Kita ketahui di Jakarta ada Transjakarta baik BRT atau di dalam jalur, maupun yang diluar jalur (non BRT) seperti Metrotrans atau Low Deck, Minitrans atau Bus tiga perempat maupun Mikrotrans yang familiar dengan istilah Jaklingko yaitu upgrading dari Angkot.Â
Problemnya adalah menguraikan rute non BRT. Mereka berbaur dengan jalan raya kendaraan pribadi. Sementara mereka berusaha untuk bekerja secara efektif hanya saja tidak didukung oleh kemampuan jalan memberi ruang bagi mereka untuk laju.Â
Pusing bukan? Jadi ibaratnya, Pemerintah membatasi kendaraan pribadi dengan Gage dan rekayasa lalin guna mengalihkan ke kendaraan umum, sementara jalanan yang digunakan sebagai akses justru semakin terbatas. Terus terang, sebanyak apapun uang Jakarta takkan bisa akomodir pembangunan jalan sebesar di Sudirman-Thamrin yang baru, sebagai ruas baru setelah semua Jalan yang ada sudah 'dipagari' dengan ganjil--genap.Â
Sistem ini menjelma menjadi sistem prematur karena justru 'memuntahkan' kendaraan ke jalanan yang lebih kecil alias macetnya pindah. Meningkatkan jalan arteri non ganjil genap yang statusnya sekunder atau non arteri dimana rata-rata hanya 2 lane yang selebar kurang dari 10-15 meter.Â
Rata-rata hanya selebar 8 meter, berarti harus dilebarkan masing-masing 2-4 meter untuk menjadi arteri sekunder sekaligus jadikan 4 lane. Biayanya sangat mahal tentunya, terus terang tak sanggup juga menyoroti harga lahan yang tak wajar. Lantas apa solusinya?
Di tengah gencarnya Pemerintah Provinsi untuk menambah armada dan rute pengumpan sebagai dorongan agar masyarakat permukiman bisa mudah menuju ke Halte BRT atau Stasiun KRL dan MRT (kedepan juga LRT). Mereka juga kini memikirkan bahwa jalan permukiman secara lebar dan panjang tidak terlalu memadai. Sehingga, jalannya adalah meningkatkan status jalan tersebut.Â
Baru saja muncul berita bahwa Pemerintah Provinsi membangun 10 ruas jalan tembus di beberapa titik di 5 kota Jakarta yang mana terletak diantara simpulan antara jalan arteri satu menuju jalan arteri lainnya.Â
Terlepas itu protokol maupun sekunder. Jalan tersebut sejatinya merupakan jalan lingkungan (bukan MHT atau gang) yang selama ini kita tahu jalan tersebut cuma jadi tempat parkiran mobil masyarakat yang rumahnya berada di gang sempit seputaran ruas jalan tersebut.Â
Kedepannya, Pemerintah akan meningkatkan jalan tersebut agar bisa memiliki lebar ideal yang sebelumnya 4 meter menjadi 7-8 meter (tidak mungkin selebar arteri protokol karena lebih mahal) yang artinya hanya sebagian sisi rumah permukiman masyarakat saja seperti teras atau halaman yang dibebaskan.Â
Selanjutnya, jalan tersebut statusnya buntu karena biasanya diujung ada lahan kosong yang statusnya garapan alias milik Pemerintah. Ini keberuntungan bagi Pemerintah dan memudahkan mereka untuk melaju lakukan pembangunan, biasanya lahan kosong tersebut kalau tidak jadi pembuangan sampah, ya jadi parkiran dan biasanya terbatas dengan sungai atau kanal yang sebenarnya tersambung dengan jalan lingkungan lain. Artinya apa? Berarti jalan tersebut bisa tersambung hanya terbatas oleh tanah dan batas alam yaitu sungai/kanal.Â
Daripada terlihat kumuh, memang lahan garapan sebaiknya dioptimalkan menjadi aset yang berguna. Ini juga menjadi dambaan masyarakat sekitar, jalan tersebut ditingkatkan lalu disambungkan dan akhirnya bisa tembus ke jalan yang lain. Lebih efektif dan efisien mengingat jalan tembus tersebut memangkas waktu dan jarak tempuh antar jalan arteri di dekat jalan lingkungan tersebut.Â