Bait yang terkenal dalam Serat Kalatidha berbunyi:
"Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah karsa Allah, Begja begjaning kang lali, Luwih begja kang eling lan waspada."
Dalam era ini, masyarakat hidup dalam dilema moral yang tajam. Mereka yang memilih untuk tetap teguh pada nilai-nilai kebaikan sering kali harus menghadapi konsekuensi yang berat, seperti kesulitan ekonomi dan ketidakadilan sosial. Di sisi lain, mereka yang memilih untuk mengikuti arus zaman---dengan menjadi "edan" atau korup---mungkin bisa memperoleh kekayaan dan kenikmatan material, tetapi pada akhirnya menghadapi kehampaan spiritual.
Dari perspektif sosial modern, Katatidha menggambarkan kondisi masyarakat yang mulai tergerus oleh pragmatisme dan materialisme. Nilai-nilai integritas mulai digeser oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan cara yang cepat dan mudah, meski harus mengorbankan moralitas. Fenomena ini dapat kita lihat dalam bentuk budaya konsumtif dan kompetisi tidak sehat yang terjadi di masyarakat urban. Orang cenderung berlomba-lomba mendapatkan kekayaan, status, dan kekuasaan dengan mengesampingkan nilai-nilai kejujuran dan etika.
3. Era Kalabendhu - Masa Kehancuran Moral
Era Kalabendhu adalah puncak dari kemerosotan moral dan nilai dalam masyarakat. Dalam Serat Kalabendhu, Ranggawarsita melukiskan masa ini sebagai waktu di mana pemerintahan sudah tidak lagi memiliki tata aturan, teladan moral, atau bahkan rasa kemanusiaan yang seharusnya menjadi pondasi dasar dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Bait dalam Serat Kalabendhu menyebutkan:
"Dalajading praja kawuryan wus suwung, lebuh hancur pangreh tata, karana tan tanpa palupi wus tilar tata silastuti titi tata."
Terjemahan dari bait ini adalah gambaran mengerikan tentang kehancuran negara akibat hilangnya aturan dan teladan moral. Pemerintah dan masyarakat telah kehilangan arah dan tujuan, sehingga terjebak dalam kekacauan yang disebabkan oleh hilangnya integritas dan moralitas.
Dalam era ini, ketidakadilan menjadi hal yang biasa, dan korupsi dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Ranggawarsita menegaskan bahwa Kalabendhu bukan hanya sekadar kondisi di mana orang-orang menjadi serakah, tetapi lebih dari itu, ini adalah kondisi di mana kejahatan telah menjadi budaya, dan norma sosial telah dirusak oleh kepentingan-kepentingan pribadi.
Pada Kalabendhu, korupsi terjadi tidak hanya di pemerintahan, tetapi juga meluas ke berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, pendidikan, dan sistem hukum. Dalam masyarakat modern, Kalabendhu mencerminkan kondisi di mana hampir setiap individu atau kelompok cenderung untuk mencari keuntungan sendiri tanpa memperdulikan kesejahteraan bersama. Mereka yang seharusnya menjadi pemimpin dan teladan justru terlibat dalam skandal korupsi yang merugikan negara dan rakyat.