Sebuah opini yang mungkin bisa diinterpretasikan berbeda tentang situasi 'bawah tanah' yang terjadi hari demi hari. Rasa-rasanya ada suatu ganjalan berat yang dialami oleh 2 Partai besar yang berada dalam Pemerintahan saat ini. 2 Partai yang sejauh ini tidak pernah punya 'gen' oposisi karena selalu 'ngekor' dengan kekuasaan.Â
Berusaha di seperempat abad ini ingin eksis di kontestasi meraih kekuasaan. Apalagi salah satu dari kedua partai tersebut terkenal dengan 'partai keramat' kalau partai yang satunya terafiliasi dengan organisasi 'keramat' karena massanya yang besar. Kedua partai memang terkesan memiliki sejarah yang panjang dengan kematangan dalam struktural dan tatakelola sebuah partai politik. Ibarat sebuah mesin, sudah sangat panas namun sayang endingnya hanya sebagai penonton karena supirnya (maaf-maaf) tidak menjual atau apes juga.
Kebetulan Ketua Umum Partai ini terkesan menggebu-gebu, terlihat momentum 3 tahun lalu di masa pandemi dimana mereka sudah 'curi start' pasang baliho dengan jargon-jargon ala-ala negarawannya seolah sudah bersiap diri. Salah satu Ketua Umum dahulu sebelum Pemilu 2019, selalu menggaungkan Cawapres meski akhirnya bukan berkahnya. Ketua Umum yang satunya lagi terkenal dengan jargon "Kerja Untuk Indonesia" Tak tanggung-tanggung langsung berpaku pada putusan Munas meski dia baru seumur jagung menjadi Ketum, mumpung partainya solid karena di masa dia setiap faksi baik lokal maupun Nasional dirangkul dengan baik dan 1 hati 'ngototan' untuk dia sebagai Capres.
Kalau, Partai yang 2019 Cawapres dan 2024 naik jadi Capres sekalipun batal jadi Capres tersebut karena tokoh-tokoh di partai tersebut menginginkan bahwa partai tersebut harus eksis meskipun punya sejarah yang rakyat tahu sangat buruk. Cluenya adalah kardus dimana sang Ketum pun dikenal memiliki sejarah buruk dengan pendiri utama (sebenarnya partai tersebut) imbasnya sekalipun partai tersebut lama berdiri dan sempat top suaranya sekarang rada menurun makanya 'main aman'.
Kebetulan 2 Partai tersebut adalah membawahi 2 kekuatan ideologi besar. Satu adalah partai Nasionalis dan satu adalah partai Religius. Kebetulan partai Nasionalis tersebut semakin hari menunjukkan kematangan demokrasinya dengan adanya regenerasi kepemimpinan tidak terpaku pada 1 orang bahkan 1 trah yang sama, partai ini dikenal dengan faksi yang terpaku pada lingkaran elit berbasis pelaku ekonomi (cluenya adalah golongan kekaryaan), partai ini akhirnya menjelma menjadi partai yang selalu berpaku pada Pancasilais (meski dikemas dengan konsep Konservatif dan Ultranasionalis) dimana saat itu dipegang oleh kemiliteran yang juga sebagai Pemimpin Negeri ini.
Intinya kontra dengan gejolak kiri saat itu (cluenya adalah merah). Hingga satu ketika, setelah reformasi partai ini terkesan memudar meski sudah cenderung mengikut demokratisasi tapi mungkin karena sentimental masyarakat terhadap partai ini di masa lampau sekalipun partai ini dikenal sebagai pro pembangunan, tapi menimbulkan kesenjangan karena banyak makelarnya. Tapi untungnya setelah reformasi, partai ini condong teknokratis tidak lagi kental militeristiknya, pasca sang pemimpin negeri dari partai ini lengser karena reformasi.
Partai satu lagi yang Religius adalah partai warisan dari seorang tokoh agama, anak seorang pahlawan dan cucu seorang pendiri organisasi 'keramat' yang kebetulan menjadi pemimpin negeri era reformasi. Partai ini menjadi kuat karena menjadi poros baru yang seakan beda dengan partai agama yang lain, dimana dikedepankan konsep moderasi yaitu nilai agama yang cenderung beda dengan tradisionalis kaku menjelma agak toleran. Namun sayang ketika di suatu perjalanan, partai ini sempat 'goyah' karena gejolak yang diakibatkan oleh kerabat sang pendiri partai yang singkat cerita 'menguasai' partai tersebut hingga sekarang.Â
Makanya wajar ketika dahulu partai tersebut sangat afiliate dengan organisasi massa agama tersebut. Lantas kini terkesan menjauh, bahkan kader atau keluarga yang menjadi anggota organisasi tersebut tidak semata-mata menguatkan partai tersebut pasca kejadian itu. Sang pendiri partai mengubah sikap dimana mempengaruhi jaringan, pilih partai lain asal tidak dengan partai yang pernah ia dirikan. Katanya sih karena intervensi penguasa saat itu.
Sekarang, Kedua Ketua Umum Partai tersebut, yang satu sebagai Menteri Koordinator dan yang satu sebagai Wakil Ketua Lembaga Parlemen, mengalami dilematis ketika nasib survey elektabilitas yang tidak 'menjual'. Nasib kedua partai sama,Â
Dilengkapi mesin yang 'panas' tapi supirnya tidak 'ganas'. Ketika daya tawar keduanya terkesan menurun. Belakangan ini santer dikabar, keduanya sudah bulat tekadnya personally akan mengarah ke salah satu Capres, dimana konsepnya Capres Tunggal akan berubah namun kedua partai akan memperjuangkan masing-masing Ketua Umumnya untuk menjadi Cawapres. Bahkan salah satu partai (yang Religius itu) sudah lebih dulu mendeklarasikan koalisi bersama dengan partai yang diketuai Capres tersebut, sosok yang sudah berapa kali maju dan dikalahkan petahana dan akhirnya jadi Menterinya.Â