“The Lorax: Which way does a tree fall?
The Once-ler: Uh, down?
The Lorax: A tree falls the way it leans. Be careful which way you lean.”
- Dr. Seuss, The Lorax. 2012 -
Masih ingat dengan film “Dr. Seuss’ The lorax” tahun 2012?
Once-ler yang sudah lama mencari pohon Trufulla, akhirnya menemukannya di suatu lembah. Lembah tersebut sangat indah dan asri, airnya jernih, dan banyak binatang yang hidup bahagia di sana.
Dan Once-ler ini memiliki suatu ide bisnis, yaitu membuat sebuah garmen dengan merek ‘Thneed’ yang ternyata sangat serba guna. Ia dapat digunakan sebagai syal, baju, celana, dan banyak hal lainnya. Karena keunikan Thneed, bisnis Once-ler pun meningkat pesat.
Hanya saja, salah satu bahan baku untuk membuat Thneed adalah daun pohon Trufulla. Demi mendapatkan daun pohon Trufulla, alih-alih mencabut daunnya, Once-ler memilih untuk menebang pohonnya langsung.
Aksi Once-ler ini pun menuai protes dari binatang hutan, terutama dari Lorax, si penjaga hutan yang khawatir akan dampaknya terhadap lingkungan. Tetapi Once-ler tidak mendengarkannya.
Singkat cerita, usaha Once-ler pada akhirnya menghancurkan lingkungan sekitar. Pohon habis ditebang, udara menjadi kotor, dan hewan hutan pun terpaksa harus meninggalkan rumahnya. Bisnisnya sendiri juga harus ditutup karena sudah tidak ada lagi bahan baku.
Cerita di atas mengingatkan kita akan betapa pentingnya pembangunan atau pengembangan yang berkelanjutan. Sekiranya Once-ler menerapkan sistem yang berkelanjutan, mungkin seperti tidak langsung menebang pohon, atau berinvestasi kembali ke lingkungan, mungkin lingkungan tersebut tidak perlu rusak separah itu. Mungkin juga bisnis Once-ler dapat bertahan lebih lama atau bahkan berkembang melebihi ‘sekedar’ Thneed.
Destinasi pariwisata super prioritas Danau Toba (DSP Toba) dapat dan perlu untuk menerapkan prinsip pengembangan yang berkelanjutan.
Namun sebelum itu, untuk pengenalan Danau Toba dan juga sebagai bentuk dukungan, kamu dapat menikmati video Heritage of Toba di bawah ini.
Ain’t it Wonderful? Keindahan warisan tradisi, budaya, dan alamnya memang sangat sulit untuk digambarkan dengan kata-kata. You should go see it yourself.
Okay, kembali ke topik awal.
Salah satu bentuk pengembangan pariwisata yang berkelanjutan harus memikirkan tentang pengelolaan sampah. Sudah menjadi rahasia umum, setiap kenaikan jumlah turis ke suatu tempat, maka pasti akan diikuti dengan peningkatan pemakaian sumber daya. Sebagian besar sumber daya yang telah habis dipakai, biasanya akan langsung dibuang ke tempat sampah, menjadi limbah dan tersia-siakan.
Sekarang, bagaimana jika sampah tersebut diolah kembali untuk ditingkatkan nilai ekonomisnya?
Daripada membiarkan produk yang telah habis dipakai menjadi sampah, sehingga nilai ekonomisnya menjadi nol, sampah dapat diolah untuk memberikan manfaat kepada ekonomi dan lingkungan. Salah satu caranya adalah pengelolaan sampah organik menjadi pupuk organik.
Sampah organik mewakili 53% dari total keseluruhan sampah yang dihasilkan negara berpendapatan menengah menurut World Bank. Sampah organik ini biasanya berupa sisa tanaman, sisa makanan, sisa dapur, dan sebagainya. Setiap hari diperkirakan lebih dari 190 ribu ton sampah dihasilkan di Indonesia menurut Indonesia Investments.
Dengan memperhatikan jumlah penduduk Indonesia sekitar 270 juta jiwa, maka rata-rata setiap orang Indonesia menghasilkan 700 gram sampah/hari. Jika kita mempertimbangkan jumlah penduduk di kawasan Danau Toba yaitu sekitar 200 ribu jiwa, maka setiap hari ada sekitar 74 ton sampah organik yang dihasilkan dari kawasan Danau Toba, atau sekitar 27 ribu ton per tahun. Dan angka tersebut belum termasuk sampah organik akibat dari turis yang berkunjung.
Tingginya produksi sampah organik mengakibatkan tingginya pula potensi ekonomi yang dapat diperoleh. Salah satu kisah nyatanya adalah dari Yayasan Pemilahan Sampah Temesi (YPST) yang terletak di desa Temesi, Bali.
YPST berawal dari sebuah program penelitian kecil untuk pengolahan sampah dengan kapasitas 4 ton/hari di tahun 2004. Setiap hari, truk-truk sampah mengangkut dan mengantar sampah ke tempat pengumpulan. Sampah kemudian dipisah dengan menggunakan tenaga manusia menjadi sampah non-organik dan organik. Sampah organik inilah yang dijual kepada fasilitas daur ulang Temesi.
Proses pengolahan sampah organik dimulai dengan mencacah sampah menjadi ukuran yang relatif kecil. Sampah organik kemudian ditumpuk membentuk gundukan yang setiap 2 minggu sekali dibolak-balik dengan traktor. Blower udara juga disediakan untuk menyuplai oksigen ke gundukan sampah. Setelah 3-4 bulan, pupuk kompos pun telah siap untuk dikarung dan dijual ke pasar atau ke masyarakat sekitar.
Potensi ekonomi dari YPST juga tidak hanya berhenti di penjualan pupuk, tetapi hingga ke penjualan kredit karbon kepada beberapa institusi. Pembukaan fasilitas daur ulang sebagai salah satu tempat wisata dan edukasi juga memungkinkan selama tempat pengolahan dikelola semenarik mungkin bagi turis.
Dari segi sosial, YPST juga memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk ikut langsung dalam pengolahannya, seperti melalui skema baru 'Bank Sampah'. Bank sampah mirip dengan bank keuangan lainnya. Hanya saja yang membedakannya adalah di bank sampah, yang ditabung adalah sampah.
Masyarakat diajak untuk memilah sampah menjadi sampah organik dan non-organik, lalu menyetornya ke bank sampah. Setiap transaksi tersebut kemudian dicatat di buku tabungan yang dipegang oleh nasabah atau dicatat di buku bank. Pada akhirnya, sampah yang telah ditabung dapat diubah menjadi uang dan dapat ditarik oleh nasabah.
Skema bank sampah juga tidak hanya menguntungkan bagi masyarakat. Pihak pendaur ulang juga diuntungkan karena dapat mengurangi biaya operasional seperti biaya pemilahan dan pengumpulan sampah.
Menarik-kan?
Sampah yang tidak dikelola dengan baik, tidak akan membawa manfaat dan hanya akan menambah masalah bagi lingkungan. Melalui skema pengolahan sampah yang baik, maka akan membuka peluang baru dari segi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Produksi pupuk, tempat wisata dan edukasi, atau bahkan secara langsung dapat menjadi sumber pemasukan bagi masyarakat sekitar adalah beberapa manfaat yang dapat diperoleh. Ini menunjukkan suatu siklus pengembangan yang berkelanjutan.
Mengutip kata-kata dari Film Dr. Seuss’ The Lorax lagi:
“It’s not about what it is, It’s about what it can become.” – Dr. Seuss, The Lorax. 2012.
#Wondeful Indonesia #MICE di Indonesia Aja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H