Sebuah opini yang terngiang dari benak pribadi, ketika saya mengingat fenomena yang terjadi beberapa tahun selang. Dimana pemerintah provinsi di daerah saya (jelas sekali DKI Jakarta) sedang gencar-gencarnya untuk melaksanakan penggusuran alias penertiban lahan yang notabene selayaknya merupakan aset negara/daerah yang dipergunakan sesuai dengan ketentuan tata ruang semisal untuk pembangunan jalan atau ruang hijau malah diduduki oleh para pemukim-pemukim liar yang sudah menahun tinggal di Ibukota. Mereka digusur jelas sekali atas dasar pelanggaran, meskipun mereka tetap ngotot bahwa lahan yang mereka tempati sudah lama, bahkan mereka tetap bertahan oleh karena aspek kekerabatan atau engagement yang sangat besar terhadap lingkungan tersebut.Â
Beribu alasan dilontarkan namun beribu pula perlawanan yang disampaikan hingga terkesan seolah adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (soal ini debatable ya). Yang jelas, dalam berita tersebut, saya juga melihat bahwa mungkin saja ada faktor provokasi atau eksternal yang membuat semua runyam, bahkan jika dinilai tidak partisipatif kenapa sosialisasi dibuat berulang kali dan lantas mengapa akhirnya alot. Kira-kira begitu, padahal masyarakat juga tiada pilihan lain selain memang mengikuti arahan saja, apalagi jika direlokasi ke tempat yang semestinya ditempati secara kayak (masih baik bukan sebenarnya).
Mereka memang dipindah dan akhirnya belajar untuk terbiasa hingga pada akhirnya berita tentang kekisruhan yang terjadi pasca di tempat baru. Jujur, ini hanya opini dan saya pun tiada mendengar. Barangkali memang efektif. Setelah saya amati, bahwa sebenarnya wajar saja mereka para pendatang yang sebenarnya merupakan korban kerasnya persaingan di Ibukota tersebut, kalau pandangan saya lebih-lebih pada proses seleksi alam yang memang tidak menjamin sepenuhnya.Â
Mereka sejatinya hidup dalam dilematis ketika harus tinggal pada kekumuhan, salahnya juga Pemerintah yang kurang concern tentang aset mereka, atau bahkan ada unsur kesengajaan (Wallahualam). Paling tidak aspek kelalaian bercampur kegagalan memang melingkupi fenomena ini. Melalui perspektif pendatang miskin tersebut, mereka juga sulit untuk pulang namun disisi lain mereka juga ingin bertahan hidup walau seadanya. Yasudah lama kelamaan peradaban terbangun meskipun secara legal-formal salah.Â
Memang negara juga (dalam arti pemerintah metropolitan tidak peka) namun sebenarnya inilah tatanan sosial yang harus diperbaiki. Intinya, jika belakangan ini pengendalian urbanisasi melalui operasi yustisi digalakkan, saya rasa tidak ada masalah. Karena mencegah lebih baik daripada mengobati, lebih baik mereka dipulangkan jika memang tidak memenuhi atau memadai dalam menghadapi kerasnya Kota, dalam segi identitas, jaringan kerabat, tempat tinggal, pekerjaan tetap, maupun kemampuan bahkan modal biaya hidup. Alias hanya sekedar iseng atau ikut-ikutan saja merasakan Kota. Harap-harap kepekaan itu benar-benar diamati lagi, sambil juga sebenarnya akibat dari pembangunan yang tidak merata. Maka demikian, daerah yang menjadi 'sarang' pendatang selayaknya juga peka untuk memperbaiki keadaan, untuk bersinergi memajukan ekonomi mereka yang tentunya berdaya saing dan bernilai tambah. Perlu inovasi dan kreasi yang lebih.
Kembali soal kemiskinan perkotaan, sebenarnya ini juga saling berkorelasi dan perlu diingat bahwa kemiskinan di perkotaan sudah hampir menyamai dengan pedesaan (Sebelumnya relatif jauh, namun kemiskinan perkotaan semakin meningkat). Berikut pula ketimpangan yang terlihat dari rasio gini saja.Â
Sementara, pastinya pemerintah kota juga dilema karena tidak sepenuhnya bisa menjangkau mereka para pendatang, oleh karena mereka sendiri datang tanpa permisi (namanya juga nasib-nasiban saja bisa tembus, sekiranya ada operasi yustisi) namun untuk kedepan? Inilah yang menjadi problematika besarnya, tentang manajemen pengendalian penduduk serta pengentasan kemiskinan yang semakin kompleks dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi. Mungkin saya tidak tampilkan datanya spesifik, namun sebagai refleksi saja. Kira-kira benar bukan jika kita melihat pembangunan dan maraknya investasi di negara khususnya kota besar namun arus pendatang dan akhirnya menumbuhkan kemiskinan baru semakin marak?
To the point, salah satu solusi dan korelasi dengan situasi awal yaitu soal penggusuran dan relokasi. Menurut saya hal ini harus dicermati, dan sejatinya cukup efektif bila dikatakan sebagai eksperimen, berdasarkan data BPS yang saya dapat. Kemiskinan di perkotaan kurang lebih sebesar 7,5 persen dari total kemiskinan secara Nasional 9,5 persen. Bahkan sudah bertambah selama 10 tahun terakhir sebanyak 3-4 persen berbanding kemiskinan di pedesaan yang cenderung stagnan bahkan sempat menurun meski mengalami kenaikan karena pandemi. Kurang lebih orang miskin di perkotaan ada sekitar 12 juta jiwa. Apalagi di kota saya (pernah membaca datanya) sekitar 85-90 persen menetap di kawasan yang dikenal sebagai garapan (sebenarnya itu merupakan tanah negara yang 'tidur') bahkan telah membuat peradaban disana selama puluhan tahun.Â
Saya berpikir, kenapa lahan-lahan 'tidur' yang kembali dihidupkan tersebut tidak lantas dikonversi menjadi sebuah Rumah Vertikal (susun) ya? Ibaratnya semisal dalam hitungan 1 ha kawasan permukiman ada sekitar 1 ribu KK (banyak sekali bukan) dimana kepadatan mereka juga tidak sebanding dengan lahan yang selayaknya ditempati. Jika pemerintah mengubahnya menjadi unit-unit Rusun, mungkin 1 ha bisa ditempati oleh 4-5 tower/bangunan rusun dengan 1 tower berisi 200 unit.Â
Kira-kira saya pernah baca, untuk membangun Rusun sudah bisa dipastikan berkisar lebih dari 100 Miliar Rupiah untuk 1 kompleks tentu lebih dari 2 tower (variatif dari segi lahan maupun berapa unit yang dibangun dengan tinggi menjulang). Termahal pernah baca hingga 900-an M rupiah karena faktor lahan juga yang relatif mahal dan memang harus membeli lahan masyarakat oleh karena lahan negara yang dipakai juga kurang. Tapi kurang lebih segitu, bisa diambil rerata sekitar 400 Miliar untuk membangun Rusun di kompleks 1 ha dengan 5 tower yang masing-masing ada 200 unit Rusun menampung masyarakat MBR (Berpenghasilan Rendah) alias dibawah UMR (lebih elegan daripada kata miskin).