Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Yuk Atasi Resesi dengan Resepsi, Solusi Bangkitkan Ekonomi Lokal

4 Februari 2023   17:05 Diperbarui: 4 Februari 2023   17:06 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu hajatan pernikahan masyarakat di Jakarta (Foto by Kompas.com/Kurnia Sari Aziza)

Weekend memang selalu identik dengan 'hari bahagia'. Selalu ramai oleh undangan hajatan dari saudara, kerabat atau kolega yang menikah atau menikahkan anggota keluarganya.

Pada hari tersebut akan dikenang sebagai hari yang 'sakral' karena setidaknya bagi yang sudah berusia dewasa alias tua memiliki seorang anak yang telah mencapai bahtera rumah tangga adalah sebuah pencapaian yang sangat membahagiakan sekaligus mengharukan. 

Maka lantas semua musti dirayakan dengan penuh sukacita, seperti yang kita tahu dari awal semisal pertunangan hingga pada pertengahan dimana akad itu dilakukan sampai pada upacara adat atau resepsi dimana yang berbahagia menjadi 'Raja dan Ratu sehari'. 

Tapi 2023 ini prediksinya 'musim kawin' tidak akan mudah meskipun memang pandemi telah dalam transisi menuju endemi dimana hajatan besar-besaran sudah boleh dilaksanakan. 

Namun, perlu diketahui bersama bahwa krisis ekonomi global alias ketidakpastian itu akan menerpa terutama di kalangan anak muda yang merencanakan berumah tangga. Sungguh berat, bahkan sebenarnya sedang viral juga menggalakkan tagar Nikah di KUA sebagai bentuk bahwa proses bermewah-mewahan tidak perlu menyikapi situasi seperti ini. 

Lebih baik sederhana namun sakral. Sebenarnya tidak salah juga kalau ada resepsi bahkan mewah-mewahan, bahkan dengan resepsi apabila menekankan pada sisi tradisi yang kental bisa menjadi sebuah kearifan lokal yang kaya bahkan menguntungkan. Bagaimana?

Jika tradisi gotong royong itu bisa dilaksanakan, sederhana saja seperti tradisi orang kita dahulu. Tidak seolah instan begitu saja mengandalkan sama EO/WO yang besar dan mahal dimana sudah menghilangkan sekat bahwa tradisi dikalahkan oleh modernisasi. 

Kunci resesi adalah kolaborasi, andaikata kita punya kesadaran bahwa di sekitar kita juga masih perlu bantuan. Tentu melalui sukacita kita bisa kita bagikan dengan mengikutsertakan mereka dalam prosesi yang kita lalui. 

EO/WOnya bisa dari tetangga atau saudara yang mana secara kekerabatan dalam lingkungan tinggal sudah sangat dekat. Apalagi kalau lingkungan tersebut homogen tentu akan mudah mencari 'delta' dari memastikan resepsi itu berjalan. 

Mulai dari busana/kostum dan rias pengantennya mengandalkan salon tetangga, kemudian catering atau hidangan mengandalkan catering tetangga yang semua padat karya, kemudian dekorasi juga mengandalkan pada mereka yang bergotong royong sebisa mereka namun tetap khidmat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun