Mohon tunggu...
Feliks Janggu
Feliks Janggu Mohon Tunggu... Freelancer - Warga biasa di Kota yang ditata sangat luar biasa, Labuan Bajo

Anak asli Mabar nTt

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Komodo Hanya Untuk Orang Kaya

22 Juli 2022   09:31 Diperbarui: 22 Juli 2022   09:36 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penetapan Rp 3,7 juta per orang biaya masuk Taman Nasional Komodo benar-benar nyata mendapat banyak protes. Para pelaku wisata di Labuan Bajo menilai itu terlalu mahal, akan menurunkan animo wisatawan datang ke Labuan Bajo.

Tetapi presiden Jokowi meyakinkan bahwa wisatawan "berkantong tipis" masih dapat menyaksikan Komodo di Pulau Rinca. Ingin menyaksikan Komodo di Pulau Padar dan Pulau Komodo butuh biaya seperti tertera di atas, Rp.3,7 juta. 

Katakan satu keluarga rombongan empat orang, minimal tiket masuk Komodo dan Padar Rp.15 juta. Masyarakat lokal jangan lagi bermimpi untuk ber-selfie ria di Pulau Padar seperti yang ramai menghiasi laman Facebook netizen selama ini. 

Kerisauan pelaku pariwisata terhadap tiket yang dinilai mahal itu sebetulnya REFLEKSI keadaan warga bangsa yang tidak mungkin membakar uang sebesar itu untuk melihat Komodo. 

Pemerintah memiliki pertimbangan, masyarakat tetap masih menyaksikan Komodo yang sama, juga di habitatnya yang asli di pulau Rinca. Rinca, Komodo dan Pasar tentu satu kesatuan, ruang hidup Komodo. 

Pekerjaan tidak mudah saat ini, menjelaskan kepada wisatawan asing bahwa Komodo itu hidup di tiga pulau yakni Rinca, Komodo dan Padar. 

Bahkan hewan ini ada di beberapa pesisir Utara Pulau Flores, meski pun keberadaannya masih cukup langka. 

Namun menyebut tiket ke Komodo mahal, pada wisatawan asing akan berpikir kembali rencana perjalanannya ke Komodo. Apalagi wisatawan Nusantara, lebih lagi wisatawan lokal. 

Kelompok masyarakat yang terakhir ini yang paling menyedihkan, Komodo sebagai rumahnya harus disekat, dan tuan rumahnya harus keluarkan biasa besar untuk masuk di dalamnya. 

Atas nama konservasi, muka-muka baru bertahta di sana sebagian tuan rumah yang angkuh, atas nama konservasi, atas nama apalagi yang lain. 

Sangat menarik sekali, hanya orang kaya yang boleh masuk di tempat yang eksklusif. Orang-orang miskin tidak boleh menikmati tempat eksklusif seperti itu. 

Diskusi di lembah gunung mbeliling kemarin, punya spot wisata dan hanya mendapatkan remah-remah saja dari kehadiran wisatawan di labuan Bajo, berdiskusi kecil. 

Satu wisatawan dengan membawa Rp.3,5 juta lebih menguntungkan daripada membiarkan sekitar 20-an wisatawan, jika dihitung tiket Rp.150 ribu per orang.

Nilainya tentu sama, tetapi biaya akomodasi, jasa2 untuk satu orang dan 20 orang pasti beda jauh. 20 orang akan mengeluarkan lebih banyak biaya daripada 1 orang kaya. 

Dengan biaya Rp 3,5 juta maka akan sedikit orang datang ke Komodo, meski mungkin pendapatan negara dari pariwisata tinggi. Keuntungan untuk masyarakatnya yang tidak ada, karena satu orang kaya,sangat mungkin tidak repot dengan mengeluarkan uang receh di pasar lokal. 

Maka pebisnis tingkat elit yang akan menikmati keuntungan, masyarakat pelaku wisata lokal yang lemah gemulai, pelan-pelan mati. 

Angin segar yang kelihatan dibawa Jokowi di Labuan Bajo, kata Maribeth Erb, seorang sosiolog asal National University of Singapore pekan lalu mengatakan akan mematikan masyarakat lokal.

Jokowi mungkin berniat baik memajukan Kota Labuan Bajo, tapi dengan membawa orang kaya Jakarta bersaing dengan pebisnis lokal yang miskin, sama saja dengan mematikan masyarakat lokal. 

Labuan Bajo kini banjir pengusaha baru dan membeli banyak lahan difasilitasi para elit Manggarai di Jakarta. Tidak terkecuali para wakil rakyat di Senayan, ramai-ramai merebut lahan di Labuan Bajo. 

Masyarakat bangga dengan perubahan wajah Kota Labuan Bajo, tetapi mereka tidak bisa mendapatkan makan dan minuman dari itu semua, kecuali bekerja di ladang, yang kini telah banyak dikuasi kapitalis Jakarta. 

Dari puncak Gunung Mbeliling, terutama di malam hari, Labuan Bajo kian terang benderang dengan lampu-lampu, tetapi itu di pemukiman yang terbatas. Dan mungkin akan eksklusif. 

Di perkampungan masih seperti dulu, apalagi bicara infrastruktur jalan rayanya yang masih sangat memprihatinkan. Bupati Manggarai Barat Edi Endi ikut bersorak dengan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, lupa melihat kondisi di desa-desa di Mabar. 

Bahkan jalan-jalan lingkungan di Kota Labuan Bajo tidak pernah berubah. Entah sampai kapan. Sehingga kota labuan Bajo di wajah depan Waterfront indah mempesona, di belakangnya penuh dengan kubangan. 

Kekecewaan masyarakat akan sampai pada batasnya, dan akan menyiramkan kotoran sampah pada wajah depan Kota Labuan Bajo. Mengabaikan masyarakat lokal dalam pembangunan pariwisata, sama dengan menghancurkan pariwisata itu sendiri. 

Pemerintah daerah yang harusnya memproteksi masyarakat malah tidak bisa berbuat apa-apa. Penghargaan terhadap Gubernur dan Presiden yang di atas itu lebih penting daripada suara rakyat yang menghadiahkanmu kursi empuk diLabuan Bajo. Salam!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun