Benar saja, penolakan yang kian santer terdengar bahkan terkesan harga mati ditunjukan oleh semua lapisan masyarakat mayoritas, mulai dari MUI yang bahkan siap memfatwakan jihad dan demo besar- besaran, seperti kasus Ahok dulu, disusul ormas keagamaan seperti NU dan Muhamadiyah, ormas kepemudaan seperti GP Ansor, KOKAM, dan Pemuda Panca Sila, juga banyak dari kalangan purnawirawan TNI, mahasiswa, politisi, akademisi, bahkan dari fraksi parpol di DPR itu sendiri.
Tentunya sebagai negara demokrasi, isu-isu perbedaan dan silang pendapat sudah sewajarnya menjadi konsumsi publik dan harus secara luwes serta legowo dalam hal penyelesaiannya. Sayangnya polemik ini justru semakin memperkeruh keadaan masyarakat ditengah-tengah pandemi, bahkan kenyataan dilapangan RUU ini dijadikan sebagai komoditas politik yang siap diedarkan oleh para oknum nakal demi mendulang suara masyarakat.Â
Parahnya lagi beberapa fraksi di DPR yang semula menyetujui bersyarat RUU ini, justru balik badan dan melakukan penolakan yang keras serta dibarengi dengan menyudutkan fraksi lain atau bahkan individu yang dianggap biang dari RUU ini, contoh saja fraksi PKS yang pada sidang paripurna ke-17, 18 juni lalu tiba-tiba mengintrupsi sidang dan menyatakan penolakan fraksi dan meminta membatalakan pembahasan RUU ini, padahal kita ketahui bahwa sedari awal fraksi PKS pada rapat baleg dan panja setuju dengan RUU ini meski mencatutkan banyak syarat, bahkan dalam paripurn ke-15 semua fraksi kecuali demokrat sepakat menjadikan RUU ini sebagai inisiatif DPR dan siap dilanjutkan pembahasanya pada tingkat selanjutnya. Ini hanya contoh kecil dari akrobat dan manuver politik yang dilakukan fraksi-fraksi di DPR seolah-oleh sikap dan keputusan mereka wujud representasi aspirasi masyarakat.
Ini kemudian yang menjadikan polemik RUU HIP kian keruh di mata masyarakat, yang pada dasarnya mereka tidak terlalu memahami inti dan aspek pembahasan RUU ini, secara tiba-tiba langsung disodorkan oleh oknum jahat sebuah konklusi sepihak yang dikemas secara apik dan tak lupa diberi bumbu perasa agama, sehingga kesan dari menolak RUU HIP ini sama baiknya dengan membela agama tuhan dan sebuah amaliyah yang bakal memberikan feedback yang lumayan besar, hingga pada akhirnya dikhawatirkan penolakan RUU ini hanya dijadikan alat untuk sekedar memastikan suatu kekuatan politik dari klan tertentu tetap ada dan posisi mayoritas tetap mendapatkan suaranya. Â Â Â
Padahal jika benar bahwa RUU HIP sedari awal tidak akan mendapatkan dukungan mayoritas masyarakat, kemudian terbukti dengan lahirnya UU ini justru akan membawa bangsa pada ideologi komunis dan akan memburamkan posisi agama dalam negara, bukankah akan lebih elok jika kawan-kawan fraksi di DPR berbondong-bondong sudah angkat kaki dari pembahasan ini sedari awal dan menolaknya mentah-mentah, serta secara terstrukur, sistematis dan masif menginfokan ke masyarakat bahwa fraksi kami menolak pembahasan RUU ini karena dianggap akan mengubah arah haluan ideologi negara dan akan menimbulka polemik ideologi yang berkepanjangan, sehingga kesan fraksi tersebut di mata masyarakat pada akhirnya akan jelas dan tidak abu-abu. Â
Jika sampai akhirnya fraksi di DPR masih mengkhianati keputusan yang mereka sepakati, dengan tetap mempertontonkan pada khalayak ketidakdewasaan mereka dalam berdemokrasi dan tak lupa menunjukan akrobat serta manuver politiknya demi memungut pundi-pundi suara masyarakat, tanpa mencari solusi atas penyelesaian RUU ini, maka apa yang Alm Gus Dur katakan kembali benar, bahwa DPR tak ubahnya kumpulan anak-anak TK.
Seharusnya kenyataan RUU ini sudah masuk proglenas prioritas 2020 dan telah melalui pelbagai kajian serta analisis yang mendasar, serta mengingat bahwa ancaman degradasi nilai-nilai Panca Sila nyata adanya, harus disikapi secara bijak oleh semua stakeholder Pemerintah Indonesia. Maka menjadi penting bahwa keberadaan RUU ini patut mendapat kajian lebih lanjut serta analisis yang berkepanjangan sehingga pada akhirnya bisa diundangkan.
 Adapun kontroversi yang menyangkut beberapa pasal dalam draf RUU ini dikesempatan pembahasan selanjutnya bisa dikaji ulang, direvisi dan disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terlebih dengan adanya UU ini, kedepannya akan menjadi alat pelaksana bagi BPIP dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pembumian Panca Sila, sehingga ancaman degradasi nilai-nilai Panca Sila serta serangan negatif globalisasi bisa kita halau dan dapat menjadi semacam omnibus law atau aturan baku dalam membuat sebuah kebijakan bagi pemerintah dan DPR demi terwujudnya cita-cita bangsa Indonesia.
Pada akhirnya kedewasaan berdemokrasi seluruh jajaran pemerintah, baik legislatif, yudikatif, dan eksekutif maupun seluruh lapisan elemen masyarakat Indonesia akan kembali diuji, akankah polemik ini terselesaikan secara kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan atau justru akan terselesaikan dengan ego politik, fanatisme ekstrem dan sebatas membela kepentingan golongan tertentu? kita tunggu saja episode akhirnya. Salam Panca Sila dan Jayalah Indonesiaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H