Sebenarnya terus terang dalam rangka memulihkan kembali suatu sistem kesehatan semesta dalam sebuah negara Indonesia memang sangat kompleks.Â
Sejatinya kita bisa belajar dari Covid-19 bahwa kita tidak siap menghadapi situasi dimana ada wabah atau penyakit yang sangatlah besar berdampak dan kita tidak bisa cegah dan antisipasi sehingga di skema penanganan ibarat kata bikin 'boncos' sebagian besar layanan kesehatan yang tersedia.Â
Kuratif yaitu penyembuhan terhadap gejala penyakit yang sudah meluas serta rehabilitatif yaitu bagaimana memfungsikan kembali yang rusak agar bisa berjalan secara normal memang penting dan harus diakomodir secara maksimal dalam rangka memastikan bahwa sumber daya manusia kita tidak terkesan rentan.Â
Namun lebih baik lagi, apabila sebenarnya edukasi dan sosialisasi masyarakat adalah bagaimana PHBS itu digalakkan dengan promotif seperti zaman Covid New Normal yaitu 3M bahkan dulu sempat 5M bahkan 6M sekarang menjadi 2M atau bahkan 1M saja yaitu Memakai Masker (itupun situasional) dan Mencuci Tangan bahkan lebih rutin lagi demi higienis.Â
Tentu efektif sekali mengurangi bahkan mencegah potensi penularan secara masif, begitu juga dengan Preventifnya atau pencegahan kearah lebih intens seperti deteksi dini yang kita ketahui testing melalui PCR dan Antigen. Dimana kita bisa screening dan lakukan pengendalian antara perawatan mana yang diperlukan antara yang ringan, sedang, dan berat atau bahkan tanpa gejala atau kontak erat namun negatif.Â
Sebenarnya kita bisa belajar banyak dari Covid-19 dan bagus juga arahan dari Kemenkes bahwa inisiasi tentang Promotif-Preventif harus lebih maksimal dibanding kita musti fokuskan ke Kuratif dan Rehabilitatif. Kan seperti kata pepatah 'Mencegah Lebih Baik daripada Mengobati' ya memang benar karena kalau tidak bisa boncos juga karena jelas sekali bukan hanya Covid seperti kita tahu penyakit berat semacam jantung dan kanker memang butuh penanganan serius dengan spesialisasi handal ditambah teknologi yang tinggi tentu dengan biaya sangat mahal. Pusing lah pokoknya sampai bikin kering kas BPJS kita akibat klaim penyakit tersebut.Â
Menkes to the point saja, daripada capek disitu sebenarnya deteksi sejak awal lebih baik lewat MCU sehingga jika masih ringan bisa diobati secara preventif mungkin dengan vitamin kah atau obat yang cenderung lebih meningkatkan imunitas atau lebih kepada vaksinasi yang mana sebenarnya lebih maksimal dalam rangka mencegah potensi penyakit apalagi menular.
Jujur opini ini memang tidak spesifik berkaitan dengan kacamata teknokratis sebuah kesehatan. Hanya saja kita berpikir pragmatis saja pada pengelolaan kesehatan sekarang yang tentunya akan menghadapi situasi ketidakpastian juga seperti pula kondisi ekonomi.Â
Sejatinya mewujudkan Indonesia Sehat adalah keniscayaan pula mewujudkan sumber daya manusia yang unggul. Makanya ketika mendengar BPJS Kesehatan selama ini belum berani klaim MCU malahan asuransi kesehatan justru aneh. Padahal daripada mereka habis duit untuk klaim operasi mayor penyakit-penyakit yang notabene berat mending fokuskan saja pada pencegahannya.Â
Memang tidak kasihan nakes spesialisasi harus capek begitu mereka menghadapi lonjakan pasien penyakit berat akibat para pasien tersebut sebelumnya telat untuk ditangani atau diedukasi untuk lebih menjaga kesehatannya. Setidaknya, jika memaksimalkan pelayanan kesehatan pratama digalakkan tentu meringankan pula bebannya.Â
Lantas rata-rata banyak berasumsi mahal di pencegahan tadi yaitu melalui MCU karena alat-alat yang dibutuhkan seperti untuk pemeriksaan darah, kanker, hingga pada jantung dan paru-paru (penyakit dalam) memang sangat mahal karena impor dan teknologi tinggi. Ini juga pertanda bahwa sebenarnya tuntutan untuk mencegah situasi kondisi yang akan terjadi di masa datang perlu dibarengi dengan kedigdayaan kita untuk menyiapkan alat perang, bukan pada saat perang berlangsung melainkan pada posisi untuk mempersiapkannya sehingga strategi yang dicapai maksimal.Â
Kalau saya berpikir begini jika dahulu PCR saja didorong untuk buatan dalam negeri untuk deteksi Covid dengan harga semiring mungkin, kenapa industri kesehatan tidak didorong untuk alat-alat deteksi lainnya yang notabene checking and screeningnya terkenal mahal.Â
Tentu 'Investasi' R&D kita harus benar-benar mapan. Negara harus berpihak dan mulai berpikir untuk menyiapkan itu semua belajar dari Singapura sehingga mandatory checking seperti halnya MCU baik di RSU Swasta maupun Pemerintah (wabil khusus Pemerintah) bisa memadai dan menjangkau semuanya. Setidaknya kalau kita bisa menjaga tentunya akan lebih bermanfaat. Akan banyak nyawa terselamatkan, tinggal selanjutnya after deteksi kita cegah lagi semisal rutinan vitamin atau vaksin yang mana kalau mau murah bahkan gratis didorong untuk generik alias buatan dalam negeri yang murah pula.
Nahh untungnya saja untuk tahun depan rencana Pemerintah bersama BPJS akhirnya menanggung screening penyakit mulai dari 14 jenis penyakit yang bikin 'boncos' tadi ya sebenarnya berpikir realistis saja kalau memang kita takut sakit setidaknya kita juga tahu dulu apa yang sakit sehingga nantinya juga akan mudah juga kita menjaga hidup kita.Â
Di masa yang sekarang gandrung akan teknologi sebenarnya lebih mudah juga untuk mendorong bagaimana pencegahan itu bisa dilaksanakan. Melalui integrasi dengan Satu Sehat yang notabene pengembangan dari PeduliLindungi. Justru dengan adanya teknologi proses dan kualitas penanganan bahkan pencegahan bisa by data dan akurasinya bisa lebih maksimal.Â
Melalui aplikasi respon juga bisa terukur melalui rekam medis yang sebenarnya bisa terhubung dari proses MCU yang sudah dilakukan dan juga terdata pula bagaimana kita bisa melakukan aktivitas untuk mengobati atau melakukan gaya hidup sehat kita semisal seperti halnya Telemedicine dimana kita musti bertindak apa jika ada gejala serta obat apa yang diminum hingga jaringan kepada RS terdekat dimana data kita juga bisa terhubung kepada mereka dan langsung tahu apa yang musti dilakukan. Bahkan sebenarnya belajar pula dari Covid-19, jika memang kita sudah deteksi dini penyakit yang sebenarnya tidak menular tentu potensi untuk terkena yang menular atau penyakit lainnya bisa diantisipasi. Karena sejatinya penyakit itu juga bisa saling berhubungan yang namanya juga komorbiditas tadi. Tinggal bagaimana manajemen risiko itu digalakkan dan sepertinya dalam segi prasarana kita juga lebih dari cukup, tinggal perkara kesadaran saja yang perlu dibangun mengingat ini adalah krusial. Sejatinya kalau kita sudah bertekad investasi di urusan seperti ini mengingat 'Sehat itu Mahal' ya otomatis harapan hidup kita juga bisa lebih panjang.
Ini juga perkara sumber daya manusia, antara keseimbangan yang diberi dan memberi. Perlu digarisbawahi bahwa sumber daya kesehatan kita masih sangat kurang dan sebenarnya PR juga bagi Pemerintah dan stakeholders terkait untuk mendorong sumber daya spesialisasi atau garda terdepan juga yang lebih maksimal. Upaya resiliensi bisa berjalan mudah bilamana mekanisme supply dan demand bisa dikendalikan dengan baik.Â
Kalau pakai kacamata ekonomi makro, jika jumlah dokter dibarengi dengan alat dan juga tempat yang memadai berbanding dengan jumlah yang harus ditangani berdasarkan pada sistem UHC atau Coverage skala semesta (penting juga memastikan bahwa semua warga bisa tercover dengan mudah) otomatis potensi loss karena boncos bisa berkurang. Tidak ribet lagi menggunakan sumber daya lebih untuk menangani musuh yang lebih besar kalau 'siasat' untuk mengukur dan mencegah bisa dioptimalkan. Begitu juga dengan masyarakatnya, apabila kesadaran sudah terbangun dan dibarengi dengan lingkungan mendukung.Â
Sebenarnya MCU juga bukan lagi menjadi momok baik dalam moril maupun materil. Melainkan menjadikan masyarakat menjadi lebih bijak karena hidup seseorang lebih berharga. Apabila mereka sudah memikirkan sejak lama dan sudah melalui tindakan pemeriksaan sejak awal tentu mereka bisa lebih bijak lagi dalam menjalankan gaya hidup tadi.Â
Seperti yang kita ketahui bahwa rata-rata penyakit 'boncos' yang dialami berasal dari gaya hidup yang tidak sehat seperti makan berlemak dan gula hingga merokok hingga minuman bersoda agar bisa dikurangi oleh karena kita memahami potensi penyakit yang ada dan bisa lebih selektif lagi menjalani gaya hidup, atau bahkan tidak takut pada tindakan-tindakan seperti harus minum obat atau vaksin. Setidaknya lebih baik bahkan murah daripada musti operasi di kemudian hari.Â
Demikian kira-kira urgensi yang dipandang secara mudah dalam merespons MCU dalam kacamata kehidupan masyarakat secara luas. Memang dinamika sekarang juga yang penuh ketidakpastian menyasar pula pada taraf atau kualitas hidup yang dinilai dari kesehatan kita. Kesehatan justru semakin mahal namun bisa terjangkau apabila kebijaksanaan kita untuk mendorong kembali gaya hidup serta ikut serta dalam deteksi demi mencegah hal yang tidak diinginkan kembali. Covid-19 'membentur' kita untuk menjadi 'membentuk' yaitu melalui New Normal kita yang sekarang lebih peka kepada kesehatan karena dikhawatirkan jika ada potensi wabah dan kita tidak tahu bahwa kita punya komorbid atau bawaan kan khawatir juga respons akan lebih berat dan mereduksi ketahanan tubuh kita. Makanya langkah kolaboratif dan sinergi harus terus digalakkan melalui promotif-preventif tersebut supaya mudahnya dengan adanya kerjasama dalam menjalankan tanggungjawab sosial tercipta ekosistem inklusif dimana ini adalah kesadaran bagi semua bukan hanya elemen tertentu saja.Â
Terakhir semoga saja masyarakat Indonesia kedepan selalu dalam kesehatan dan kekuatan untuk terus menjadi manfaat bagi semua makhluk yang ada di bumi. Sekian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H