Maka demikian izinkan saya menawarkan Solusi Revolusioner :
1. Cabut BBM Bersubsidi seperti Pertalite di seluruh SPBU di Jabodetabek.
2. Naikkan Tarif Parkir Tertinggi terutama untuk Kendaraan Tidak Lulus Uji Emisi atau yang Tidak sama Sekali.
3. Mewajibkan Industri untuk Mulai Menggunakan Energi Solar Cell (Panel Surya) atau Gas Berikut dengan Cerobong Asap diganti oleh Gas berikut Sanksi yang Tegas jika Melanggar.
Mengacu pada 3 Solusi diatas menurut saya cukup Revolusioner karena memang sangat tidak populis dan pasti sangatlah berat. Analisisnya adalah sebagai berikut :
1. Jika BBM seperti Pertalite dihapus sementara Kawasan Ibukota maupun Penyangga sekalipun mayoritas bepergian menggunakan Mobil dan notabene adalah pasaran LCGC berikut juga roda 2 apalagi dimana mereka melakukan aktivitas lokal yaitu mobilisasi masif sehingga dengan BBM yang tinggi emisi seperti Pertalite dihapus, mereka juga akan digerakkan untuk menggunakan BBM berkualitas tinggi standar Euro 5 dan 6 seperti Pertamax Plus.Â
Bahkan ujungnya jika memang BBM yang relatif tinggi, otomatis yang tadinya menggunakan roda 2 pun beralih untuk ke Transportasi Umum dimana tinggal konsekuensinya adalah memperbanyak Angkutan Umum wabil khusus Bus Listrik yang sekarang mulai digerakkan yang tinggal diperbanyak saja armadanya semisal kita dengar sebentar lagi 100 bus listrik akan berarmada maka harus dipercepat lagi.
2. Kenaikan tarif parkir secara progresif kalau perlu minimal Rp20.000 bahkan Rp50.000 tiap jamnya cukup membangun sentimen yang menekan angka penggunaan kendaraan bermotor yang 44 persen-nya berdasarkan data KLHK menyebabkan Polusi Udara di Jabodetabek.Â
Kurang lebih solusinya sama persis dengan menekan angka kemacetan yang belakangan terjadi dan mempengaruhi pula kesehatan mental pekerja dimana muncul pula isu opsi untuk WFH atau WFA sekalipun sehingga tiada mobilisasi jauh.Â
Andaikata khususnya tarif parkir dikenakan di kawasan perkotaan minimal di Pusat Bisnis dan Pusat Belanja saja di kawasan Inti Kota seperti Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Mengingat akses moda transportasi juga lebih mudah dimana ada MRT dan sebentar ada LRT tentu akan berdampak. Tinggal problem feeder-ing saja soal first and last mile atau minimal memperbanyak park and ride supaya dari rumah ke stasiun juga lebih mudah.Â
Demikian pula kembali kepada parkiran dengan adanya pengetatan soal lulus atau tidaknya uji emisi maka setiap parkir juga diberikan sensor pendeteksi kendaraan masuk lulus atau tidak.
3. Terakhir tidak bisa kita nafikan dan memang menjadi argumentasi kuat adalah aktivitas industri yang berkorelasi pula dengan pembangkitan listrik (sebenarnya berbanding lurus) bukan sekedar PLTU-nya tapi aktivitas yang mendorong PLTU untuk semakin keras dalam membangkitkan energi yang tentu disebabkan karena Industri Pengolahan yang notabene berada di Penyangga untuk semakin masif tadi. Apalagi diperburuk oleh El Nino yang mempengaruhi arah angin sehingga lumrah semua Polusi dari Industri diperparah tidak adanya hujan malah membangun ekosistem polutan yang semakin meluber.Â
Maka ketegasan untuk meminta Pabrik mulai mengurangi bahkan kalau perlu total mengganti ke Energi yang Lebih Ramah Lingkungan, yaitu Dengan diwajibkannya memasang Panel Surya secara masif sekaligus dengan Mengganti Energi Industri dari Pembangkit yang ramah seperti dengan Gas juga bukan lagi PLTU. Dimana Industri selalu menggunakan Pembangkit sendiri dan berlangsung secara liar. Harapannya jika disertai pula dengan denda yang tegas untuk mewajibkan CSR sebagaimana mestinya untuk berusaha mengurangi polusi tentu bertahap mereka juga akan sadar pentingnya udara bersih.