Mohon tunggu...
Felix Aditya
Felix Aditya Mohon Tunggu... Lainnya - orang jawa

nerimo ing pandum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Sikap Reflektif dalam Upacara Mubeng Benteng

18 Desember 2020   22:53 Diperbarui: 18 Desember 2020   23:11 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tradisi Mubeng Benteng
Malam satu syuro menjadi malam yang spesial bagi masyarakat Jawa karena pada saat melam satu syuro akan terjadi pergantian tahun Jawa. Terjadi berbagai macam upacara ataupun tradisi yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta yang nantinya tradisi tertentu dapat diikuti oleh semua kalangan masyarakat khusunya masyarakat Yogyakarta. 

Keraton Yogyakarta memang masih memegang teguh tradisi-tradisi leluhur untuk memperingati suatu hari besar seperti malam satu syuro. Salah satu tradisi yang hingga sekarang masih dilakukan adalah upacara mubeng benteng. Upacara ini dilakukan oleh masyarakat Yogyakarta pada saat malam satu syuro.

Pelaksanaan upacara ini dapat diikuti oleh setiap lapisan masyarakat tanpa memandang status sosial, umur dan jenis kelamin, bahkan masyarakat dari luar kota Yogyakarta boleh mengikutinya. Proses pelaksanaan upacara ini dilakukan dengan melakukan topo bisu  atau hening tanpa mengucapkan satu patah katapun saat berjalan.

Sementara itu menurut Pribadi Wicaksono dalam artikelnya dalam tempo.co  menyebutkan "Rute yang ditempuh saat Mubeng Beteng dimulai dari pelataran Kamandhungan Lor (Keben)-Ngabean-Pojok Beteng Lor Kulon-Pojok Beteng Kulon-Jalan MT Haryono (lewat selatan Plengkung Gading)-Pojok Beteng Wetan-Jl.Brigjen Katamso-Jl. Ibu Ruswo, Alun-Alun Utara-lalu kembali lagi ke Kamandhungan Lor. "

Identitas Budaya
Collier dalam (Iskandar : 2004) menyebutkan bahwa " Identitas budaya merupakan karakter khas dari sistem komunikasi kelompok yang muncul dari situasi tertentu. Identitas budaya terbentuk melalui simbol dan pemaknaan mengenai simbol yang diberikan tersebut.

Selanjutnya simbol dan pemaknaan tersebut akan turun temurun dipercayai oleh suatu kelompok ataupun masyarakat yang memiliki budaya tersebut, sehingga menjadilah suatu identitas budaya pada suatu daerah. Simbol-simbol yang ditunjukan pada suatu kebudayaan dapat berwujud pada berbagai bentuk dan proses pemaknaanya dapat dilihat berdasarkan representasi simbol yang ingin ditunjukkan oleh suatu kebudayaan tersebut. Simbol dapat dilihat melalui prosesi upacara, cara melakukan upacara tersebut, tradisi dan masih banyak hal lagi.

Setiap upacara atau tradisi pasti bertujuan untuk memberikan pesan verbal maupun non-verbal mengenai kebaikan dan cara berperilaku menurut kebudayaan tersebut. Collier dalam (Iskandar : 2004) juga menyebutkan bahwa simbol dan pemberian makna pada simbol tersebut pasti berhubungan mengenai norma baik dan buruk pada sistem kebudayaan itu.

Norma yang ada pada setiap kebudayaan tentu saja berbeda-beda. Tergantung dari sejarah dan pemberian makna terhadap simbol budaya yang menjadikan norma-norma yang ada di suatu kebudayaan tertentu akan berbeda-beda

Identitas Kebudayaan Jawa dalam Upacara Mubeng Benteng
Orang Jawa suka  menggunakan pola pikir yang simbolik yang menjadi pijakan untuk berpikir positif  (Musman : 2018). Orang Jawa sangat jarang untuk berbicara secara langsung atau blak-blakan, tetapi orang jawa biasanya menyampaikan pesan secara simbolik. Maka dari itu banyak bermunculan upacara-upacara dan tradisi yang sebenarnya ingin menyampaikan suatu pesan secara simbolik. Seperti upacara atau tradisi mubeng benteng yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta dan diikuti oleh masyarakatnya.

Tradisi mubeng benteng ini memang membingungkan bagi orang yang tidak mengerti akan maksud dan tujuan dari tradisi ini. Selanjutnya dalam bukunya (Musman :2018) mengatakan "Inti pandangan hidup jawa yaitu di belakang gejala-gejala lahiriah terdapat kekuatan-kekuatan kosmis numinus sebagai realitas yang sebenarnya dan bahwa realitas sebenarnya manusia ini adalah batinnya yang berakar dalam alam numinus itu". 

Orang Jawa masih sangat percaya dengan keadaan sang pencipta, maka dalam budaya jawa banyak terdapat upacara-upacara syukuran yang bertujuan untuk mengucapkan syukur kepada sang pencipta. Sehingga orang jawa juga disebut orang yang penuh syukur dan selalu ingat kepada tuhannya. Selain itu manusia jawa juga manusia yang memiliki rasa yang halus dan seorang peimikir yang reflektif.

Maka dari itu selain bersyuykur ada beberapa tradisi jawa yang bertujuan untuk prihatin terhadap suatu hal tertentu. Maka dari itu dalam pepatah jawa menyebutkan "eling lan waspodo", yang artinya sebagai manusia khusunya manusia jawa maka harus selalu ingat akan tuhannya dan waspada terhadap sikap angkara duniawi.

Dari sikap yang reflektif tersebut menunjukkan ada kemauan untuk menjadi pribadi yang lebih baik.Eling juga berarti bahwa manusia juga tidak luput dari kesalahan dan harus lebih bijak dalam mengambil sebuah keputusan.

Dalam upacara mubeng benteng ada beberapa simbol yang direpresentasikan melalui beberapa hal dan pemaknaan terhadap simbol tersebut. Endah menyebutkan "Pada dasarnya tradisi mubeng beteng merupakan wadah dari ungkapan rasa prihatin, yang disertai dengan sikap membisu yang esensinya tergantung dari kepercayaan masing-masing orang yang mengikutinya" (Endah Susilantini : 2007).

Rasa prihatin ini berkaitan dengan introspeksi diri terhadap sikap,perilaku ataupun perbuatan selama tahun kemarin. Bisu atau tidak berbicara saat melakukan upacara ini merepresentasikan berbicara kepada diri sendiri secara reflektif.

Upacara ini bermakna reflektif secara simbolik, maka dari itu orang awam atau orang yang berasal dari luar Yogyakarta akan kebingungan mengenai tujuan dari upacara ini. Selanjutnya upacara ini juga menujukkan bahwa orang jawa adalah manusia yang selalu berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dengan pola pikir reflektif.

Jika dalam kebudayaan lain tahun baru selalu dikaitkan dengan pesta dan kemeriahan, tetapi perayaan  tahun baru jawa berbeda dengan kebudayaan lainnya. Seperti tahun baru cina selalu dirayakan dengan barong sai dan pesta-pesta kemeriahan lainnya berbeda dengan tradisi jawa yang justru melakukan introspeksi diri dengan cara mubeng benteng.

Dari hal tersebut terlihat bahwa manusia jawa adalah manusia yang simbolik. Kebahagiaan tidak selalu identik dengan perayaan sesuatu yang meriah dan pesta tetapi justru mengarah kepada sesuatu yang lebih dalam, yaitu refleksi dan introspeksi diri. Selain itu upacara mubeng benteng juga representasi manusia jawa yang ingat kepada tuhannya.

Dengan cara bersyukur dan berefleksi maka manusia jawa secara simbolik selalu percaya atas kebesaran tuhan yang sudah terjadi. Tanpa kehendak yang maha kuasa, maka harapan tidak akan tercapai. Selain itu refleksi diri dengan mubeng benteng ini berarti manusia jawa memiliki sifat "eling lan waspodo".

Eling ditunjukkan dengan bahwa manusia jawa selalu ingat terhadap keterbatasan dirinya, sehingga beberapa kali membuat kesalahan dan waspodo ditunjukkan dengan merefleksikan kesalahan tersebut sehingga untuk kedepannya tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Pesan yang dapat diambil dari tradisi ini adalah bagaimana manusia memaknai suatu proses. Membisu dan berefleksi akan suatu hal adalah salah satu cara manusia dalam memaknai suatu proses agar menjadi pribadi yang lebih baik kedepannya.

Suatu kebahagiaan dapat diekspresikan melalui berbagai cara dan tidak semata-mata dengan pesta yang meriah,tetapi dengan melihat kebelakang dan berefleksi diharapkan manusia dapat menjadi pribadi yang lebih baik untuk kedepannya. Kebudayaan jawa mengajarkan kepada kita pentingnya memaknai suatu proses. Kebudayaan jawa juga mengajarkan kepada kita bahwa pentingnya mengingat tuhan didalam hidup kita berproses di dunia ini.

SUMBER:

https://travel.tempo.co/read/1242388/mubeng-beteng-tradisi-peringati-1-sura-di-jogja. Diakses pada 18 Desember 2020

Iskandar, D. (2004). Identitas budaya dalam komunikasi antar-budaya: Kasus etnik madura dan etnik dayak. Jurnal masyarakat dan budaya, 6(2), 119-140. 

Anis, M. (2014). Suran: Upacara Tradisional dalam Masyarakat Jawa. Jurnal Seuneubok Lada, 2(1). 

Endah Susilantini. (2007)." Mubeng Beteng, Aktivitas Spiritual Masyarakat Yogyakarta". Jantra. 2(3).

Musman, A. (2018). Bahagia Ala Orang Jawa. Yogyakarta. Pustaka Jawi.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun