Tulisan opini yang singkat ini hendaknya menggugah nalar kritis dan reflektif tentang arti sesungguhnya sebuah Demokratisasi dan Reformasi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa apapun dinamika dan fenomena yang lahir didalamnya.Â
Negara Indonesia memang sudah bisa dikatakan tua dalam kemerdekaan namun cenderung muda dalam demokratisasi.Â
Demokratisasi baru seperempat abad lebih sedikit, dimana memang perlu banyak belajar setelah 3 dekade lebih berkutat pada fenomena otoritarianisme yang mana cenderung terbatas pada ekspresi politik yang beragam dan berbeda.Â
Semua harus terkesan sepadan demi tujuan stabilisasi yang sebenarnya menjadi celah terjadinya penyelewengan dalam sebuah konsensus pemerintahan.Â
Ini yang harus dihindari maka perlu ada kekuatan penyeimbang yang sebenarnya bukan terkesan menjatuhkan melainkan sebagai teman untuk mengingatkan bahwa segala sesuatunya ada batasan dan dalam hal ini teman yang ada diluar tersebut bersama dengan masyarakat yang sebenarnya masyarakat itu pula lazimnya adalah oposisi.Â
Ingat, bahwa masyarakat itu sejatinya adalah 'The Real Opposition', masyarakat itu seharusnya memiliki sedikit ruang ketidakpercayaan dan ketidakpuasan atas segala sesuatu yang muncul dari segala bentuk inisiatif negara.Â
Hal ini harus terus dihidupkan dan dibuka ruangnya tentunya dengan menegaskan pada pentingnya ketertiban dan kondusivitas.Â
Negara harus hadir bukan untuk membatasi atau mengatur arah berpikir atau berpandangan, melainkan membuka ruang tersebut dan memastikan alurnya berjalan dengan benar. Kuncinya adalah keadilan bagi semua.
Demokrasi sejatinya bukan soal bagaimana kekuasaan itu memiliki legitimasi dari rakyat, melainkan memeliharanya agar bisa berkembang bebas dan luas namun konstruktif. Konstruktif dalam arti bahwa setiap suara rakyat dirasa harus menegaskan pada arah perbaikan secara bersama.Â
Bukan lantas pada konsep bagaimana mencari kesalahan, hal ini sebenarnya harus ditunjukkan pada elit-elit politik dan saling bertimbal balik dengan masyarakat yang mana cerminan politik Indonesia sendiri adalah cerminan diskursus di masyarakat yang selalu ingin menang sendiri dan lantas egoistik dengan yang lain.Â
Ini juga dirasa tidak benar, bahwa sejatinya narasi atau emosi untuk berkuasa harus bisa diatur sedemikian rupa. Ingat, bahwa setiap mandat apapun yang kita capai, sebaik-baiknya itu manfaat dirasakan bukan setinggi-tingginya derajat yang akan kelak kita capai. Ini yang harus menjadi atensi bersama dalam mewujudkan Pemerintahan yang lebih demokratis lagi.Â
Demokrasi harus ditunjukkan pada arah yang benar, yaitu etika yang menekankan pada sebaik-baiknya keterbukaan dan keleluasaan untuk saling menghidupkan keragaman pandangan, bukan sekedar membatasi dan menyamakan melainkan penghargaan seluas-luasnya kepada siapapun yang berbeda.Â
Makanya, terus terang rekonsiliasi dalam hal ini juga dimaknai sebagai sebesar-besarnya legitimasi itu dibangun bahkan dari yang kalah demi kestabilan.Â
Ujungnya jika semua terkesan mendapatkan kue, tentu tidak akan ada yang mengingatkan bilamana suatu saat akan ada jurang yang membelenggu. Karena semua terkesan kenyang dan terlena pada enaknya kue tersebut.
Intinya, Rekonsiliasi itu perlu, perdamaian dan persatuan dalam konteks general untuk tidak saling membenci dan menyerang, untuk tidak saling bermusuhan hanya karena kemarin kalah-menang dalam kontestasi.Â
Semisal antara kubu yang menang dengan yang kalah tidak lantas saling berdebat dimana yang kalah merasa bahwa kontestasi ini curang dan yang menang merasa bahwa ia kini paling berkuasa. Begitu juga hal tersebut secara sistemik akan sebaliknya terjadi ketika yang menang sekarang akan kalah di hari kemudian.Â
Tentu tidak elok bagi masa depan demokratisasi kedepan. Namun, tidak sepenuhnya baik juga ketika yang kalah 'ditundukkan' oleh narasi persatuan dengan bagi-bagi kekuasaan.Â
Sebenarnya tidak perlu ada supermayoritas atau mungkin minoritas. Pemerintahan yang baik itu cukup perlu keseimbangan saja, mana yang oposisi secara solid serta mana yang koalisi solid.Â
Oposisi solid dengan argumentasi kritis dan konkritnya mengingatkan dan membantu diskusi berpikir, menghadirkan alternatif rasional serta Koalisi Pemerintah solid adalah membuka ruang dan tidak alergi pada masukan, bahkan terus terang bisa membuka jalan dan komitmen untuk melaksanakan jalan tersebut dengan konsistensi.Â
Kalau pakai hitungan kasar mungkin 60 persen koalisi Pemerintah sudah cukup, tidak perlu sampai 80-90 persen sementara Oposisi juga harus tangguh kalau perlu sampai 40 persen agar bisa sedikitnya didengar dan mempengaruhi laju dan arus pertaruhan pandangan.Â
Serta perlu diingat, oposisi harus benar-benar menyatu dengan rakyat, dengan unsur mereka yang tidak terjamah dengan Pemerintah agar dijembatani, bukan sekedar begitu ada salah langsung 'dijual' untuk menjatuhkan yang memegang mandat sekarang ini.
Demokrasi memang memerlukan Rekonsiliasi alias Perdamaian, tapi bukan memecah belah dan saling menyerang.Â
Tapi Demokrasi juga memerlukan Oposisi dimana harus ada ruang berbeda untuk saling mengingatkan dan juga membatasi. Sehingga kekuasaan yang murni dari rakyat tidak lantas dikelola sewenang-wenang. Semoga saja Pemerintahan kedepan juga sadar arti penting dari Oposisi.Â
Mari berdamai dengan siapapun yang kalah, ajak mereka dan beri ruang mereka diskusi tapi tidak lantas membagi kekuasaan. Untuk siapapun yang kalah, mari saling menghormati dan kawal terus dimana anda tetap dihargai dan dimuliakan oleh rakyat.Â
Karena anda sekarang setara, dan saatnya buktikan bahwa anda punya peran untuk menjembatani perbedaan tersebut secara rasional.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H