Mohon tunggu...
Feliks Hatam
Feliks Hatam Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Bloger dan Youtuber

Feliks Hatam. Asal Manggarai

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ekolinguistik: Menggugah Kesadaran Ekologis dan Panggilan Pelestarian

1 Mei 2019   21:47 Diperbarui: 1 Mei 2019   22:22 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekolinguistik: Menggugah Kesadaran Ekologis dan Panggilan Pelestarian

oLEH: FELIKS HATAM

Bahasa (sajak, puisi, majas) daerah adalah kekayaan yang diwariskan secara temurun. Setiap daerah mempunyai bahasa khasnya masing-masing, bahkan beberapa wilayah dalam satu daerah memiliki bahasanya sendiri seturut keadaan lingkungan sosial budayanya. Kerena itu Sunasman dan Gumiliar (2013:42) mengemukakan, bahasa sebagai perwujudan budaya itu sendiri. Kekhasan budaya setiap wilayah sebagai hasil cipta dan kreatif manusia adalah kekayaan yang dimiliki negara ini. Bahasa sebagai salah satu unsur budaya mempunyai pranan penting dalam membangun relasi dengan sesama. Kenyataan ini menunjukkan ada keterkaitan yang erat antara manusia sebagai pencipta budaya, dan lingkungan sebagai locus kebahasaan, dan bahasa sebagai ungkapan keadaan wilayah.

Pandangan Haugen menegaskan keterkaitan antara lingkungan penutur bahasa dan latarbelakang sosialbudayanya, sebab bahasa akan dipahami melalui penuturnya, dan bahasa akan bertahan sesuai ligkungannya. Dengan demikian perubahan atau pergeseran dan kebertahanan sebuah bahasa dipengaruhi oleh perubahan lingkungan alam, sosial, dan budaya yang melanda lingkungan bahasa tersebut (Wiya Suktiningsih, RJIB, 2016 ).

Intraksi penutur bahasa seturut sifat dan keadaan ekologisnya disebutkan sosiolinguistik. Sosiolinguistik sebagaimana disinggung Gumperz (1962 bahwa sosiolinguistik adalah studi mengenai tingkah laku verbal yang berhubungan dengan karakteristik sosial penutur, latar belakang budaya mereka, dan sifat ekologis lingkungan tempat mereka berinteraksi (dalam, Wiya Suktiningsih, RJIB, 2016 ).

Pada titik ini kita sangat jelas melihat ekolinguistik sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial (budaya), intraksi dan kreativitas penutur bahasa dan relasi dengan fauna dan flora (relasi ekologis). Oleh karena itu, agar bahasa atau ungkapan atau metafora daerah tidak termakan jaman dibutuhkan gerrakan ekologis. Gerakkan-gerakkan tersebut melalui budidaya fauna dan flora yang berada diujung kepunahan, membuat wadah untuk mempertahankan dan mengembangkan kreativitas lokal yang menggunakan bahan alami seperti anyaman tikar, anyaman keranjang, tenun kain daerah, dan lain sebagianya. Sebab ada beberapa kekewatiran diera modern, pertama, kecendrungan untuk melupakan produk lokal seperti tikar, kerangjang, nyiru yang dianyam dengan bahan alami yakni pandan dan bambo untuk sulam nyiru dan tikar, kedua sampai saat ini penulis belum mendeangarkan usaha membudidayakan tanaman-tanaman yang akan digunakan sebagai bahan mentah untuk memenun dan membudidayakan pohon enau sebagai sumber pembuatan gula lokal, ketiga, belum gemanya memperbanyak wadah kreativitas lokal yang menggunakan bahan alam, dan masih banyak gerakkan ekologi lainya (maaf jika salah).

Menafsir pandangan Hugen dan Gumpers, intraksi penutur bahasa dengan mempertahankan dan mengembangkan kreativitas dengan menggunakan bahan alami adalah sebuah aksi untuk melestarikan fauna dan flora. Dibudidayakannya bahan-bahan alam untuk krajinan lokal, maka dengan sendirinya kosa kata bahasa seturut penuturnya dilestarikan. Selanjutnya tindakan konkrit, dengan memperkenalkan bahasa daerah kepada anak-anak, membudidayakan dan melestarikan jenis fauna dan flora yang hampir punah, meningkatkan kreativitas yang berbasiskan bahan-bahan alam, dan membiasakan diri untuk merawat alam sebagaimana merawat diri. Sebab panggilan ekologis, menuntut kesadran dan kreativiatas manusia ditengah kris ekologis yang terus mengancam ekolinguistik. Sebagimana hipotesis Finke (2001) “Kreativitas hidup terancam oleh percobaan di alam dan kreativitas bahasa terancam oleh penutur yang menggunakannya” (Nesi, pos kupang). Karena itu, panggilam (usaha) pelestian fauna dan flora adalah usaha mempertahankan kosa kata, sajak atau pepatah daerah yang merupakan ciri khas budaya atau kekayaan daerah; atau melestarikan kenekaragaman fauna dan flora adalah usaha melestarikan bahasa ibu setempat.***

Tulisan ini pernah dipublikasikan pada kolom ASPIRASI Harian Umum Flores Pos, tanggal 14/11/2017

Tulisan ini pernah dipublikasikan pada kolom ASPIRASI Harian Umum Flores Pos, tanggal 14/11/2017

Kujung Juga:Suaranusantarapost

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun