Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Money

Sebuah Ironi: (Wacana) Kenaikan Pajak, Pulihkan Ekonomi atau Penghambat Ekonomi?

15 Mei 2021   13:09 Diperbarui: 15 Mei 2021   13:15 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu hal ini pula yang menjadi tanda tanya besar melalui geliat Kebijakan atau Terobosan yang Pemerintahan kita lakukan sejauh ini bahkan setelah Bung Karno tidak lagi berkuasa sudah lama. Kini kita mengarah pada studi kasus kita, terhadap Penerimaan dan Pengeluaran Negara dimasa lampaui berbicara pada konteks yang mengarah pada krisis pada negeri ini bahkan secara Global. 

Apakah Neoliberalisme yang memang tidak secara 'hitam diatas putih' terpatri dalam Negeri ini sangatlah relevan memberi solusi? Itu juga yang memberi tanda tanya besar, manakala kita melihat bahwa ada pemahaman yang cenderung salah dalam mengelola Ekonomi di Negeri ini belakangan ini pada situasi seperti ini manakala kita dihadapkan pada sebuah pedang yang berusaha untuk menusuk lebih dalam terhadap leher kita terhadap sayap kita untuk terus terbang tinggi menuju tujuan besar.

Kita pahami bahwa 2045 Indonesia memiliki Target sebagai Negara Maju atau Berpendapatan Tinggi atau paling tidak dalam beberapa waktu kedepan mulai 10-15 tahun kedepan geliat untuk keluar dari Middle Income Trap alias Jebakan Negara berpendapatan menengah harus segera diatasi. Kita memang janganlah terlena namun jangan pula kita cenderung memberatkan atas dasar pemulihan tersebut. Ekonomi memang terseok, namun justru menyedihkan manakala kita melihat performa dari Pemerintah menyikapi gejolak ekonomi saat ini dengan rencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) setelah lama tidak diatur mulai 2022 kedepan. 

Belum pasti, hanya ada 2 skema baik Single Tariff atau Multi-Tariff. Hanya saja bilamana tetap menggunakan Single Tariff berdasarkan UU PPN tahun 2008 bahwa jikalau tariff kita mencapai 10 persen sekarang ini, bilamana dinaikkan batasnya akan menjadi 15 persen (sebaliknya jika turun menjadi 5 persen). Atau nanti menggunakan Multitariff yang mana akan dibahas nanti soal pajak yang cenderung berganda mulai PPN dikenakan pada produksi hingga konsumsi nantinya fokus pada barang mewah. (CNBC, 2021)

Saya pun sebagai seorang yang awam berpikir apa tidak salah ketika situasi krisis seperti ini dimana Pemerintah pun harus putar otak bagaimana mengungkit daya ekonomi melalui stimulus guna memulihkan kembali daya beli sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi melalui PDB. Kok bisa-bisanya mereka memanfaatkan situasi seperti ini dengan berusaha mengejar target yang sebenarnya hampir bahkan selalu mustahil tercapai dengan mudah yaitu menggenjot penerimaan pajak dengan menaikan tarifnya. Sebuah realita yang terkesan tidak masuk dalam logika, bahkan sangatlah kontradiktif bukan hanya pada Ekonomi secara Pancasilais melainkan Neolib sekalipun terkesan menentang hal-hal seperti ini. Mungkinkan akibat Praktik Neolib Negeri ini yang sudah tidak terkontrol dengan terlalu baik terhadap Pemodal?

Misalkan saja beberapa tahun terakhir, Pemerintah sangatlah memberi 'karpet merah' terhadap Investasi Asing utamanya yang bergerak dalam sektor yang strategis misalkan saja Pertambangan dimana ada jaminan Tax Holiday selama 10 hingga 20 tahun kepada siapa saja yang sudah berkontribusi selama ini terhadap PDB dengan memberi insentif keringanan pajak atas denda sehingga mereka bisa serius menggunakan kapital/modal mereka guna menciptakan inovasi atau menggenjot roda ekonomi yang lebih terbarukan lagi. Nyatanya apakah efektif? 

Justru Ekonomi kita malahan cenderung stagnan, bahkan Rasio Pajak kita malahan cenderung menurun dan salah satu yang terendah di ASEAN yaitu sekitar 10,8 persen lebih rendah dari Malaysia sekitar 13,2 persen dan Singapura sekitar 15 persen (OECD,2018). Bilamana situasi krisis seperti ini, insentif tentu tidak menjadi sebuah keuntungan bagi dunia usaha. 

Karena jelas, ketika mereka dihadapkan pada kemudahan justru produktivitas cenderung stagnan bahkan menurun drastis mengingat tidak adanya lonjakan dalam masyarakat atau konsumen untuk bertransaksi. Anehnya Pemerintah malah mempersulit dengan target penerimaan negara yang anjlok dan justru merugikan banyak sektor, bukan hanya ekonomi secara mikro dimana harga komoditas melonjak naik melainkan juga secara makro yang menyebabkan ketimpangan makin melebar bahkan kemiskinan pun malah merata dimana beban yang tinggi pun dirasakan terhadap segala lapisan.

Pemerintah hendaknya sadar akan hal ini. Mereka terlalu terlena namun cenderung tergesa-gesa akan keadaan. Pemulihan Ekonomi yang mereka gaungkan dengan Stimulus yang 'Selangit' belum berdampak apa-apa terhadap Perekonomian, buktinya saja Pertumbuhan Ekonomi kita hingga Kuartal I 2021 ini belum terbebas dari Jurang Resesi yaitu sekitar -0,74 persen apalagi semua dipengaruhi karena Pandemi yang mengharuskan Pemerintah selain fokus pada kesehatan masyarakat juga pencegahan yang barang tentu sangatlah memberatkan melalui skema pembatasan aktivitas yang kini sudah merata hingga ke seluruh Indonesia. 

Topangan berat sangatlah dipikul oleh berbagai kalangan bukan hanya rumah tangga miskin melainkan masyarakat kelas atas walaupun yang kelas atas tentu ada juga yang membukukan laba karena model bisnisnya sangatlah relevan atau yang punya terobosan lebih sehingga bisa survive ditengah situasi sekarang ini. Patut sedikit banyak diapresiasi oleh karena kerja keras yang inovatif maka demikian bisa berlaku seperti itu. 

Padahal sebenarnya menurut pandangan pengamat Ekonomi, jikalau kita memanfaatkan atau ingin mengelola Penerimaan Negara banyak basis potensi yang lebih relevan selain harus menaikkan PPN yang tentu memberatkan antara pihak besar maupun pihak kecil. Inilah pentingnya Evidence Based Policy, dimana setiap langkah kebijakan perlu bukti atau pendalaman secara ilmiah. Pemerintah haruslah lebih bijak sekaligus terukur memetakan setiap potensi dan kondisi yang tepat bukan sekedar pada ego kapitalis yang cenderung tidak bisa melihat mana sedikit yang cenderung ijo lalu dipungut namun potensi lain cenderung terabaikan padahal sangatlah maksimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun