Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Rusunawa Entaskan Kemiskinan Secara Berkelanjutan

13 Juli 2023   16:05 Diperbarui: 13 Juli 2023   16:07 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rusunawa Cakung Barat (sumber: DPRKP DKI Jakarta)

Sebuah opini yang terngiang dari benak pribadi, ketika saya mengingat fenomena yang terjadi beberapa tahun selang. Dimana pemerintah provinsi di daerah saya (jelas sekali DKI Jakarta) sedang gencar-gencarnya untuk melaksanakan penggusuran alias penertiban lahan yang notabene selayaknya merupakan aset negara/daerah yang dipergunakan sesuai dengan ketentuan tata ruang semisal untuk pembangunan jalan atau ruang hijau malah diduduki oleh para pemukim-pemukim liar yang sudah menahun tinggal di Ibukota. Mereka digusur jelas sekali atas dasar pelanggaran, meskipun mereka tetap ngotot bahwa lahan yang mereka tempati sudah lama, bahkan mereka tetap bertahan oleh karena aspek kekerabatan atau engagement yang sangat besar terhadap lingkungan tersebut. 

Beribu alasan dilontarkan namun beribu pula perlawanan yang disampaikan hingga terkesan seolah adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (soal ini debatable ya). Yang jelas, dalam berita tersebut, saya juga melihat bahwa mungkin saja ada faktor provokasi atau eksternal yang membuat semua runyam, bahkan jika dinilai tidak partisipatif kenapa sosialisasi dibuat berulang kali dan lantas mengapa akhirnya alot. Kira-kira begitu, padahal masyarakat juga tiada pilihan lain selain memang mengikuti arahan saja, apalagi jika direlokasi ke tempat yang semestinya ditempati secara kayak (masih baik bukan sebenarnya).

Mereka memang dipindah dan akhirnya belajar untuk terbiasa hingga pada akhirnya berita tentang kekisruhan yang terjadi pasca di tempat baru. Jujur, ini hanya opini dan saya pun tiada mendengar. Barangkali memang efektif. Setelah saya amati, bahwa sebenarnya wajar saja mereka para pendatang yang sebenarnya merupakan korban kerasnya persaingan di Ibukota tersebut, kalau pandangan saya lebih-lebih pada proses seleksi alam yang memang tidak menjamin sepenuhnya. 

Mereka sejatinya hidup dalam dilematis ketika harus tinggal pada kekumuhan, salahnya juga Pemerintah yang kurang concern tentang aset mereka, atau bahkan ada unsur kesengajaan (Wallahualam). Paling tidak aspek kelalaian bercampur kegagalan memang melingkupi fenomena ini. Melalui perspektif pendatang miskin tersebut, mereka juga sulit untuk pulang namun disisi lain mereka juga ingin bertahan hidup walau seadanya. Yasudah lama kelamaan peradaban terbangun meskipun secara legal-formal salah. 

Memang negara juga (dalam arti pemerintah metropolitan tidak peka) namun sebenarnya inilah tatanan sosial yang harus diperbaiki. Intinya, jika belakangan ini pengendalian urbanisasi melalui operasi yustisi digalakkan, saya rasa tidak ada masalah. Karena mencegah lebih baik daripada mengobati, lebih baik mereka dipulangkan jika memang tidak memenuhi atau memadai dalam menghadapi kerasnya Kota, dalam segi identitas, jaringan kerabat, tempat tinggal, pekerjaan tetap, maupun kemampuan bahkan modal biaya hidup. Alias hanya sekedar iseng atau ikut-ikutan saja merasakan Kota. Harap-harap kepekaan itu benar-benar diamati lagi, sambil juga sebenarnya akibat dari pembangunan yang tidak merata. Maka demikian, daerah yang menjadi 'sarang' pendatang selayaknya juga peka untuk memperbaiki keadaan, untuk bersinergi memajukan ekonomi mereka yang tentunya berdaya saing dan bernilai tambah. Perlu inovasi dan kreasi yang lebih.

Kembali soal kemiskinan perkotaan, sebenarnya ini juga saling berkorelasi dan perlu diingat bahwa kemiskinan di perkotaan sudah hampir menyamai dengan pedesaan (Sebelumnya relatif jauh, namun kemiskinan perkotaan semakin meningkat). Berikut pula ketimpangan yang terlihat dari rasio gini saja. 

Sementara, pastinya pemerintah kota juga dilema karena tidak sepenuhnya bisa menjangkau mereka para pendatang, oleh karena mereka sendiri datang tanpa permisi (namanya juga nasib-nasiban saja bisa tembus, sekiranya ada operasi yustisi) namun untuk kedepan? Inilah yang menjadi problematika besarnya, tentang manajemen pengendalian penduduk serta pengentasan kemiskinan yang semakin kompleks dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi. Mungkin saya tidak tampilkan datanya spesifik, namun sebagai refleksi saja. Kira-kira benar bukan jika kita melihat pembangunan dan maraknya investasi di negara khususnya kota besar namun arus pendatang dan akhirnya menumbuhkan kemiskinan baru semakin marak?

To the point, salah satu solusi dan korelasi dengan situasi awal yaitu soal penggusuran dan relokasi. Menurut saya hal ini harus dicermati, dan sejatinya cukup efektif bila dikatakan sebagai eksperimen, berdasarkan data BPS yang saya dapat. Kemiskinan di perkotaan kurang lebih sebesar 7,5 persen dari total kemiskinan secara Nasional 9,5 persen. Bahkan sudah bertambah selama 10 tahun terakhir sebanyak 3-4 persen berbanding kemiskinan di pedesaan yang cenderung stagnan bahkan sempat menurun meski mengalami kenaikan karena pandemi. Kurang lebih orang miskin di perkotaan ada sekitar 12 juta jiwa. Apalagi di kota saya (pernah membaca datanya) sekitar 85-90 persen menetap di kawasan yang dikenal sebagai garapan (sebenarnya itu merupakan tanah negara yang 'tidur') bahkan telah membuat peradaban disana selama puluhan tahun. 

Saya berpikir, kenapa lahan-lahan 'tidur' yang kembali dihidupkan tersebut tidak lantas dikonversi menjadi sebuah Rumah Vertikal (susun) ya? Ibaratnya semisal dalam hitungan 1 ha kawasan permukiman ada sekitar 1 ribu KK (banyak sekali bukan) dimana kepadatan mereka juga tidak sebanding dengan lahan yang selayaknya ditempati. Jika pemerintah mengubahnya menjadi unit-unit Rusun, mungkin 1 ha bisa ditempati oleh 4-5 tower/bangunan rusun dengan 1 tower berisi 200 unit. 

Kira-kira saya pernah baca, untuk membangun Rusun sudah bisa dipastikan berkisar lebih dari 100 Miliar Rupiah untuk 1 kompleks tentu lebih dari 2 tower (variatif dari segi lahan maupun berapa unit yang dibangun dengan tinggi menjulang). Termahal pernah baca hingga 900-an M rupiah karena faktor lahan juga yang relatif mahal dan memang harus membeli lahan masyarakat oleh karena lahan negara yang dipakai juga kurang. Tapi kurang lebih segitu, bisa diambil rerata sekitar 400 Miliar untuk membangun Rusun di kompleks 1 ha dengan 5 tower yang masing-masing ada 200 unit Rusun menampung masyarakat MBR (Berpenghasilan Rendah) alias dibawah UMR (lebih elegan daripada kata miskin).

Seperti kasus penggusuran di Jakarta beberapa tahun lalu. Begitu saya baca, mereka tidak langsung menempati dan musti bayar begitu saja. Ada kasus bilamana sosialisasi berjalan mulus maka relokasi berjalan antusias bahkan dengan senang hati warga membereskan semua (ini yang tidak terlalu diekspos karena media terkadang politis). Mereka pada saat sosialisasi juga diajak untuk mengambil unit rusun dan pasti sudah ada proses pemilihan unit. Begitu setelah penggusuran dan pindah, mereka sudah langsung serah terima dan menempatinya. Mereka diberikan gratis untuk pembayaran (kira-kira 6 bulan hingga 1 tahun) pasca menempati unit. Mereka hanya 'bawa badan' saja, Rusun sudah full furnished layaknya rumah yang nyaman. Tipenya variatif ada 36 hingga 45. Tentu mempengaruhi kisaran sewanya juga, paling rendah 300ribu paling tinggi 400ribu. Itupun sudah include maintenance layaknya apartemen seperti iuran keamanan, kebersihan, bahkan sampai listrik dan air sudah masuk dalam komponen bayar sewa. Sangat murah bukan?

Kemudian, eksperimen sosial yang dinilai bisa menjadi Investasi Sumber Daya Manusia ada disini. Ketika mereka diwajibkan untuk memiliki buku rekening (biasanya bank daerah) selain mereka diurus KTP dan KK-nya, supaya apa? Agar mereka bisa menabung dan kelak bisa untuk tabungan di hari tua nanti. Mereka difasilitasi BPJS Gratis (PBI) karena mereka kurang mampu, kemudian anak mereka dijamin Kartu Pintar dan lansia mendapatkan kartu lansia untuk mengakomodir kebutuhan mereka. Jika anak-anak pasti dijamin bukan sekedar gratis sekolah hingga kuliah namun kebutuhannya juga dari Kartu Pintar tersebut (seperti semi bansos). Melalui kartu tersebut, mereka mendapatkan jaminan sembako murah karena ada toko grosir di Unit Rusun, lalu ada taman bermain, layanan kesehatan (lengkap dengan dokter yang standby mengunjungi rumah), pusat komunitas hingga yang terpenting mobilitas gratis dengan jaminan kartu rusun, maka bisa naik bus gratis kemanapun. Kurang lebih kebutuhan dasar berhasil dijamin oleh pemerintah melalui banyak jaminan sosial, sehingga kerasnya kehidupan kota bisa diminimalisir dan mereka bisa sedikitnya tenang.

Investasinya selain dari dorongan untuk menabung, Kepala Keluarga yang sebenarnya juga merupakan warga berpendidikan rendah (SMA kebawah) diajak bekerja sebagai pekerja harian lepas dengan gaji UMR, kemudian ibu di rumah bisa menjadi pengusaha UMKM dengan skema lunak baik hibah CSR maupun Pinjaman (makanya ada pula kios UMKM yang notabene dihidupkan para ibu-ibu rusun untuk berjualan). Hitungan kasarnya, jika jaminan sosial dan keringanan yang diberi sudah mencakup sekitar 2,5 hingga 3,5 juta per bulan. 

Ayah mendapatkan gaji UMR sebesar 5 juta dan Ibu mendapatkan keuntungan bersih usaha 3 juta, maka 1 KK bisa menerima 8 juta per bulan dan dikurangi kebutuhan pokok yang sebenarnya sudah dijamin murah sekitar 3 juta, kemudian untuk kebutuhan rusun tidak sampai 500ribu. Anggaplah kebutuhan bisa ditekan kurang dari 4 juta per KK. Otomatis, masih bisa untuk menabung sekitar 2-3 juta per bulan untuk masa depan. Apalagi pendidikan yang menjadi beban besar sudah ditanggung oleh jaminan.

Rusunawa ini temporer, maksimal hanya 2 generasi saja. Mengapa? Karena mendorong supaya kedepan keluarga bisa pulang dan bisa membeli sendiri rumah hak miliknya berikut dengan hidup lebih baik. Skenarionya, jika hitungan 20 tahun. Keluarga sudah menabung secara asumsi 3 juta per bulan dikali 20 tahun saja. Sudah bisa dipastikan 750 juta sudah dipegang (dalam hitungan masa kini, belum termasuk bunga atau inflasi berjalan yang mana ada kenaikan) untuk masa depan. 

Selanjutnya, anak-anak mereka juga pastinya sudah sampai kuliah dan lulus menjadi sarjana (ini yang terpenting). Oleh karena di keluarga yang kepala keluarganya lulusan SMA kebawah bisa melahirkan 1 atau 2 orang sarjana maka kelak mereka pula yang 'selamatkan' keluarganya dari jurang kemiskinan. Ketika mereka mapan dan mendapatkan pekerjaan, otomatis ayah dan ibu mereka di masa tua-nya juga bisa ditanggung dengan baik bahkan sebenarnya ayah dan ibu mereka jika pulang kampung dengan tabungan cukup, bukan hanya rumah layak namun bisa bakal modal usaha di kampung. Setidaknya bukan mewah, namun cukup mapan. Investasi bukan?

Saya membayangkan apabila program di daerah saya ini dinasionalisasi, dan diberi perhatian maksimal karena kemiskinan negara ini sangat sulit untuk turun dan yang menjadi sentimen terbesar adalah kemiskinan di perkotaan (bayangkan selama 5 tahun hanya turun 1 persen saja). Maka terobosannya, jika ini dilaksanakan di 10 kota saja menyasar masing-masing titik adalah 10 permukiman kumuh berbasis garapan dimana 1 permukiman kumuh tersebut berisi seribu KK. Mereka di-rusun-kan berikut pula dijaminkan biaya hidup (seperti skema investasi) apalagi pastinya tiap 1 KK pasti punya 1-2 anak usia sekolah dimana 20 tahun atau bahkan kurang (siapa tahu begitu digusur ada yang tinggal kurang dari 10 bahkan 5 tahun sekolah lagi untuk mencapai dunia kerja). 

Ketika 1 hingga 2 anak (sebenarnya penekananya juga bukan sekedar dari ayah dan ibunya, namun terpenting karena berkelanjutan adalah anaknya) tersebut berhasil jadi sarjana dan mendapatkan pekerjaan layak. Maka demikian, mereka bukan hanya menyelamatkan dirinya saja melainkan sudah bisa dipastikan ayah, ibu dan mungkin anak lainnya yang masih sekolah keluar dari jurang kemiskinan. 1 anak bisa selamatkan 3 anggota keluarga lain berarti 4 orang keluar dari jurang kemiskinan. 

Jika seribu KK atau 1 titik = 4 ribu jiwa, lalu 10 titik atau 1 kota ada 40 ribu jiwa dan dikali 10 yang mencakup Nasional ada 400 ribu jiwa. Bayangkan jika semua bisa dientaskan selama 20 tahun bahkan kurang. Plus setiap tahun selama 20 tahun ada penambahan kota sasaran sebanyak 10 untuk dirusun-kan. Impresif bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun