Aku tidak menyangka perpisahan itu menderaku dengan cepat. Menghantam sendi sendi pertahananku meruntuhkan benteng terakhir keberanianku.
Dia adalah pahlawanku, guruku, sahabatku, rivalku dan dialah ayahku. Harapanku melihat beliau diusia senja pupus sudah. Dia pergi dalam tidurnya,selamanya.
Kamboja itu menyaksikan kebodohanku, juga rasa sepi yang kini menguasai hatiku.. meski dia juga lah yang juga menyaksikan tawa dan gurau hari hariku bersama ayah.
***
Yogyakarta, mei 2014
“Finally i’m home” kataku. Lenganku bergelayut manja pada Dave kekasihku. Dave tersenyum kecut, aku tahu dia enggan untuk ikut bersamaku. Dan keberadaannya bersamaku semata untuk mencegahku mengembalikan cincin pertunangan kami.
“I have a lot of things to do, Bri.. and youknow that I need to stay” katanya saat itu dan di setiap perdebatan kami aku selalu menang. Aku rindu rumah. Ayahku dan bagiku seribu Dave tidak lebih berharga dari kerinduanku. Bukan karena aku tidak mencintai Dave, tapi bagiku Family is everything dan Dave bukan bagian didalamnya, belum.
perjalanan itu seolah bertahun-tahun dan meski jalanan cukup lancar aku merasa sebaliknya. Kurasakan genggaman tangan Dave dan untuk pertama kalinya aku melihat senyumnya sejak kami meninggalkan bandara Narita.
Candi prambanan melambaikan tangan menyambut kami. Dan senyum angkuh Jonggrang tersungging diantara puncaknya. Dave memandang kebanggaan prambanan itu atau lebih tepatnya kebanggaanku karena candi itulah yang selalu muncul ketika aku menyebut kota kelahiranku. Dan ketika mobil yang kami naiki memasuki area Jogonalan hatiku bergejolak. Tinggal beberapa saat dan aku akan bertemu Romo, ayahku.
***
“Aku pulang Romo.. “ kataku lirih. Dan ketika pelukan kami terlepas mata Romo tertuju pada pria berambut pirang di belakangku. Tak ada senyum di bibirnya. Dan sabda yang menggelegar itu bagai gemuruh suara Merapi. “Aku mengharapkanmu untuk pulang sendiri, Nduk.. Dan aku harap pria itu bukan siapa siapa. Ketahuilah aku sudah punya pilihan buatmu” katanya dan Aku terjatuh dalam tangan lembut Biyung, ibuku.
Aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di kamarku dan dengan misterius samar samar kudengar suara Dave dan Dimas, keduanya mengklaim sebagai calon suamiku. Kupaksakan untuk keluar ke pendopo dan ternyata suara yg kudengar itu nyata.
“Istirahat saja Diajeng, kamu pasti lelah.” Suara lembut Dimas mengalun seperti langgam dandanggula laras Slendro. Aku tersenyum, bagiku Dimas adalah seorang ksatria Jawa selembut Sadewa. Dan aku pernah berharap kami menikah. “ Bri, I know you’re tired but trust me,You will feel better after telling what’s going on” Dave berkata lugas dan ketika langkahku sampai di antara mereka aku melihat Romo juga mendekat.
Kenyataan demi kenyataan menghantamku. Aku sendiri tak menyangka pertunanganku dan Dave sudah sampai ke Klaten dan Romo bersikeras menerima pinangan keluarga Cokro Admojo, Mengesampingkan fakta bahwa sudah ada cincin pertunangan di jari manis tangan kiriku.
***
“ I did not know, Dave... “ kataku
“what do you want to do now, Bri... you are bound with your own promise” katanya
“My father is bound with Dimas' family. But it's my life.....” kataku
“We have ring but not your father’s blessing” katanya
“Exactly... I think that's enough” lanjutku.
***
Bali, juli 2014
"Dan apa yang sudah dipersatukan oleh Allah janganlah diceraikan manusia” pastorDamian menutup pemberkatan nikah kami. Pernikahan yang sederhana dan terburu buru. Seorang wedding organiser membantu kami mengurus semuanya.
Pria itu berdiri di sana didepan gereja menatap kami semua. Kulihat Cintya wedding organiser kami menghampirinya dan ketika tamu kami menyingkir kulihat wajah teduh itu. Tak ada senyum di bibirnya.
"selamat, Diajeng " katanya..
"mas dimas... maafkan aku " kataku..
“ Paklik tidak tahu,Diajeng..teganya kau menikah tanpa keluargamu. Bahkan tanpa aku kangmasmu" aku hanya bisa menunduk.
"Kau sudah bukan lagi kangmasku ketika Pakde Mukti melamarku untukmu, Mas. Dan bukankah tanpa aku beritahu kau sudah sampai disini?" tanyaku
“Herjuno dan Romo Agus memberitahuku. Pada intinya kamu tidak bisa menikah sembunyi sembunyi.. kau beruntung tidak ada seorangpun keluarga besarmu beragama katolik dan warga lingkunganmu tidak tau nama lengkapmu." Katanya. Aku terdiam. Dia benar dan fakta bahwa dia kenal Romo Agus dan Herjuno sedikit menghantamku. Sebelum aku bertanya dia sudah berkata
“ Kau bahkan tidak tahu aku juga beragama Katholik" itu sebuah pernyataan dan juga kenyataan yg membingungkan
Aku menatap Dimas
"Sejak kapan?" tanyaku.
"Sejak kamu bilang hanya akan menikah di gereja Katholik" katanya. Aku terdiam, sejak aku bersekolah di SMP Maria Asumta aku memang lebih mendalami agama Katholik. Tapi aku tidak menyangka itu berdampak pada dimas. Keluarga kami kejawen tulen.
Kubiarkan lengan Dave menuntunku ke arah mobil kami menunggu. Kami harus segera kembali ke Jepang hari ini.
***
Desember, 2014
“ Pulanglah Nduk,” suara Biyung menyayat hatiku. “ Perjodohan itumasih berlaku, dan kedua keluarga sudah sepakat, sabtu legi bulan depan kalian aakan menikah... Kasihan Romomu, Nduk... pulanglah” aku tersentak karena sampai sekarang tidak ada yang tahu pernikahan kami. Dan sepertinya Dimas tetap bungkam.
***
Romo aku sudah menikah dengan Dave
dan berikut aku kirimkan bukti bukti pernikahan kami. Maafkan saya romo...
Anakmu,
Brigita arianti
Surat itu sengaja kukirimkan secara pos, aku tidak siap menanggung suara kemarahan Romo.
***
Teruntuk diajeng Ari,
Suratmu sudah kubaca,
maaf aku tidak bisa memberikan suratmu kepada paklik.
Surat itu akan menghantam kesehatannya.
Aku memahami kondisimu dan aku akan membantumu. Pulanglah. Sendirian.
Kangmasmu,
Bernardus dimas
Meski aku tidak tahu bagaimana suratku bisa sampai ke Dimas tanpa sepengetahuan Romo pada akhirnya aku bisa meyakinkan Dave untuk mengizinkanku pulang sendiri.
***
Klaten, January 2015
Dimas memandang perutku yang membuncit, dan seketika itu juga aku menyadari ada tatapan tak berdaya terpancar dari matanya. Namun ketika aku menyadari ada sosok lain dibelakang sana, itu sudah terlambat Romo sudah pingsan Dan tidak bangun lagi.
Dalam keputus-asaanku aku mengingat tembang itu, lantunan sekar megatruh yang sering ditembangkan eyangku, yang hanya sebagian kuingat.
Dedalane.. guno lawan sepi..kudu andhap ashor.. wani ngalah duwur wekasane...
Aku memang sudah kalah ketika aku tidak mengalah demi Romoku. Dan kekalahan itu menghempasku kedalam belas kasih bunga kamboja diujung desa. Mengiba.Meratap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H