Mohon tunggu...
felix satrio
felix satrio Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Pecinta Pendidikan, kebudayaan, kesenian, kemanusiaan dan Katolisitas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidik yang Mengenal dan Memberdayakan

11 Mei 2023   13:12 Diperbarui: 12 Januari 2024   09:38 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Berdasarkan ikhtisar data pendidikan 2015/2016 yang dikeluarkan kementerian pendidikan dan kebudayaan yang dimuat Kompas (2016), jumlah siswa yang tinggal kelas terbanyak justru berada di jenjang SD, dengan angka mencapai 422.082 anak, jumlah tertinggi di kelas I, sejumlah 194.967, kemudian terbanyak berikutnya ada di kelas II, sejumlah 89.561 anak dan kelas III,  sejumlah 65.493. Jika menilik pernyataan praktisi pendidikan Itje Chodidjah yang dimuat Kompas (2016), bahwa kemungkinan adanya keengganan guru SD kelas I mengajarkan menulis dan membacalah yang membuat banyaknya anak tinggal kelas pada siswa kelas I SD.  Kebenaran pernyataan tersebut memang perlu diteliti lebih lanjut, namun jika kita menelisik lebih lanjut, saat ini memang sudah jamak sekali anak-anak TK diajari calistung  supaya siap masuk SD, padahal secara umum, kelas 1 SD merupakan jenjang dimana anak-anak mulai belajar menulis dan memang faktanya banyak anak-anak masuk SD belum bisa membaca dan menulis. Bahkan dalam PP 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, terutama pasal 69 dan 70 jelas diatur bahwa dalam proses penerimaan siswa baru di jenjang SD tidak diperbolehkan adanya tes baca, tulis dan hitung (calistung).
Gap antara ekspektasi akademik dan kemampuan awal anak-anak di kelas I ini bisa diduga menjadi penyebab banyaknya anak SD yang tidak naik kelas. Permasalahan yang muncul, dengan tidak naiknya anak di kelas 1, tidak hanya akan menjadi masalah akademis saja. Dalam kajian psikologis, tidak naik kelas bagi anak-anak bisa menjadi psychological abused, atau siksaan psikologis. 

Menurut LaBier dalam Huffpost (2014), berdasarkan studi yang dilakukan American Psychological Association ketika psychological abused ini terjadi pada anak-anak, dampaknya akan sangat signifikan dan sangat lama. Permasalahan psikologis seperti kurangnya kepercayaan diri, depresi dan kecemasan berlebihan seringkali merupakan dampak dari psychological abused yang terjadi pada masa anak-anak, hal-hal itu tentunya mempengaruhi banyak aspek kehidupannya secara negatif.

Dari uraian tersebut bisa disimpulkan bahwa masalah tinggal kelas di usia dini, bukanlah masalah sepele. Sehingga harus dipahami oleh para guru dan juga para orangtua selaku pendidik, untuk selalu mencari solusi bagi permasalahan ini. Uraian sebelumnya tentang Learned Helplessness dalam tulisan ini, cukup menjelaskan salah satu faktor penyebab permasalahan akademik yang dialami anak-anak disekolah, termasuk didalamnya, permasalahan tinggal kelas.


Tawaran Solusi


Menghindari dan mengantisipasi anak-anak tinggal kelas dan bermasalah secara akademik, jika dikaitkan dengan Learned Helplessness. Ada beberapa hal yang perlu dipahami dan dilakukan oleh seorang guru maupun orang tua selaku seorang pendidik.

Pertama, harus disadari bahwa Learned helplessness dan tinggal kelas ini cukup berbahaya secara psikologis bagi anak-anak. Dengan kesadaran ini. Harapannya guru dan orangtua termotivasi untuk tidak menempatkan anak pada posisi berhadapan dengan capaian belajar yang tidak mungkin. Sehingga berpotensi gagal berulangkali. Apalagi ditambah dengan hukuman jika target tidak tercapai. Contohnya di kelas 1 SD, anak diminta menjawab soal isian berdasarkan bacaan, padahal anak tersebut belum bisa lancar membaca.

Kedua, konstruksi instruksional guru harus didasarkan pada kemampuan awal si anak dalam hal ini subyek didik. Salah satunya dengan menerapkan curriculum based assesmen (CBA), untuk memahami kemampuan awal siswa dalam materi pembelajaran yang akan dipelajari. CBA adalah pengukuran melalui serangkaian pengamatan dan rekaman atas kemampuan siswa dalam kurikulum yang digunakan. Hasil pengukuran tersebut digunakan dalam penyusunan skenario dan strategi pembelajaran (Deno, S.L., & Fuchs, L.S.,1987). 

Prinsipnya adalah bagaimana guru mengajar berangkat dari kemampuan awal siswa. Dalam contoh pertama tadi, di kelas 1 SD, anak diminta menjawab soal isian berdasarkan bacaan, saat anak belum bisa lancar membaca, hal ini seharusnya tidak terjadi, ketika guru menyadari bahaya Learned helplessness dan telah memahami kemampuan awal anak tersebut. Guru akan menggunakan bacaan yang ada untuk latihan membaca dan isian jawaban sebagai latihan menulis dengan pendampingan individual. Dibarengi dengan rewards atau pujian saat anak berhasil membaca dan menulis saat dalam pendampingan, sehingga ditengah ketertinggalannya, anak masih merasa nyaman dan dihargai oleh gurunya. Disini anak akan merasakan 'sensasi' merasakan keberhasilan. Anak  mempelajari optimism atau learned optimism. learned optimism sendiri adalah  teori mekanisme psikologi yang dikembangkan Seligman untuk mengatasi Learned helplessness.

Ketiga dan ini tidak kalah penting, untuk melakukan CBA dan menentukan skenario dan strategi pembelajaran. Guru harus benar-benar memahami konstruksi materi bahan ajar. Kembali pada contoh, di kelas 1 SD, anak diminta menjawab soal isian berdasarkan bacaan. Guru harus memahami bahwa sebelum mampu memahami bacaan, sesederhana apapun itu, anak harus lebih dulu mengenal dan membaca huruf, mampu membaca rangkaian huruf dalam kata, mampu membaca susunan kata dalam kalimat dan mampu membaca serta memahami kalimat dalam suatu paragraf, baru anak bisa diajak untuk memahami bacaan. Begitu juga untuk menulis jawaban soal isian, kemampuan anak dalam menulis kata harus dipastikan terlebih dahulu.  Pembelajaran harus mengacu pada teori hierarkhi belajar, bahwa ada komponen-komponen kemampuan yang harus dikuasai terlebih dahulu, bagi seseorang untuk mempelajari bagian yang lebih kompleks dalam pembelajaran  (Gagne & Driscool, 1998).

Tiga hal yang harus dipahami, disadari dan dilakukan dalam uraian diatas merupakan suatu dasar-dasar yang ditawarkan untuk mengatasi learned helpessness dan tinggal kelas. Tidak mudah memang, namun dengan kemauan yang keras untuk menciptakan optimisme dan gairah belajar, hal tersebut penting untuk dilakukan. Generasi pembelajar yang sehat, tidak mungkin tercipta dari proses yang menyiksa dan tidak memberdayakan. Mengenal kemampuan awal anak-anak dan subyek didik kita, memahami karakter mereka serta memberdayakan dalam artian membuat mereka untu memahami potensi yang mereka miliki dan bukannya mematikan kemampuan tersebut, sehingga membuat mereka tidak berdaya. Mengenal dan memberdayakan merupakan esensi dari proses pembelajaran yang bermartabat dan memanusiakan. Mengenal dan memberdayakan adalah kunci keberhasilan pendidikan.

Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun