Tema Debat Capres-Cawapres Kelima : Kesejahteraan Sosial, Kebudayaan, Pendidikan, Teknologi Informasi, Kesehatan, Ketenagakerjaan, Sumber Daya Manusia, dan Inklusi.
Salah satu tema yang akan dibahas adalah soal pendidikan. Tentu intinya kalau mengacu pada spesifiknya akan berbicara soal manusia dan sejauh mana kualitasnya terhadap Pembangunan. Spesifiknya adalah urusan Pembangunan Manusia. Pendidikan menjadi esensi penting mengingat secara elektoral dan politis para peserta didik sebagiannya adalah pemilih pemula apalagi di garis depan pendidikan tinggi yang mana isu berkaitan dengan pendidikan tinggi harus dicermati secara hati-hati. Karena, perlu diingat bahwa jika pemimpin dan juga siapapun yang berkontribusi pada eksekusi sebuah negara dalam bidang ini tentu akan mempengaruhi pula secara 'linking and matching' pada kontribusi pertumbuhan ekonomi yang dipandang dari sejauh mana kualitas produksi bukan hanya kuantitasnya dari sebuah obyek ekonomi.
Tapi baru saja kita mendapatkan isu yang sangat fresh terjadi di dunia pendidikan yang menunjukkan bahwa pemerataan kualitas dan kuantitas adalah tuntutan bersama bukan hanya menjadi sebuah harapan melainkan mulai dari sekarang perlu ada sikap tegas. Dimana jelas sekali disatu sisi angka partisipasi pendidikan tinggi di Negara kita masih sangat minim bahkan dibawah 10 persen dari angkatan kerja total di Indonesia, disisi lain kita dihadapkan pada tingginya biaya operasional pendidikan yang berimplikasi pada 2 arah yang terkesan 'kelelahan' atas situasi ini semua.Â
To the point akibat kasus PTNBH yang meliberalisasi-komersialisasi pendidikan 12 tahun lalu yang mana buahnya satu per satu telah dipetik bahkan sudah mencapai panen raya. Mahasiswa sedang bergelut pada tingginya biaya kuliah yang tidak wajar, padahal Negara harus hadir mencerdaskan kehidupan bangsa dengan keterjangkauan (kalau memang tidak bisa gratis minimal biayanya masih rasional).Â
Disisi lain Perguruan Tinggi Negeri harus 'berjudi' pada target yang sangat ambisius menjadikan mereka berkelas dunia bersaing 'ala-ala' Ivy League tapi kejar tayang, namun PTNBH digarisbawahi sebagai pelepasan tanggungjawab. Ini yang berbahaya, seolah fleksibilitas dan otonomi itu dipandang sebagai upaya Pemerintah mengefisiensi (padahal sebenarnya meminimalisasi) tanggungjawab konstitusional untuk pendidikan setinggi-tingginya. Ini berbahaya
Singkat cerita, mungkin perlu dilihat dari sudut pandang mana. Apakah memang reformasi birokrasi PTN yang kacau atau mungkin diluar PTN yang memang tatakelola dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset Teknologi yang memang serampangan alias tidak serius dalam memastikan pemerataan dan keterjangkauan maksimal ini.Â
Bayangkan saja, kalau menurut PP Pembiayaan Dikti yang merupakan turunan dari UU Dikti 2012 saja jikalau ada skema pinjaman dan cicilan dilarang pakai bunga. Ini baru saja salah satu kampus terkenal milik Negara sebut saja ITB, bekerjasama dengan sebuah platform fintech (bahasa rakyatnya Pinjol) untuk mengakomodir kepentingan mahasiswa agar bisa dengan mudah membayar. Apalagi rerata skema sasarannya jelas adalah kalangan middle class yang mana definisi middle class juga sudah mengarah-arah ke rentan miskin.Â
Disatu sisi, mereka sulit menerima Beasiswa KIP-Kuliah yang mana jelas untuk MBR apalagi kuotanya semakin dipersempit, disisi lain mereka dihadapkan pada bayaran UKT yang sebenarnya kalau memakai patokan kasar saja. Nilai tersebut tidaklah masuk akal untuk sebuah Institusi yang sebenarny masih milik Negara. Kalau menurut bahasa sehari-hari, tidaklah jauh beda dengan swasta. Seperti Negara ingin berbisnis dan PTN sendiri sebagai entitasnya menjadi 'mesin uang' mereka.Â
Baru saja Pemerintah akhirnya merespon apalagi desakan ini menjadi sebuah keramaian di berbagai media, apalagi Rektorat sempat 'lepas tangan' antara memang menghindari atau memang pada situasi yang seperti 'lingkaran setan' Wallahualam. Yang jelas memang ada kekacauan atau ketidaksinkronan begitu saja dalam tatakelola Dikti saat ini. Memang harus diakui beban Negara sangat besar untuk membiayai Pendidikan Tinggi semaksimal mungkin baik secara kualitas maupun kuantitas dalam segi PTN. Sekalipun ini tersier tapi tetap saja menjadi beban (walau sekarang harus diubah menjadi investasi orientasinya). Biaya ideal kuliah per semester jika pernah kalau tidak salah membaca di sebuah artikel 4-5 tahun selang dari negara lain, jika dirupiahkan untuk rumpun Soshum seperti FH dan FISIP, dll itu menghabiskan 39 juta per semester.Â
Sementara, Saintek non Fakultas Kedokteran bisa menghabiskan 47 juta per semester. Lebih dahsyatnya lagi Fakultas Kedokteran, normalnya memerlukan 64 juta per semester. Berarti UKT sekarang pun Pemerintah sudah banyak mensubsidi, hanya saja begitu mereka kepepet. Nilainya menjadi tidak wajar, bahkan skema yang diberikan juga untuk menjamin kemudahan semakin dipersulit. Seolah-olah malah lebih kentara birokrasinya daripada teknokrasinya sebuah Perguruan Tinggi Negeri tersebut. Bayangkan saja serumit itu tantangan dalam memastikan kualitas dan kuantitas tapi tetap terjangkau. Sebenarnya siapa yang harus bertanggungjawab atas hal ini?