Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Alih-alih Ganti Pilihan Ganda, Kesejahteraan Guru demi Improvisasi Mengajar Lebih Perlu

5 Oktober 2023   12:20 Diperbarui: 7 Oktober 2023   10:17 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. Kemendikbud via KOMPAS.com

Bertepatan pula dengan momentum 5 Oktober setiap tahunnya di seluruh Dunia yaitu dunia pendidikan yang mengilhami dan mengenangnya sebagai suatu Hari dimana Guru-Guru di seluruh dunia dirayakan sebagai seorang Pejuang yang membawa masa depan sumber daya manusia. 

Sumber daya manusia yang membawa gerakan dan perubahan tentu dinilai dari seberapa besar dan kuat suatu pengajaran melahirkan sebuah diskursus yang mendalam tentang transfer ilmu dan wawasan demi kemaslahatan di masa depan.

Pendidikan selayaknya bukan menjadi sebuah beban kehidupan melainkan perlu bertransformasi menjadi sebuah zona nyaman dimana sebuah individu juga bisa seluas-luasnya berinteraksi dan berdiskusi untuk meningkatkan penalaran tentang keilmuan sebuah dunia. Hal tersebut tentunya salah satu ditentukan dari seberapa hebat guru dalam memberikan pengajaran dan mengevaluasinya. 

Soal evaluasi, kita memahami bahwa pasti ada ujian tiap waktu yang mendorong kita sejauh mana tolak ukur pemahaman yang sebenarnya bukan sekedar kunci kita untuk lulus dan memadai ke tahap berikutnya, melainkan kemapanan seorang guru sendiri sejauh mana ia berhasil menciptakan transfer ilmu yang efektif dan efisien. Kemarin sempat disinggung seorang public figure yang ketika ditanya jika menjadi Menteri dalam portofolio Pendidikan. Maka dia akan mengubah soal pilihan ganda menjadi soal essay. 

Setiap orang wajar berpandangan dan wajar bermimpi jika memang dia diberikan kesempatan, toh sebenarnya tidak salah juga beliau berargumentasi mengacu pada pengalaman pendidikannya. Bahwa soal pilihan ganda malah terkesan mendorong cara belajar yang justru hanya sekedar menghapal narasi saja bahkan jauh dari kesan eksploratif.

Sebaliknya, jika dari dulu soal-soal pengajaran dituntut secara asesmen adalah essay yang sifatnya open-ended question dimana seluas-luasnya peserta didik dituntut untuk memikirkan apa saja yang ia pahami seluas-luasnya sekalipun mungkin akan berpengaruh pula pada penilaian.

Jika Pilihan Ganda tentunya pilihan yang salah ya salah. Essay belum tentu, karena tolak ukurnya pasti berbeda. Apa lantas sepanjang-panjangnya jawaban mempengaruhi? Wallahualam, tentu subyektif dan abstrak intinya.

Penilaiannya tentu mengacu pada kritisme dan analitikal yang dinilai sejauh mana didalami. Hanya saja beban sebenarnya oleh guru atau pengajar dalam memahami dan mengingat semua pembelajaran itu secara improving.

Ingat, kuncinya kalau ingin membangun ekosistem demikian adalah memastikan bahwa kenyamanan dan keleluasaan antara guru dan peserta didik juga dijaga melalui ekosistem mental yang memadai. Perlu diingat bahwa guru bukan profesi mensejahterakan, makanya dicap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. 

Tapi harus diakui bahwa kesejahteraan juga kompleks bukan soal materi namun sampai pada mentalitas pula. Ini perkara global, dimana sebenarnya tak hanya Indonesia.

Mungkin saja masih banyak negara yang menerapkan bahwa guru di sebuah satuan pendidikan atau sekolah pasti masih dibebani tugas-tugas yang tidak perlu. Guru selayaknya pegawai masih dibebani tugas administrasi yang justru menumpulkan semangat kreativitas dan inovasi yang jadi poin utama menciptakan gagasan yang kritis dan analitis. Maka lantas, apa tidak menjadi soal jika hal tersebut justru sangat bertolak belakang.

Kuncinya adalah, dari tulisan ini, selayaknya pula poin penting yang dijaga adalah ekosistem keseimbangan. Guru di sekolah apalagi semakin senior akan banyak tertinggal dengan guru-guru baru atau yang berkecimpung hanya sebagai part-timer di sebuah lembaga kursus, dimana rerata mereka pun masih menempuh kuliah.

Oke, secara pengalaman dan jam terbang, guru-guru sekolah jauh lebih mantap dalam memahami dinamika dunia pendidikan. Tapi soal kreavitas dan inovasi yang mendorong improvisasi. 

Selayaknya pula jika pendidikan itu cara belajarnya didasari pada orientasi essay, Guru-Guru sekolah akan ketinggalan cara karena Guru-Guru muda yang hanya berorientasi di Kursus bahkan masih dalam Pendidikan masih punya banyak waktu dan punya banyak peluang untuk tergabung dalam diskursus ilmiah yang konstruktif. Dimana setiap hari, nalarnya terbaharui oleh dorongan-dorongan inovatif progresif untuk menciptakan sesuatu yang semakin efektif dan efisien.

Sementara guru yang semakin senior malah tertinggal (terlepas usia atau tidak) karena ditekan oleh tugas administrasi yang melenceng dari semangat merdeka sebagai seorang guru, yaitu bisa mengajar eksploratif seluas-luasnya demi peserta didik yang lebih kritis dan analitis pula.

Jadi dalam momentum Hari Guru Sedunia ini, alih-alih mendorong improvisasi atau perubahan dalam metode evaluasi sebuah soal yang justru memang akan menyita banyak pikiran dan waktu. Sementara ada tuntutan kesejahteraan yang harus dipenuhi terutama mental yaitu balancing antara waktu untuk mengajar, untuk terus belajar kemudian bekerja (dalam arti tugas-tugas kantorannya).

Selayaknya siapapun itu berhak dan berani untuk mengubah paradigma. Guru harus kembali pada dunianya, untuk terus gandrung dan haus serta teguh akan mengisi waktu demi waktu untuk memperdalam dan mengembangkan keilmuan mereka selain transferring to their students. 

Barulah generasi yang kritis dan analitis pun akan tercipta. Kalau seperti ini, soal essay pun juga akan biasa. Karena sudah tercipta ekosistem keseimbangan. Karena soal esai menciptakan pola belajar yang argumentatif dan juga solutif berorientasi pada narasi-narasi analisis kritis yang selama ini dicipta dan diajar oleh sebuah proses belajar-mengajar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun