Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jakarta Keras, Butuh Cara Revolusioner Atasi Polusi Udara

21 Agustus 2023   11:05 Diperbarui: 21 Agustus 2023   11:16 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya bukan hanya DKI Jakarta tapi Greater Jakarta atau Jabodetabek secara luas yang memang sudah pada titik membahayakan. Seperti kita tahu berdasarkan data dari AQI atau Air Quality Index (Indeks Kualitas Udara) di Kawasan Ibukota beserta Penyangga berada pada tataran yang tidak sehat. 

Bahkan jangankan pada hari biasa dan jam perkantoran (peak/rush hours), hari libur nan sepi bahkan di dini hari kualitas udara tidak langsung pulih begitu saja sehingga memang bisa dikatakan perkara udara di Jabodetabek menjadikan kita untuk semakin keras dalam bertaruh meningkatkan kualitas hidup. 

Alih-alih harapan hidup semakin tinggi, yang ada sebaran penyakit juga akan kembali datang. Belum lama kita selesai urusan Covid-19, kembali kita dihadapkan pada tidak sehatnya polusi udara bahkan tidak lama lagi kita akan hadapi Puncak KTT ASEAN di Jakarta. Apa kata dunia? 

Lantas, memang sentimen El Nino mendorong akibat perubahan iklim dan kekeringan dimana cuaca panas memang terjadi di berbagai belahan dunia tidak terkecuali di Indonesia mengakibatkan konsentrasi polutan juga mendadak tinggi karena persoalan atmosfer yang tiada dilintasi hujan sehingga asumsinya tiada pembersihan lapisan atmosfer dari partikel gas yang mengandung polutan tersebut.

Langsung pada persoalan, mungkin saja sudah banyak yang membahas ini apalagi soal inisiatif kebijakan dari Pemerintah baik Pusat maupun Daerah dalam menyikapi semua persoalan yang terjadi. 

Padahal hal ini bukan soal main-main namun sayang seakan masih setengah hati, dimana sebenarnya hal ini bukan sekedar main-main karena dapat mempengaruhi kondisi kesehatan. 

Rekomendasi AQI jelas sekali bahwa jika udara Jabodetabek seperti ini pada umumnya (Tidak Sehat) kecenderungan adalah Warning untuk Masyarakat Rentan yaitu Lansia dan yang memiliki Komorbiditas terhadap Pernapasan untuk waspada karena bisa kambuh penyakitnya. 

Minimal untuk yang sehat-sehat saja pasti akan terkena batuk-batuk yang berkepanjangan seperti Presiden Republik Indonesia Joko Widodo belakangan yang sudah diketahui 4 minggu mengalami batuk-batuk. 

Intinya, harus serius dan perlu ketegasan mengingat seperti judul diatas jika Jakarta atau Jabodetabek terkenal dengan kerasnya kehidupan maka dalam menyelesaikan solusi yang holistik tentu harus dilaksanakan dengan cara yang keras. 

Tidak bisa dengan cara-cara biasa atau jika berbeda malah terkesan hanya menghilangkan sesaat saja seperti WFH yang mana tidak terlalu efektif jika menyoroti pada langkah jangka panjang namun ibarat kata tidak kena langsung pada titik kritisnya. 

Maka demikian izinkan saya menawarkan Solusi Revolusioner :

1. Cabut BBM Bersubsidi seperti Pertalite di seluruh SPBU di Jabodetabek.
2. Naikkan Tarif Parkir Tertinggi terutama untuk Kendaraan Tidak Lulus Uji Emisi atau yang Tidak sama Sekali.
3. Mewajibkan Industri untuk Mulai Menggunakan Energi Solar Cell (Panel Surya) atau Gas Berikut dengan Cerobong Asap diganti oleh Gas berikut Sanksi yang Tegas jika Melanggar.

Mengacu pada 3 Solusi diatas menurut saya cukup Revolusioner karena memang sangat tidak populis dan pasti sangatlah berat. Analisisnya adalah sebagai berikut :

1. Jika BBM seperti Pertalite dihapus sementara Kawasan Ibukota maupun Penyangga sekalipun mayoritas bepergian menggunakan Mobil dan notabene adalah pasaran LCGC berikut juga roda 2 apalagi dimana mereka melakukan aktivitas lokal yaitu mobilisasi masif sehingga dengan BBM yang tinggi emisi seperti Pertalite dihapus, mereka juga akan digerakkan untuk menggunakan BBM berkualitas tinggi standar Euro 5 dan 6 seperti Pertamax Plus. 

Bahkan ujungnya jika memang BBM yang relatif tinggi, otomatis yang tadinya menggunakan roda 2 pun beralih untuk ke Transportasi Umum dimana tinggal konsekuensinya adalah memperbanyak Angkutan Umum wabil khusus Bus Listrik yang sekarang mulai digerakkan yang tinggal diperbanyak saja armadanya semisal kita dengar sebentar lagi 100 bus listrik akan berarmada maka harus dipercepat lagi.

2. Kenaikan tarif parkir secara progresif kalau perlu minimal Rp20.000 bahkan Rp50.000 tiap jamnya cukup membangun sentimen yang menekan angka penggunaan kendaraan bermotor yang 44 persen-nya berdasarkan data KLHK menyebabkan Polusi Udara di Jabodetabek. 

Kurang lebih solusinya sama persis dengan menekan angka kemacetan yang belakangan terjadi dan mempengaruhi pula kesehatan mental pekerja dimana muncul pula isu opsi untuk WFH atau WFA sekalipun sehingga tiada mobilisasi jauh. 

Andaikata khususnya tarif parkir dikenakan di kawasan perkotaan minimal di Pusat Bisnis dan Pusat Belanja saja di kawasan Inti Kota seperti Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Mengingat akses moda transportasi juga lebih mudah dimana ada MRT dan sebentar ada LRT tentu akan berdampak. Tinggal problem feeder-ing saja soal first and last mile atau minimal memperbanyak park and ride supaya dari rumah ke stasiun juga lebih mudah. 

Demikian pula kembali kepada parkiran dengan adanya pengetatan soal lulus atau tidaknya uji emisi maka setiap parkir juga diberikan sensor pendeteksi kendaraan masuk lulus atau tidak.

3. Terakhir tidak bisa kita nafikan dan memang menjadi argumentasi kuat adalah aktivitas industri yang berkorelasi pula dengan pembangkitan listrik (sebenarnya berbanding lurus) bukan sekedar PLTU-nya tapi aktivitas yang mendorong PLTU untuk semakin keras dalam membangkitkan energi yang tentu disebabkan karena Industri Pengolahan yang notabene berada di Penyangga untuk semakin masif tadi. Apalagi diperburuk oleh El Nino yang mempengaruhi arah angin sehingga lumrah semua Polusi dari Industri diperparah tidak adanya hujan malah membangun ekosistem polutan yang semakin meluber. 

Maka ketegasan untuk meminta Pabrik mulai mengurangi bahkan kalau perlu total mengganti ke Energi yang Lebih Ramah Lingkungan, yaitu Dengan diwajibkannya memasang Panel Surya secara masif sekaligus dengan Mengganti Energi Industri dari Pembangkit yang ramah seperti dengan Gas juga bukan lagi PLTU. Dimana Industri selalu menggunakan Pembangkit sendiri dan berlangsung secara liar. Harapannya jika disertai pula dengan denda yang tegas untuk mewajibkan CSR sebagaimana mestinya untuk berusaha mengurangi polusi tentu bertahap mereka juga akan sadar pentingnya udara bersih.

Bagaimana, menarik bukan solusi Revolusioner tersebut. Tinggal para pemangku kepentingan untuk tegas mempertimbangkan atau tidaknya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun