Mohon tunggu...
Felix K
Felix K Mohon Tunggu... -

x

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ditangkapnya Nelayan Asing Bukti Prestasi Jokowi dan Ibu Susi?

28 November 2014   07:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:38 2436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14171088301630451795

[caption id="attachment_378741" align="aligncenter" width="624" caption="sumber: www.kompas.com"][/caption]

Beberapa hari yang lalu kita dikejutkan dengan berita ditangkapnya 544 nelayan asing yang ditemukan mengambil ikan di perairan Indonesia. Dikatakan bahwa nelayan-nelayan tersebut berasal dari Malaysia. Kalau benar berita tersebut maka ini tentu menjadi yang pertama dalam ingatan kita bahwa begitu banyak nelayan asing yang berhasil ditangkap oleh Angkatan Laut Republik Indonesia dan menjadi bukti nyata bahwa betapa seringnya kekayaan alam kita dirampok Asing. Hal ini juga akan membuktikan bahwa Jokowi dan terutama Menteri Kelautan Ibu Susi yang kontroversial itu ternyata mampu membuat gebrakan yang tidak mampu dibuat oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya dalam menanggulangi pencurian hasil laut di wilayah perairan Indonesia.

Tetapi apakah benar 544 nelayan asing tersebut adalah maling atau pencuri seperti yang diberitakan? Setelah beberapa hari berita tersebut turun ternyata Malaysia membantah bahwa orang-orang yang ditangkap tersebut adalah warganya. Setelah beberapa hari kemudian makin jelas siapa sebenarnya identitas para "pencuri" tersebut.

Seperti yang diberitakan Kompas.com ternyata mereka adalah manusia-manusia perahu dari suku Bajo. Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia nama Suku Bajo cukup asing, tidak seterkenal Dayak misalnya. Mereka adalah kelompok masyarakat nomaden yang menjalani kehidupan dengan cara yang masih tradisional dan mencari makan dengan metode kalau di darat disebut sebagai "hunter gatherer" di mana mereka selalu berpindah-pindah mengikuti ke mana hewan yang menjadi sumber makanan mereka berpindah. Jadi tidak seperti nelayan modern yang menjaga agar hasil laut mereka agar tidak punah dengan menjaga kelangsungan hidup hewan-hewan tangkapan mereka (dengan tidak menangkap anak-anak ikan misalnya), nelayan tradisional nomaden masuk ke satu daerah menghabiskan hasil laut di sana dan kemudian pindah ke tempat lain yang masih banyak hasil lautnya.

Masyarakat suku Bajo ini tersebut secara tradisional menyebar di wilayah yang cukup luas, mulai dari Filipina Selatan, sampai ke Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan dan juga bahkan sampai ke wilayah Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Jadi tidak heran jika mereka juga ditemukan di sekitar Berau Kalimantan Timur karena wilayah tersebut adalah wilayah tradisional penyebaran mereka.

Mereka dan nenek moyang mereka sudah menangkap ikan di daerah tersebut dengan berpindah-pindah dari sebelum adanya entitas yang bernama Indonesia, Malaysia ataupun Filipina. Karena itu tidak heran bahwa Malaysia pun membantah bahwa nelayan-nelayan tersebut adalah nelayan mereka. Seperti suku Dayak yang juga tidak mengindahkan garis batas antara Indonesia dan Malaysia suku Bajo pun secara tradisional tinggal lintas batas negara karena wilayah tradisional mereka melintas batas-batas negara modern.

Jadi prestasi yang ditorehkan oleh Angkatan Laut Republik Indonesia atas perintah pemerintahan Jokowi ini ternyata tidaklah segemilang apa yang dibayangkan dan dikabarkan pertama-tama.  Mereka bukan menangkap nelayan-nelayan asing seperti dari Malaysia, Taiwan, China atau Jepang yang datang dengan kapal pukat harimau atau trawler-nya dan menjarah hasil laut kita seharga puluhan miliar per kapalnya, tapi yang mereka tangkap ternyata adalah nelayan-nelayan dari masyarakat tradisional yang memang belum tentu memiliki negara tempat tinggal yang tetap. Karena itu jumlah yang ditangkap pun cukup spektakuler, 544 orang yang ternyata tentunya terdiri dari anak-anak, orang tua dan seluruh keluarga suku Bajo yang kebetulan menjadikan wilayah Kalimantan Timur itu ajang perburuan ikan dan hasil laut mereka.

Kemungkinan besar biaya yang dikeluarkan untuk "menangkap", menempatkan mereka di tempat penampungan dan kemudian "mengembalikan" mereka ke tempat asal mereka lebih besar dari kerugian negara yang diakibatkan karena "penjarahan" yang dilakukan oleh para nelayan tradisional ini, yang hanya menangkap sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan alat-alat penangkap ikan mereka yang masih sederhana dan tradisional.

Besar kemungkinan juga bahwa nelayan-nelayan suku Bajo ini sebenarnya dilindungi oleh Hukum Internasional berupa pemberian ijin menangkap ikan di wilayah-wilayah yang sudah ditentukan bagi nelayan tradisional (traditional fishing right) yang ironis nya justru dihormati dan diberlakukan oleh pemerintah Australia kepada nelayan-nelayan tradisional Indonesia termasuk juga dari suku Bajo ini. Justru pemerintah Jokowilah yang malah menangkapi nelayan-nelayan tradisional ini yang pada dasarnya sebagian besar dari keluarga mereka juga berasal dan tinggal di wilayah Indonesia sendiri.

Menurut saya yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah bukanlah menangkapi para nelayan tradisional dan kemudian "memulangkan" mereka (karena akan dipulangkan ke mana jika Malaysia pun juga tidak mengakui mereka sebagai warganya? Dan suku Bajo hidup di laut di atas perahu mereka dari pantai ke pantai) tetapi pemerintah harus mengedukasi mereka dan secepatnya membuat kerja sama dengan pemerintah Malaysia dan Filipina untuk membina suku Bajo agar kehidupan mereka diakui oleh ketiga negara tempat mereka secara tradisional tinggal.

Melakukan tindakan represif kepada 'wong cilik" seperti itu bukanlah tindakan yang tepat dan berperikemanusiaan, karena mereka datang hanya untuk menyambung hidup dengan cara yang mereka ketahui yang sudah turun-menurun selama puluhan generasi mereka pelajari dari nenek moyang mereka. Menangkapi dan mengusir mereka dari wilayah tangkap tradisional mereka dengan alasan mereka bukan penduduk setempat bukanlah cara sebuah negara beradab berhubungan dengan masyarakat tradisionalnya kecuali kalau itulah "revolusi mental" yang Jokowi maksud.


Jakarta, 27 November 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun