Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Buta Aksara, Hambatan Fundamental Generasi Emas

2 Februari 2023   21:00 Diperbarui: 2 Februari 2023   21:01 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sedih rasanya mendengar di era digital seperti ini, masih ditemui masyarakat khususnya di usia muda dan produktif yang buta aksara alias sama sekali tidak bisa membaca maupun menulis. 

Saya lantas mengira dengan gencarnya Pemerintah dengan mandatory spending 20 persennya yaitu mewujudkan wajib belajar 12 tahun kemudian Merdeka Belajar tapi kok masih ada saja masyarakat yang buta aksara. 

Kalau buta terhadap digital alias literasi digital yang rendah saja menurut saya sudah menjadi penyakit yang menghambat sumber daya yang mumpuni menghadapi persaingan global, apalagi yang sama sekali memang tidak bisa membaca maupun menulis. 

Rasanya, seolah negara memiliki 'dosa besar' yaitu tidak bisa menjamin masyarakatnya khususnya di generasi muda untuk bisa terakses pendidikan minimal calistung atau calis saja yaitu bisa membaca dan juga menulis. 

Apalagi sejak 2015 kita sudah mengalami yang namanya bonus demografi alias generasi muda atau usia produktif yang bertambah mendominasi populasi sekarang ini dan puncaknya di 2033 nanti generasi muda seolah menguasai semua aspek yang ada, ibarat kata sudah 'over' dan apabila tidak dimaintenance dengan sebaik-baiknya alias seperti sekarang boro-boro literasinya ditingkatkan, minimal bisa membaca dan menulis saja tidak sama sekali.

Apa kata dunia? 

Namun itulah kenyataan pahit yang dialami negara sebesar Indonesia sekarang ini. Sebenarnya bukan patut menyalahkan, namun kembali lagi bahwa ini PR besar yang harus ditopang secara bersama.

Terus terang ini menjadi tanggungjawab bersama mulai dari keluarga dan lingkungan sekitar juga untuk proaktif bahwa di sekitaran kita masih banyak masyarakat yang ibarat kata miskin dari akses pendidikan minimal untuk membaca dan menulis sebagai modal fundamental dalam memenuhi kebutuhan hidup. 

Angka melek huruf Indonesia memang berangsur membaik hingga 2022 sudah mencapai hampir 97 persen masyarakat atau 97 dari 100 orang bisa membaca dan menulis. Dan memang sudah banyak pula Provinsi yang angka melek hurufnya mencapai angka 99 persen sekian alias sudah sempurna (mendekati 100 persen). 

Namun masih banyak juga yang berada dibawah angka 95 persen alias tentu masih banyak warganya tidak sama sekali bisa membaca maupun menulis. 

Ini merupakan 'tamparan keras' bagi Pemerintah Daerah yang lemah dalam mengimplementasi sistem pendidikan Nasional yang sebenarnya kewenangannya sudah dialokasikan kepada daerah sebagaimana disesuaikan pada kebutuhan atau kondisi yang terjadi alias sudah otonomi. 

Namun lantas otonomi daerah yang mengakomodir urusan pendidikan tidak sepenuhnya berhasil bahkan cenderung lemah dalam mengawal gerakan pemberantasan buta huruf tersebut, terutama di pelosok pedesaan dimana masih banyak anak yang putus bahkan tidak bisa bersekolah karena ekonomi maupun sama sekali tidak ada akses prasarana yang memadai untuk mereka bisa belajar. 

Seakan menimbulkan prasangka bahwa selama ini pendidikan kita terkesan belum sepenuhnya menjawab tantangan yang terjadi pada sumber daya kita sekarang ini. 

Seolah secara kuantitas kita dorong namun kualitas belum sepenuhnya maksimal, terus terang kerja pendidikan kita hanya rutinitas tanpa improvisasi yang masif dan terukur utamanya berkaitan dengan isu yang paling fundamental seperti kepastian akan melek huruf seluruh masyarakatnya.

Ingat 100 tahun Indonesia maju dan emas ialah setidaknya masyarakat kita juga bukan hanya bisa membaca dan menulis melainkan memahami bahkan bisa mencipta seperti generasi di negara maju. Sedangkan kita masih banyak yang belum tersentuh yang namanya pendidikan. 

Konstitusi kita mengatakan demikian bahwa negara dibentuk guna mencerdaskan bukan justru membiarkan seolah ada abuse of power dalam bidang pendidikan. Dimana kuasa dan relasinya justru membiarkan ada kesenjangan atau justru ketidakberdayaan pada kemajuan. 

Yang bisa dikhawatirkan adalah kita tertinggal dan hanya menjadi penonton dalam gandrung kemajuan dunia saat ini. Seakan-akan yang terjadi saat ini adalah sistem pendidikan yang bukan mencerdaskan namun sistem pendidikan itu sendiri yang sama sekali tidak cerdas. 

Hal itu sangat ditakutkan oleh kita para generasi muda dimana menjadi berat untuk kita maju manakala sumber daya manusia tidak diutamakan khususnya memastikan mereka untuk bisa membaca menulis saja. 

Ibaratnya ini menjadi sebuah krisis tapi harus bisa dikelola secara simultan tidak hanya menunggu siapapun kepemimpinan tapi dengan cara yang terukur pada tahapan asalkan bisa dilaksanakan dengan konsisten dan juga pada tataran yang benar. 

Kita juga harus lebih menekankan diri pada kepercayaan yang membentuk sinergi niscaya semua akan mudah terlampaui. Hal ini adalah sisi fundamental dari sebuah gerakan khususnya bagi kita demi memastikan idealisme pada sistem itu mampu menjawab satu per satu runutan masalah yang dialami. 

Sebenarnya seharusnya kita itu diajak untuk terbuka. Saya rasa Kurikulum Merdeka sudah efektif namun harus bisa dipastikan bahwa itu bisa menciptakan keunggulan secara berkelanjutan paling tidak bisa saling menjembatani setiap substansi masalah yang harus diakomodir.

Paling tidak ada peta jalan yang benar dan bukan sekedar peta melainkan langkah atau kakinya juga diperbaiki agar tidak salah langkah dan tidak salah posisi. 

Begitulah yang seharusnya diilhami dalam memberantas buta huruf, ini sangatlah kompleks karena berbicara soal materi dan moril. Kebutuhan atau aksesibilitas disamping pada membangun keteguhan dan keyakinan bahwa semua bisa diubah dengan sebaik-baiknya.

Mari proaktif, mari berbenah dan juga mari tanggap kepada masalah ini. Minimal dari entitas kecil bermuara pada sebuah ekosistem yang melampaui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun