Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Korean Style Leadership: Pajak Warisan ala Ganjar-Mahfud

4 Januari 2024   21:36 Diperbarui: 6 Februari 2024   15:38 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Mungkin sedikit intermezzo saja tanpa menekankan pada tendensi kepada siapapun Kandidat selain Ganjar-Mahfud. Jika ada salah satu Capres yang mulai ikut Live Tiktok, bikin akun second dan platformnya ala-ala fandom K-Pop. Kemudian, ada salah satu Capres lagi yang mungkin pake trend AI dan juga mengarah pada gemoy-gemoyan yang sebenarnya juga agak mirip dengan strategi branding ala Korea. Mungkin, sedikitnya bicara soal Korea. Pasangan Ganjar-Mahfud menekankan pada kebijakan yang dirasa agak mirip dengan style Korea. Kebijakan yang dirasa sangat reformis, tapi memang benar-benar manjur di negerinya sana. Kebijakan Pajak Warisan. 

Ya, kalau baca berita pajak warisan sepertinya memang identik dengan Negeri Ginseng tersebut apalagi kalau ada kasus Konglomerat yang wafat atau mungkin ingin meneruskan kepemimpinannya karena Konglomerasi disana sangat tinggi sehingga dalam perpindahan warisan perlu ada beban biaya yang diperlukan. 

Dalam arti supaya mereka tidak lantas 'makan sendiri' atas apa yang diraih, perlu ada kontribusi progresif dimana itu juga hak dari para pekerja yang diserap melalui investasi masing-masing mereka melalui Pembangunan terhadap Negara secara luas. Redistribusi kekayaan secara prinsip dimana tidak boleh ada yang merasa kaya sendiri dan menimbulkan ketimpangan sehingga harus dibagikan kepada yang lainnya dimana dirasa perlu membutuhkan

Kalau di negara asalnya sendiri, kebijakan ini ditetapkan untuk warisan diatas 3 Miliar Won atau sekitar 35 Miliar Rupiah sebesar 50% yang dibayarkan secara bertahap oleh ahli waris bahkan lama kelamaan jika kekayaan bertambah hari demi hari dalam jangka waktu tertentu. Bisa lebih besar lagi apalagi pengenaan terhadap pemegang saham mayoritas. 

Dimana proses pembagian warisan ini sebenarnya potensial sekali, kala setiap harta yang diberi tentunya akan bertambah begitu saja namun luput dari perhatian bahkan menimbulkan jurang yang membuat tidak berkembangnya elemen masyarakat lain dari bawah. Sehingga perlu ada pembatasan, sekali lagi esensinya selain ini untuk penerimaan juga sebagai pembatasan. Mirip-mirip seperti cukai.

Dari 23 negara anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), hanya empat negara yang menerapkan sistem perpajakan serupa, yaitu Korea Selatan, Amerika Serikat, Inggris, dan Denmark. Jika Indonesia jadi masuk OECD, dan Indonesia menerapkan hal ini. Maka demikian, akan menjadi negara ke 5. Inspirasinya dari Amerika Serikat, namun memang lebih seksi dan berkembang di Korea Selatan. 

Mengingat praktik Chaebol atau Konglomerasi yang terlalu melingkar namun saling bergantung dan memengaruhi sangatlah masif sehingga perlu ada gebrakan secara reformis untuk itu. Sama halnya untuk Amerika Serikat dengan pendekatan pajak progresif. Sebenarnya yang ditekankan jika di Amerika adalah tarif pajak progresifnya terhadap penghasilan, transaksi bahkan pada amalnya. Hal ini yang sekiranya ingin ditiru oleh Anies-Muhaimin.

Kurang lebih untuk Anies-Muhaimin begitu juga Ganjar-Mahfud ada letak kesamaan dimana mereka ingin pada esensi keadilan yang harus ditekankan agar tidak lagi oligarki dan kapitalisasi terlalu memengaruhi ekonomi dan imbasnya terjadi ketimpangan antara kelas menengah dengan kelas super kaya (jangankan kelas miskin dengan kelas kaya). 

Sehingga dari sana tercipta sebuah rasio fiskal yang sangat stabil dan tidak hanya bergerak pada 'circle' tertentu melainkan bisa distribusi terhadap pembangunan atau insentif sosial yang menggerakkan lagi secara lebih. Kalau Anies-Muhaimin sasarannya adalah 100 orang terkaya di Indonesia (mungkin berdasarkan olahan data Kemenkeu soal Tax Amnesty Jilid 1 dan Jilid 2).  Sama halnya dengan Ganjar-Mahfud dimana kekayaan 100 Miliar keatas akan dikenakan untuk pajak warisan (tarifnya masih dipikirkan tentu) namun memang ini juga mengacu pada aspek penegakan hukumnya.

Jika ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan tentunya juga korelasi dengan reformasi penegakan hukum. Mengingat kalau larinya sampai pada aspek negatif sama halnya dengan semangat prinsipil dari Kebijakan Tax Amnesty agar orang lapor harta dan juga bisa menyimpan di dalam negeri lalu ditebus. Kalau soal pengenaan pajak warisan juga mengantisipasi terjadinya pencucian uang. 

Namun, saya secara pribadi juga sedikit banyak tertarik mengingat di negara Korea Selatan juga banyak yang manipulatif. Semakin tinggi pajak terhadap orang kaya maka makin 'cerdas' untuk bersiasat mengelabui. Nah, mungkin saja akan menjadi tugas dari Wakil Presiden mengkoordinasikan itu semua kelak. Dimana beliau Mahfud MD sudah memikirkan bagaimana melawan upaya manipulasi dari orang-orang super kaya ini agar mereka patuh terhadap aturan dan lantas atas dasar kekayaan mereka malah seenaknya saja.

Maka demikian, menjadi penasaran juga. Kemudian, hal ini belum banyak disounding namun memang di Penjelasan Visi-Misi sudah ada bahwa dalam rangka memastikan tax ratio yang sebenarnya rasional adalah sebesar 15 persen terhadap PDB. Memang perlu ada penekanan basis pajak yang berkeadilan. 

Kedua Paslon antara Anies dan Ganjar jika terlihat memang menekankan pada orientasi itu daripada mencari model-model perpajakan baru yang sebenarnya belum tentu pula relevan seperti mengenakan bea impor gandum, cukai maksimal pemanis maupun secara bertahap 'kerek' pajak UMKM utamanya yang sudah mulai bersinergi dengan teknologi. Namun Wallahualam, kita tunggu saja mana yang paling rasional soal kebijakan pajak. Yang penting tatakelolanya sesuai koridor

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun