Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Wajib Masuk di Debat 4: Pajak Bensin vs Pajak Karbon?

20 Januari 2024   17:16 Diperbarui: 7 Februari 2024   13:06 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Soal pajak memang sangat sensitif di tahun politik saat ini. Dimana setiap Capres-Cawapres akan keras dalam menerapkan sistem penerimaan negara yang maksimal bagaimana gagasannya, serta sejauh mana pemaksimalan sebuah potensi negara agar bisa mensejahterakan rakyatnya karena jelas secara teori yang selama ini kita anut bahwa pajak adalah instrumen pembangunan sosial kemasyarakatan yang lebih stabil baik langsung maupun tidak langsung. 

Hanya saja soal pajak memang menjadi 'seksi' manakala mengacu pada rasionya ketika ada yang sempat dengan sesumbar bahwa menaikkan hingga ratio 23 persen dari yang sekarang 10 persen dari PDB. 

Semua orang pasti jika menghitung pada kalkulasi logis akan berpikir bahwa tentu akan banyak ragaman pemikiran yang menyatakan bahwa kalau tidak menambah model pajaknya (selain basis pajak) pasti rate/tarifnya dinaikan. 

Maka demikian soal pajak juga kadang mendorong sebuah sensitivitas bagi para taxpayers (istilah asing untuk masyarakat yang memang punya NPWP dan berkewajiban bayar pajak) yang mana tatakelola pajak sudah sampai mana. Tapi debat keempat besok memang tidak lagi membahas isu ekonomi seperti itu, namun 'sitik-sitik' nyinggung pajak pasti bisa lah apalagi korelasinya dengan lingkungan. Mari kita lihat tema debat keempat besok :

Tema Debat Keempat :  Energi, sumber daya alam, sumber daya manusia, pajak karbon, lingkungan hidup dan agraria, serta masyarakat adat.

Nah, soal pajak utamanya yang akan diterangkan dan menjadi bahan refleksi sebelum debat adalah pajak karbon vs pajak bensin. 

Ingat baru saja Pemerintah mempertimbangkan penerapan pajak bensin atau BBM konvensional, kalau tidak salah tidak spesifik pada bensinnya melainkan PKB atau Pajak Kendaraan Bermotor untuk yang masih bertenaga bensin utamanya yang bertimbal rendah (RON rendah) akan ditinggikan bertahap sehingga muaranya adalah penggunaan kendaraan listrik secara masif. 

Memang isu ini menjadi 'seksi' manakala soal kendaraan listrik dan ekosistem secara luas dan masifnya yang mana sebenarnya garis besarnya adalah memaksimalkan hilirisasi terhadap nikel yang sekarang sedang masif pasca dilarangnya ekspor nikel mentah dan perlu pengolahan dan sebenarnya pengolahan akan jalan jika masif pula konsumsinya. 

Maka sampai pada gagasan insentif luas untuk ekosistem listrik tadi. Dimana memang Menkomarves Luhut Binsar Panjaitan, yang mana ketika beliau sakit isu ini sempat redup. 

Baca juga: Isu

Tapi isu ini langsung booming ketika ia aktif lagi yaitu approachnya berbeda jika kemarin adalah 'nol-kan' segala beban untuk kendaraan listrik sekarang meninggikan pajak kendaraan BBM. Padahal BBM yang tinggi dan naik kemarin saja sudah sangat memberatkan dari segi inflasi. 

Apalagi wacana ini dinilai dadakan dan sangat korelatif dengan wacana pajak hiburan yang ditunda baru-baru ini. Dimana selain ditunda, Pemda diperbolehkan kembali pada aturan lama (pajak dibawah range 40-75 persen). 

Ibaratnya persepsi masyarakat bawah akan berpikir "Segini amat Pemerintah nyari duit". Habis pajak hiburan, terbitlah pajak bensin. Yang mana justru tidak akan maksimal dalam rangka pengendalian dampak kerusakan lingkungan (kalau pakai semangat seperti itu). 

Sama semangatnya lagi adalah klaim akan mendorong subsidi sebesar-besarnya untuk angkutan umum, padahal belum bisa dibuktikan pula keabsahannya seperti apa. 

Disamping pembangunan seperti Bus Listrik dan LRT, mungkin argumen yang rada menarik tapi jika seakan cara yang digunakan adalah keliru akan jadi salah pula. Jika dalam konsepsi pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. 

Mengapa tidak dipikirkan untuk mempercepat penerapan pajak karbon saja? Pajak karbon sudah ada diatur dalam UU HPP, tinggal penerapannya lewat PP hingga PMK yang terhambat dimana selalu saja ada dalih kepentingan antara Kementerian tiap Kementerian yang bertanggungjawab. 

Sebenarnya, Kemenkeu selaku Kementerian yang punya tujuan memungut sendiri sudah lama ingin menerapkan ini tapi konfliknya adalah Kementerian ESDM dan Kementerian Investasi yang terkesan menghambat dengan dalih akan lantas menghambat proses hilirisasi yang mana transfer teknologinya masih berjalan dimana apabila dibebankan kepada para produsen sumber daya yang emisi karbonnya tinggi akan sampai pada kenaikan biaya produksi maupun turunannya sampai pada barang-barang konsumsi yang dikenal sangat dekat dengan masyarakat yang mana emisinya tinggi. Apa itu? 

Batubara dan imbasnya pada kenaikan harga listrik karena akan ada pengenaan pajak karbon dalam pengolahan batubara dalam PLTU. Terlepas memang pajak karbon di berbagai negara juga terhambat oleh kepentingan pengusaha yang masih tergantung sama bahan-bahan fosil tidak hanya batubara tapi minyak bumi juga.

Maka demikian, mungkin ini harus ditekankan sekali lagi oleh para Cawapres yang debat besok. Apakah sikap mereka dan mungkin akan cocok ketika ini ditanyakan kepada Cawapres yang menarasikan istilah CCUS atau Carbon Capture Storage yang mana menunjukkan bahwa paslon tersebut paling sustainable. Seberapa konsisten pengoptimalannya serta bagaimana korelasinya pada soalan pajak karbon. 

Apakah mereka setuju untuk segera ditetapkan dengan ketat dan berkeadilan? Alih-alih malahan menerapkan pajak kendaraan BBM Konvensional yang justru malah tidak selaras pada konversi secara luas kepada ekosistem baru. 

Apalagi proses mencapai ekosistem baru juga masih sangat panjang jalurnya. SPKLU saja belum merata dimana-mana kok sudah getol sekali membangun ekosistem supaya semua pakai listrik. 

Apalagi harga sekalipun nol beban pajak dsb pun tetap mahal. Disamping komponennya impor dan listriknya juga masih batubara. Serba salah bukan? 

Jadi, lebih relevan mana untuk benar-benar diseriuskan karena disinilah komitmen Paslon diukur kepeduliannya terhadap sumber daya alam yang berkelanjutannya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun