Mohon tunggu...
Felix K
Felix K Mohon Tunggu... -

x

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perlukah Pemerintah Semakin Represif?

18 Agustus 2015   13:46 Diperbarui: 18 Agustus 2015   13:57 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="sumber: porosberita.com"][/caption]

 

Polemik mengenai kebebasan berpendapat menyeruak lagi ke ruang publik dengan keluarnya pernyataan dari Ketua Umum AJI
(Aliansi Jurnalis Independen) Suwarjono. Dalam pernyataannya itu AJI menyimpulkan ada tiga pertanda di mana mereka
mensinyalir bahwa Pemerintahan Jokowi-JK ingin memberangus kebebasan berpendapat di Indonesia.

Pertama tentunya adalah Rancangan KUHP yang diajukan pemerintah kepada DPR yang mana di dalamnya terdapat pasal-pasal
tentang penghinaan kepala negara yang sempat menghebohkan karena dianggap sebagai penghidupan kembali pasal-pasal
karet yang sudah dicabut MK yang mengancam pihak-pihak yang tidak sependapat dengan pemerintahan.

Pertanda kedua adalah tentang revisi Rancangan UU ITE yang kembali memberikan ancaman pidana pada pihak-pihak yang
dianggap menghina di dunia maya. Sementara korban dari UU ITE saat ini sudah ada yang berjatuhan hanya karena curhat
mereka di media.

Dan pertanda ketiga adalah pidato Presiden Jokowi di Sidang Tahunan MPR tanggal 14 Agustus yang lalu. Di sana kalimat
Jokowi yang mengecam media yang hanya mengejar rating dan tidak memandu publik dirasa sangat kontras dengan tindakan
nya menganugrahi Surya Paloh dengan Bintang Maha Putra, sementara pada tahun 2014 AJI sempat menegur redaksi
penanggung jawab Metro TV media milik Surya Paloh dan mengecamnya sebagai Musuh Kebebasan Pers karena sikap tidak
independen mereka pada pemilu 2014.

Pro dan Kontra tentunya muncul atas pernyataan AJI tersebut. Apakah benar pemerintah yang sekarang ingin memberangus
kebebasan berpendapat atau hanyalah sekedar ingin mencegah hal-hal yang buruk, yang mungkin saja terjadi karena ingin
bebas dalam berprilaku dan menyuarakan pendapatnya ? sehingga terjadilah apa yang oleh sebagian orang dicap sebagai
kebebasan yang ke babalasan ?

sebetulnya mudah saja menentukan mana prilaku yang bebas yang kebablasan ini. Semua orang tentu sadar bahwa berteriak
"Kebakaran !" dalam sebuah ruang yang penuh sesak atau mengirim pesan "ada bom di pesawat itu" adalah kebebasan yang
sudah kebablasan dan bisa langsung dipidana, karena hal tersebut dapat membahayakan jiwa orang lain belum lagi
kerugian materil yang bisa ditimbulkannya.
Kebebasan berpendapat yang juga tidak boleh adalah tentunya yang menyangkut kebencian atas perbedaan SARA dan hasutan
untuk melakukan tindakan-tindakan melawan hukum.

Selain daripada itu sebetulnya kebebasan berpendapat dan beropini tentunya tidak boleh dikekang, termasuk yang membuat
kuping merah dan wajah panas. Kalau ada pihak yang sungguh merasa dirugikan karena pendapat orang lain, tinggal
digunakan pasal pencemaran nama baik yang berlaku universal untuk semua orang mulai dari Presiden sampai rakyat yang
paling miskin sekalipun.

Jika tidak suka dan merasa sungguh terganggu misalnya dengan pernyataan: "Dia kan dapat jabatan Menko Kesra karena
Mama-nya";
atau pernyataan: "Dia itu kan mantan narkoba.. lihat deh kemana-mana selalu pakai lengan panjang, karena di tangan nya
ada bekas-bekas suntikan dan tato salib"
silahkan lah yang bersangkutan melapor ke polisi agar yang menyatakan pernyataan tersebut tersebut bisa di proses
secara hukum dan pembuktian di depan pengadilan bisa dilakukan.

Jadi tidak perlu lah pemerintahan ini mengajukan lagi produk-produk hukum untuk melindungi presiden dari hinaan,
makian, fitnah, cercaan atau pun kritik, apalagi delik nya bukan delik aduan, di mana penegak hukum baik yang
beritikad baik ataupun yang mau menjilat atasan berhak menangkapi orang-orang yang menyatakan pendapatnya hanya karena
pendapat tersebut dianggap secara subjektif sebagai bentuk penghinaan terhadap presiden.

Jangan juga pemerintahan ini mengalihkan perhatian dengan isu-isu recehan semacam ini, sementara harga kebutuhan dasar
seperti pangan yang semakin meninggi semakin mencekik rakyat kebanyakan. Malah pemerintah selalu mencari excuse dan
kambing hitam seperti adanya mafia dan sabotase serta menghembuskan parnoia berlebihan seolah-olah ada yang selalu
menggoyangnya dan menginginkannya jatuh.

Kalau kerjanya benar dan mentri-mentrinya mengeluarkan pendapat yang sinkron satu sama lain dan bukan malah berdebat
di media, sehingga ekonomi negara semakin kuat dan rakyat hidupnya semakin nyaman, aman, mudah dan sejahtera, tentulah
tidak mungkin pemerintahan ini dibenci rakyat nya.
Itu lah senjata yang paling ampuh untuk membungkam hinaan dan cacian dan bukan dengan UU yang mengancam rakyatnya
ketika mereka mengemukakan pendapatnya.

 

Jakarta, 18 Agustus 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun