Weekend memang selalu identik dengan 'hari bahagia'. Selalu ramai oleh undangan hajatan dari saudara, kerabat atau kolega yang menikah atau menikahkan anggota keluarganya.
Pada hari tersebut akan dikenang sebagai hari yang 'sakral' karena setidaknya bagi yang sudah berusia dewasa alias tua memiliki seorang anak yang telah mencapai bahtera rumah tangga adalah sebuah pencapaian yang sangat membahagiakan sekaligus mengharukan.Â
Maka lantas semua musti dirayakan dengan penuh sukacita, seperti yang kita tahu dari awal semisal pertunangan hingga pada pertengahan dimana akad itu dilakukan sampai pada upacara adat atau resepsi dimana yang berbahagia menjadi 'Raja dan Ratu sehari'.Â
Tapi 2023 ini prediksinya 'musim kawin' tidak akan mudah meskipun memang pandemi telah dalam transisi menuju endemi dimana hajatan besar-besaran sudah boleh dilaksanakan.Â
Namun, perlu diketahui bersama bahwa krisis ekonomi global alias ketidakpastian itu akan menerpa terutama di kalangan anak muda yang merencanakan berumah tangga. Sungguh berat, bahkan sebenarnya sedang viral juga menggalakkan tagar Nikah di KUA sebagai bentuk bahwa proses bermewah-mewahan tidak perlu menyikapi situasi seperti ini.Â
Lebih baik sederhana namun sakral. Sebenarnya tidak salah juga kalau ada resepsi bahkan mewah-mewahan, bahkan dengan resepsi apabila menekankan pada sisi tradisi yang kental bisa menjadi sebuah kearifan lokal yang kaya bahkan menguntungkan. Bagaimana?
Jika tradisi gotong royong itu bisa dilaksanakan, sederhana saja seperti tradisi orang kita dahulu. Tidak seolah instan begitu saja mengandalkan sama EO/WO yang besar dan mahal dimana sudah menghilangkan sekat bahwa tradisi dikalahkan oleh modernisasi.Â
Kunci resesi adalah kolaborasi, andaikata kita punya kesadaran bahwa di sekitar kita juga masih perlu bantuan. Tentu melalui sukacita kita bisa kita bagikan dengan mengikutsertakan mereka dalam prosesi yang kita lalui.Â
EO/WOnya bisa dari tetangga atau saudara yang mana secara kekerabatan dalam lingkungan tinggal sudah sangat dekat. Apalagi kalau lingkungan tersebut homogen tentu akan mudah mencari 'delta' dari memastikan resepsi itu berjalan.Â
Mulai dari busana/kostum dan rias pengantennya mengandalkan salon tetangga, kemudian catering atau hidangan mengandalkan catering tetangga yang semua padat karya, kemudian dekorasi juga mengandalkan pada mereka yang bergotong royong sebisa mereka namun tetap khidmat.Â
Tempat juga cukup di rumah atau balai warga saja. Mereka juga menjadi sukarelawan dalam memastikan acara bisa berjalan meriah, semisal penerima tamu hingga pada pengisi dan penata layanan acara.Â
Tidak usah dengan me'lempar'kan begitu saja dengan orang lain yang belum tentu kita kenal, memastikan kepada sekitar kita saja sudah bisa membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan bahkan ikut serta dalam mensukseskan 'hari bahagia' tersebut.Â
Jadi bilamana kita ada rejeki untuk melakukan pesta meriah. Investasikan itu secara padat karya kepada yang terdekat dari kita. Kalau boleh untuk apa jauh-jauh yang tentunya sangat mahal. Mungkin hitungannya jika dilaksanakan secara sederhana namun meriah bisa sangat menekan biaya yang tidak perlu. Bahkan, uangnya bisa lumayan untuk tabungan masa depan atau untuk usaha-usaha produktif yang tentunya lebih berharga dalam menjaga keberlangsungan keluarga di tengah krisis. Intinya, bantu dan kolaborasi bersama sekitar, gerakkan dalam skema padat karya melalui rejeki yang sudah kita miliki. Maka niscaya kebahagiaan itu lebih bermakna daripada pesta meriah dimana sekitar kita hanya jadi penonton. Lebih baik, mereka ikut andil untuk turut serta dan ikut juga merasakan kebahagiaan baik rejeki yang kita berikan atas kontribusi mereka maupun kesediaan mereka memeriahkan acara tersebut.Â
Bagaimana? Efektif bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H