Beliau memang sudah cukup lama dalam memerintah, namun sepertinya banyak yang berpandangan bahwa 6 bulan adalah waktu yang tepat untuk menilai seseorang mampu hadapi krisis atau dilemma dalam memutuskan kepemimpinan. Pusing memang tapi seharusnya jangan pentingkan ego dalam fokus bekerja dalam rangka solutif. Kemacetan adalah bagian dari pembangunan dan perkembangan kota metropolitan. Namun apabila hanya dibiarkan bahkan 'dielak' dengan sesuatu yang justru menimbulkan perdebatan. Kapan selesainya?
Lalulintas menjadi poin kritis di bulan keenam kepemimpinan Pj Gubernur Heru Budi Hartono. Belum lama rekayasa lalulintas menutup persimpangan di kawasan Santa yang diharapkan mampu mengurai kemacetan baik akibat Lampu Merah maupun Putar Balik (U Turn) dimana konsepnya mengurangi arus di persimpangan akibat putar balik karena musti diputar lagi kearah persimpangan yang lebih besar. Justru sebaliknya.Â
Rekayasa yang mendorong kendaraan dari Wijaya-Antasari untuk Tendean untuk memutar via Monginsidi (memang jalan searah) agar bisa sampai ke Suryo bikin sumpek. Bottleneck karena ruas jalan yaitu Monginsidi-Gunawarman-Senopati-Suryo sudah sangat sempit dan padat.Â
Blundernya, justru menggerus taman plaza pedestrian beserta jalur sepeda yang berada di dekat Gereja dengan Jalan Aspal untuk lajur kendaraan dari arah Tendean. Jelas, Menggerus hak para pejalan kaki maupun pesepeda yang jalurnya sudah disediakan. Imbasnya adalah karena memutus U Turn yang sebenarnya sudah relatif mudah, malah dipersulit untuk melewati ruas yang sebenarnya tidak didesain untuk banyak arah.
Makanya menuai polemik dari berbagai kalangan terutama aktivisme yang dikenal concern pejalan kaki, angkutan umum dan pesepeda. Dinilai Pemerintah seolah serampangan dalam membuat sebuah kebijakan, tidak profesional dan pro pembangunan yang berkelanjutan. Jauh dari semangat para pendahulunya yang mengutamakan kepentingan pejalan kaki dan pesepeda seperti negara-negara maju. Sudah macet tidak lantas hilang bahkan gegara bottleneck yang terjadi (padahal tujuannya demi atasi bottleneck karena TL dan U-Turn) malah memperbesar Bottleneck baru dimana kemacetan terjadi bahkan sampai ke Gatot Subroto sana.Â
Kemudian menjalar ke jalan lainnya seperti Senopati, Tirtayasa dan Ciranjang yang notabene jalan lingkungan. Singkat cerita, setelah beberapa hari diterapkan. Karena desakan masyarakat, dimana para aktivis melakukan aksi menentang dengan tabur bunga berikut animo masyarakat yang 'membangkang' dengan melawan arus, menduduki trotoar bahkan merusak batas U-Turn secara tiba-tiba. Kebijakan uji coba ini berakhir. U-Turn di Lampu Merah Monginsidi dibuka, kemudian Traffic Light dinyalakan kembali. Kemudian Trotoar dan Jalur Sepeda? Dalam waktu dekat akan dibangun kembali. Blunder bukan?
Kebijakan soal U-Turn, Tutup Persimpangan, dan Sistem Satu Arah adalah sistem klasik. Tidak bisa menjadi kebijakan permanen apalagi 'primadona'. Sistem yang sebenarnya hanya 'memuaskan' sesaat laju kendaraan di titik tertentu tapi endingnya malah makin parah. Di sebagian titik lain dari sekitar lebih dari 40 titik yang sudah diterapkan. Memang ada yang efektif, semisal dalam konteks menutup U Turn dii persinggungan antara bus lane Transjakarta. Tapi tak sedikit yang merugikan bahkan didorong untuk memutar lebih jauh padahal sebenarnya kondisi jalan tak memadai. Ternyata ada angkot yang seringkali ngetem dan membuat kemacetan tak terhindari. Berikut juga Sistem Satu Arah, mungkin di jalanan yang pure untuk perbelanjaan cocok. Tapi jika diterapkan di jalanan yang menjadi akses utama karena lebar tak memadai malah jadi bumerang. Berikut juga persimpangan atau Lampu Merah, kalau tak dibarengi dengan Simpang Tak Sebidang tidak mungkin efektif.Â
Makanya lebih baik Pj Gubernur evaluasi lagi. Kalau memang beberapa program pendahulu seperti Sumur Resapan dan Jalur Sepeda dievaluasi dikaji selektif. Selayaknya kebijakan rekayasa berbasis jalan ini demikian. Jangan dipukul rata efektif. Mengurai manajemen lalulintas berbasis jalan sebenarnya tiada salah. Yang menjadi salah kalau justru menggerus hak bahkan bersinggungan dengan pengelolaan berbasis angkutan yang sebenarnya lebih efektif lagi mengurai kemacetan.Â
Kalau menurut saya secara konkrit seperti mengurai kemacetan di persimpangan bahkan memberi ruang untuk pejalan kaki lebih luas berikut pesepeda. Bisa jika dibuat Underpass seperti di Senen, untuk konteks Santa memang sebaiknya seperti itu apalagi kemacetan terjadi antara Wijaya dan Tendean. Apabila dirampungkan Persimpangan bisa diurai, jalan atas cukup untuk Tendean ke Monginsidi dan akan muncul ruang lapang yang bisa untuk interaksi atau kegiatan publik diatas Underpass. Secara Wijaya juga lumayan lebar. Setelah itu mendorong Transjakarta (ketinggian disesuaikan) untuk melaluinya.
Untuk memastikan U Turn dan Satu Arah berbasis jalan juga demikian. Sebenarnya dengan memastikan bahwa kalau memang trotoar sudah ada yang cenderung lebar. Bukan berarti dikurangi, tapi pastikan bahwa parkir on street (dominannya ilegal) bisa ditertibkan berikut dengan menertibkan angkutan yang ngetem.Â