Filsafat tidak terlepas dari proses atau metode-metode yang ada, melalui metode-metode tersebut bisa terbentuk ilmu filsafat itu sendiri bahkan ilmu-ilmu yang lainnya. Metode dalam filsafat dibagi menjadi tiga yaitu metode positivistic, metode fenomenologis, dan metode kritis. Dimana antara metode tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Berikut penjelasan mengenai metode filsafat pendidikan :
1. Metode Positivistic
Metode ini lahir pada abad ke-19. Positivistic berarti faktual (berdasarkan fakta-fakta). Jadi dapat diartikan bahwa positivistic adalah sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktivitas yang berhubungan dengan metafisik. Dimana positivisme menjadikan tampak sebagai objek sehingga pemikiran apapun harus dikembangkan berdasarkan fakta yang benar-benar kelihatan. Pandangan inilah yang menjadi dasar observasi dalam metode positivistic karena hanya menyelidiki fakta-fakta. Sedangkan metafisika, suatu objek yang di dasari keyakinan dan tidak bisa dibuktikan secara fakta.
Adapun positivisme menurut para ahli yaitu August Comte, yang menyatakan bahwa perkembangan pemikirab manusia berlangsung melalui tiga tahap, antara lain :
a. Tahap Teologis, yaitu dimana manusia mengarahkan pandangannya pada hakikat batiniah.
b. Tahap Metafisis, yaitu manusia hanya sebagai tujuan pergeseran dalam tahap teologis.
c. Tahap Ilmiah, yaitu manusia telah mulai mengetahui dan sadar bahwa upaya pengenalan teologis dan metafisis tidak ada gunanya, karena tahap tersebut berlaku pada individual dalam perkembangan rohaninya.
2. Metode Fenomenologis
Kata fenomenologis berasal dari kata fenomena yang berarti gejala atau suatu hal yang tidak nyata dan bisa diamati melalui indera. Fenomenologis itu sendiri adalah studi mengenai pengalaman dan bagaimana pengalaman tersebut terbentuk. Sedangkan fenomenologis dalam filsafat yaitu sebagai sumber berpikir yang kritis dan berpengaruh di Eropa pada tahun 1920-1945 dalam bidang ilmu pengetahuan positif.
Adapun salah satu tokoh yang sangat berpengaruh di Eropa yaitu Edmon Husserl, yang menyatakan bahwa objek atau benda harus diberi kesempatan untuk berbicara dengan tujuan untuk melihat hakikat gejala-gejala secara intuisi (kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas).
3. Metode Kritis