagian dari usaha merongrong kedulatan dan ketertiban NKRI. Tragedi tersebut tak ubahnya seperti pembrontakan PRRI/PERMESTA, DI/TII, PKI 48 dan Agresi Militer 2, kata Bung Karno G-30-S seperti riak ditengah samudra, sedikit bergelombang, namun akhirnya akan hilang jua.
Namun semua berubah ketika desas desus semakin santer terdengar bahwa para kombatan PKI dan para perwira progesiflah yang mendalangi dan melancarkan coup de'etat G-30-S. Sebagaimana kita tahu bahwa PKI adalah salah satu tiang penyangga madzhab politik di Indonesia kala itu. Bung Karno yang kemudian menjalankan demokrasi terpimpin, menyematkan NASAKOM (nasionalis, agama, komunis) sebagai  madzhab politik berskala nasional, sehingga komunis masuk dan ambil bagian sebagai salah satu perumus kebijakan strategis negara, yang dalam hal ini diwakli oleh PKI.
Jika dalam hal ini kabar mengenai keterlibatan PKI dalam G-30-S benar adanya, maka stabilitas nasional akan terganggu. Chaos kemungkinan akan terjadi dan berpengaruh pada segala aspek kehidupan masyarakat. Bung Karno yang masih berfikir secara cermat, tak mau tenggelam dalam rumor, ia pada akhirnya secara tegas meminta semua pihak untuk menahan diri dan menghindarkan diri dari berbuat anarkis, sebagaimana arahan Bung Karno dalam Komando Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi tentang Tindakan Pengamanan Revolusi, tertanggal 21 Oktober 1965. Yang kemudian diikuti dengan keterangan lebih lanjut mengenai G-30-S oleh Bung Karno:Â
"Untuk saat ini belum Saya anggap wakunya (menyimpulkan siapa dalang G-30-S), sebelum Saya mempunyai Darstellung (presentasi) daripada semua fakta -fakta proloog, fakta-faktanya sendiri, fakta epiloog."
Apa yang Bung Karno katakan dan harapkan adanya kurang mendapat respon dari sebagian bawahannya, terutama Angkatan Darat yang memang sudah sejak lama memiliki dendam kesumat lahir batin dengan PKI. Memanfaatkan desas desus tersebut dan segera membikin fakta yang sesuai dengannya. Terlebih pembentukan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (kopkamtib) yang diserahkan pada Mayjen Soeharto tak berjalan mulus, pasalnya dengan mandat tersebut ia malah membredeli sedikit demi sedikit kekuasaan dan kedikdayaan Bung Karno Sang Presiden. Dengan alasan keamanan dan ketertiban pula, baik AD maupun Kopkamtib menutup seluruh media dan dalam pengawasannya, satu-satunya sumber berita kala itu hanya koran Angkatan Darat dan Berita Yudha besutan militer (AD).
Tak hanya itu, serangkaian operasi dan perintah militer (AD) yang kelewat batas, pun mewarnai hari-hari pasca G-30-S, petinggi PKI ditangkap, bahkan dibunuh, simpatisan partai di semua lembaga yang terindikasi berada pada naungan PKI ditangkapi, ditahan, diasingkan, bahkan dihilangkan nyawanya tanpa pernah sekalipun diadili, tokoh-tokoh berpengaruh yang kiri, baik politikus, seniman, birokrat, teknokrat semuanya dibrangus dan dijebloskan ke penjara, bahkan banyak diantara mereka dibuang dan dijadikan tahanan politik. Yang paling membikin geram Bung Karno, bahkan Pangkopkamtib (Mayjen Soeharto) mendemisionerkan sejumlah 15 menteri loyalis Bung Karno (dengan tertuduh PKI dan dengan alasan keamanan). Pada akhirnya Bung Karno sadar bahwa riak yang dulu ia anggap kecil (G-30-S) dengan singkat berubah menjadi gelombang tsunami yang siap menggilas apa saja yang ada dihadapannya, termasuk Bung Karno sendiri. Â
Puncaknya ketika pidato pertanggungjawaban Bung Karno yang ia beri judul Nawaksara ditolak MPRS pada 22 juni 1966, MPRS yang kala itu di bawah kendali militer meminta Bung Karno untuk memberikan pertanggungjawabanya terhadap G-30-S, meskipun dengan berat hati Bung Karno menerimanya. Pada pidato tambahan pertanggungjawabanya pada 10 januari 1967 ia menjelaskan secara gamblang mengenai pandangannya terhadap G-30-S, yang dalam versinya ia beri nama GESTOK (Gerakan Satu Oktober), kemudian ia juga memberikan analisis yang ia dapatkan beserta tim independen buatannya tentang penyebab utama GESTOK; Keblingeran pimpinan PKI, subversi nekolim dan adanya oknum-oknum yang tidak benar. Meski begitu pidato pertangunggjawabannya tetap tak diterima oleh MPRS, yang kemudian berakibat pada dilengserkannya Bung Karno dari kursi kekuasaan. Â
Melawan Narasi Pemerintah
Selama 32 tahun berkuasa, rezim orde baru menanamkan kepada masyarakat bahwa komunisme adalah terlarang. G-30-S yang kemudian dipatenkan menjadi percobaan coup de'etat PKI pun dikramatkan menjadi tragedi yang dihancurkan oleh azimat Panca Sila. Bahkan saking kramatnya G-30-S, sampai-sampai rezim orde baru menamai tragedi ini dan memperingatinya sebagai Hari Kesaktian Pancasila, yang kemudian ditentang oleh sejarawan sekaligus peneliti senior LIPI Prof Asvi Warman Adam. Ia mengatakan bahwa apa yang terjadi pada 30 September maupun 1 Oktober sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan ideologi Panca Sila, tragedi itu murni soal perebutan kekuasan, membunuh atau dibunuh, mendahului atau didahului.
Selain itu atas perintah Mayjen Soeharto pada 1980 ia meminta agar dibuat monumen di Lubang Buaya dan mengadakan upacara peringatan di sana. Narasi pemberangusan komunis pun semakin masif dikalangan pemerintah, militer bahkan sipil. Hak-hak asasi mereka yang dianggap PKI dan ter-PKI-kan pun dirampas, mereka dianggap keji, musuh masyarakat bahkan negara. Menghilangkan nyawa mereka adalah jiwa patriot membela bangsa dan negara di bawah panji Panca Sila.
Pada tahun-tahun berikutnya sampai pada keruntuhan orde baru, pembersihan terhadap kaum kiri dan yang dianggap kiri semakin gencar dilakukan, bahkan labelisasinya pun menjadi sangat mudah. Orde baru yang memanfaatkan Panca Sila sebagai falsafah induk negara membuat siapa saja yang mengingakari kebijakan negara maka sama saja dengan mengingkari Panca Sila dan siapa yang mengingkari Panca Sila maka ia komunis, dan barang siapa komunis maka tidak ada tempat baginya di masyarakat. Pada akhirnya G-30-S yang seharusnya tamat dan hancur pada 3 oktober, oleh Mayjen Soeharto (Pangkopkamtib) dan militer (AD) diperpanjang demi suatu hasrat yang entah seberapa besarnya untuk menguasai negara. Mengutip tulisan Geoffrey Robinson dalam bukunya Sisi Gelap Pulau Dewata; Sejarah Kekerasan Politik, bahwa G-30-S adalah kudeta yang dikudeta. Hiperbola demi kepentingan pribadi semata.
Pasca reformasi 1999, akses keterbukaan informasi mulai membuat angan dan harap muncul kembali. Narasi-narasi yang selama 3 dekade mereka dendangkan, akhirnya mulai sirna, meski masih ada saja orang-orang yang mendengar dan mempercayainya. Sedikit demi sedikit fakta sejarah mulai nampak, bangkai-bangkai kebohongan yang dikubur mulai tercium aroma busuknya. Penelitian dan pelurusan sejarah gencar dilakukan. Hasilnya cukup mencenangkan. Hampir sepanjang penghujung akhir tahun 1965 sampai akhir 1966 hampir 1 juta orang yang dianggap PKI dihilangkan secara paksa, entah dibunuh atau dibuang ke pengasingan. Angkanya memang tidak pasti, Bung Karno mengatakan dikisaran 3-5 ratus ribu, para sejarawan pada angka 6 ratus ribu - 1 juta jiwa, Kol Sarwo Edhi, Panglima Penumpas PKI mengatakan bahwa jumlahnya 3 juta jiwa. Bahkan menurut seorang peneliti sejarah 65, Prof Jhon Rossa, kasus penghilangan paksa pada 1965-1966 atau ia sebut pembantaian tersebut adalah kejahatan genosida terbesar kedua era modern setelah pembantaian yahudi di kamp kosentarsi NAZI; Holocust. Tentunya selain jumlah korban ini, fakta juga mengungkap bahwa PKI bukanlah satu-satunya aktor sebagaimana yang dilabelkan oleh Orba, tetapi ia hanya satu dari sekian banyak faktor, dan mungkin sekali hanya menjadi kambing hitam dari proses perebutan kekuasaan tingkat tinggi. Â Â
Menanti Secercah Harapan Yang MustahilÂ
Sebagai warga negara Indonesia, sikap kita tentu mengutuk para pelaku pembunuhan pada G-30-S. Namun masalahnya jika mereka yang kita kutuk justru bukanlah pelaku atau minimal bukan bagian dari pelaku G-30-S. Kesalahan militer (AD) waktu itu dan orde baru adalah mereka menyembunyikan fakta-fakta yang harusnya mereka beberkan pada khalayak saat itu juga. Demi menuruti hasrat kekuasan mereka, gegabah dan terburu-buru akhirnya membawa kehancuran dan cilaka.
Diawali dengan laporan pada Cornell Paper 1987 tentang Indonesia yang dibuat oleh Ben Anderson seorang Indonesianis yang menyatakan bahwa G-30-S adalah murni konflik intern AD, kemudian disusul dengan ratusan bahkan ribuan data, fakta, dan kesaksian lainnya pasca reformasi, terlebih setelah banyak dokumen rahasia dideklasifikasikan oleh Pemerintah Amerika, Jepang, Inggris, Tiongkok, Jerman, Rusia dan Cekoslovakia, semakin mengisi rentetan missing link tragedi berdarah G-30-S. Yang dirasa paling runtut, jelas dan netral menjelaskan apa yang sebernya terjadi adalah buku karangan Prof Jhon Rossa, bukunya dalam bahasa Indonesia : Dalih Pembuhuhan Massal. Bukunya sempat dilarang dan dibekukan oleh Kejaksaan Agung pada 2009, namun pada 2010 MK memutuskan bahwa pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung bertentangan dengan UUD 1945, sehingga pelarangan buku Jhon Rossa batal. Selain itu masih banyak lagi baik berupa buku, skripsi, desertasi, tesis, dan karya ilmiah lainnya yang menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada G-30-S.
Namun poin terpenting dan patut digaris bawahi oleh semua masyarat dewasa ini adalah fakta bahwa G-30-S pada akhirnya menjadi legitimasi bagi penangkapan, pengasingan, pemenjaraan, penyiksaan dan pembantaian lebih dari 1 juta orang tanpa diadili dimuka peradilan yang sah. Dalam posisi ini saya pribadi tidak menjadikan PKI sebagai korban, tapi lebih memberikan waktu dan tempat bagi mereka yang dianggap PKI oleh orde baru dan stigma yang terus berlanjut hingga kini untuk bersuara dan memperoleh hak-haknya yang telah dirampas. Disatu sisi saya mengutuk keras terhadap pelaku pembunuhan para jendral AD, perwira AD dan polisi, namun di sisi lain saya pun sebagai manusia tetap tidak bisa membiarkan dan memberikan legalitas serta pembenaran pada apa yang dilakukan militer (AD), Mayjen Soeharto (Pangkopkamtib dan Presiden) dan para pelaku lainnya terhadap anggota, simpatisan, dan keluarga PKI, terlebih pada mereka yang di PKI-kan.
Sepanjang saya membaca berbagai informasi, saya berkesimpulan bahwa otak daripada apa yang disebut G-30-S adalah samar, penuh ketidakjelasan dan berkabut hitam, namun otak dan pelaku penengkapan, pengasingan, penyiksaan, pemenjaraan, penghapusan hak-hak asasi dan pembantaian pada sejutaan anggota, simpatisan, dan keluarga PKI, terlebih pada mereka yang di PKI-kan jelas, terang benderang dan tidak dapat disangsikan.
Pasca kejatuahn rezim orde baru, pemerintah masuk dalam fase yang lebih terbuka dan menerima kritik dari masyarakat secara luas. Hal itu juga yang memaksa Soeharto dan kroninya diseret ke meja hijau. Namun sayang, sebanyak informasi dan pengetahuan yang saya dapatkan, Pak Soeharto dan kroninya lebih banyak dituntut di muka peradilan atas kasus-kasus yang berbau korupsi, kolusi dan nepotisme, sedangkan untuk kasus-kasus HAM jarang sekali diadili. Padahal jika berkaca pada data dan fakta yang ada, menurut komnas HAM dan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan) setidaknya ada 10 kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pak Soeharto, baik sebagai Pangkopkamtib maupun Presiden. Termasuk didalamnya ada kasus kekerasan 1965-1966 tentang penculikan, penangkapan, pengasingan, dan pembantaian massal anggota, simpatisan dan keluarga PKI serta mereka yang di PKI-kan.
Gus Dur-lah yang kemudian pertama kali mewakili negara (saat menjabat Presiden RI ) menyatakan permohonan maaf pada para korban kekerasan 65 (meski akhirnya hal itu kembali diperdebatakn bahkan terkesan dieliminasi oleh NU sendiri), namun setidaknya membawa angin segar bagi keadilan dan pengembalian hak-hak yang terlanjur dirampas. Upaya rekonsiliasi pun terus digalakkan oleh berbagai pihak demi keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara yang menghargai hak-hak asasi.
Namun setiap upaya-upaya rekonsiliasi muncul, pun ketika negara mendukung, suara-suara sumbang tetap terdengar. Labelisasi, pembengkokan sejarah dan propaganda terhadap PKI kala itu yang membuatnya menjadi musuh bersama telah menumbuhkan stigma yang luar biasa kuat, akibatnya siapa saja yang pada pemikirannya melawan arus, maka bisa dipastikan ia masuk dalam golongan PKI, minimalnya berpaham komunis atau setidaknya ia progresif. Mereka yang menolak rekonsiliasi biasanya berkaca pada kejahatan PKI di masa-masa sebelumnya, seperti pembrontakan PKI 48, Lekra (lembaga kebudayaan rakyat) yang mementaskan drama yang menghina tuhan, kasus Kanigoro, kasus Gontor dan mungkin kasus-kasus lainnya yang membuat ingatan mereka akan kekejaman PKI tak akan pernah terhapus. Selain akibat tersebut, ada lagi akibat lain yang ditimbulkan yaitu adanya labelisasi bagi mereka yang berusaha meng-counter narasi pemerintah (32 tahun orde baru) tentang kebiadaban PKI dan keberhasilan rakyat bersama militer (AD) menumpasnya, justru dianggap bagian dari PKI, antek komunis atau bahkan buzzer antek aseng.
Setelah Gus Dur, sebetulnya pada November 2015, mereka yang menamai dirinya sebagai Tribunal Rakyat Internasional, bertempat di Den Haag, Belanda mengadakan peradilan untuk mengakhiri impunitas kasus kejahatan dan kekerasan '65, meski telah memberikan amar putusan, Pemerintah Indonesia menolaknya. Hal ini di karenakan IPT tidak mengikat secara mekanisme hukum dengan Pemerintah Indoneisa dan dalam kebijakan negara-negara yang menghormati HAM, mengambil tindakan terhadap pelanggar HAM adalah keputusan dengan menyesuaikan sistem hukum yang berlaku di negara tersebut.
Setelah usaha IPT gagal, pada 2016 Simposium '65, yang menghadirkan korban, pelaku, saksi dan semua yang terkait peristiwa '65 digelar, meski publik terpecah antara pro dan kontra, melalui simpoisum ini pemerintah pada akhirnya menetapkan standarisasi penyelesaian kasus HAM di masa lalu, utamayan kasus kekerasan '65, yaitu dengan menempuh penyelesain non-yudisal, prinsipnya sederhana memaafkan tapi tidak melupakan. Agaknya ini harapan terakhir yang bisa diraih, apakah nanti ia akan berubah menjadi sebuah kenyataan, saya kira itu adalah mukjizat Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sebagai penutup, saya pribadi merasa apa yang saya tulis masih jauh dari kata sempurna. Modal saya hanya membaca 3 buku secara utuh (dari 100-an buku tentang peristiwa '65) mengenai G-30-S, puluhan jurnal dan artikel terkait (dari ribuan jurnal dan artikel ) serta video wawancara dan film. Namun satu yang pasti, modal utama saya adalah mencoba memberikan perhatian pada kasus-kasus HAM di masa lalu dan penyelesaiannya oleh negara, hanya saja secara kebetulan kasus G-30-S dan peranakannya (kekerasan '65), saya jadikan contoh betapa sulitnya kasus-kasus HAM diselesaiakan dengan adil. Dan yang terpenting lagi adalah bagaimana kita generasi muda untuk bisa melihat sebuah peristiwa sejarah dengan pandangan yang luas, bukan lagi menjadikan sejarah sebuah doktrin yang selalu kita iya-kan, akan tetapi betul-betul menjadi sebuah kitab kebijaksanaan bagi kehidupan kedepannya. Sejarah bukan menjadi sebuah trauma yang menakutkan tetapi juga menjadi pembelajaran kedepan bahwa hal buruk di masa lalu jangan sampai terjadi lagi. Itulah pembelajarn sejarah yang penting. Jayalah Indonesiaku. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H