Mohon tunggu...
Felicia Christa
Felicia Christa Mohon Tunggu... Pelajar -

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Bahaya Kanker Menghantui Penerima Transplantasi Organ

22 September 2017   17:09 Diperbarui: 22 September 2017   17:31 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Dunia kedokteran tentu selalu mengalami perkembangan dalam mencari metode pengobatan. Salah satu perkembangan terbesar adalah metode transplantasi organ. Transplantasi organ merupakan awal kesuksesan besar dibidang medis. Metode transplantasi sendiri sering kali menjadi pilihan terakhir yang paling tepat untuk mengobati suatu penyakit. Ketika banyak pengobatan telah dilakukan, atau kegagalan organ terjadi, banyak dokter akan menyarankan metode transplantasi organ.

Dr Eric Engels, peneliti senior bagian infeksi dan epidemiologi dari Divisi Epidemiologi Kanker dan Genetika di US National Cancer Institute di Rockville mengatakan "Masyarakat perlu memahami bahwa transplantasi adalah salah satu kisah sukses terbesar dalam dunia kedokteran. Cara ini adalah perawatan yang sangat efektif untuk pasien dengan penyakit organ yang parah,"

Transplantasi organ sendiri merupakan suatu metode pengobatan dengan cara memindahkan sebagian atau seluruh organ dari satu tubuh ketubuh lain (dari tubuh pendonor ke tubuh penerima) atau dari suatu tempat ke tempat lain dalam tubuh yang sama. Transplantasi organ berfungsi untuk menggantikan organ lama yang telah rusak dengan organ baru yang lebih baik.

Dalam melakukan transplantasi organ perlu adanya banyak pertimbangan, terutama dari sisi resiko yang akan dihadapi. Baik resiko bagi pendonor maupun pihak yang menerima donor. Untuk meminimalisir resiko yang terjadi, dilakukan serangkaian tes kesehatan dan kecocokan serta prosedur yang ketat. Setelah dilakukan transplantasi, penerima donor harus mengkonsumsi obat imunosupresif atau obat anti-penolakan. Hal ini bertujuan untuk mencegah sistem kekebalan tubuh menyerang organ baru yang dianggap benda asing.

Serangkaian prosedur ini tentunya diharapkan untuk menghidari resiko-resiko yang terjadi. Namun nyatanya resiko kanker masih menghantui para penerima donor. Apakah hal ini benar adanya ? dan bagaimana hal ini bisa terjadi ? Sebelum membahas tentang hubungan transplantasi organ dan salah satu efek sampingnya yaitu kanker, ada baiknya kita mengetahui dahulu apa itu kanker.

Kanker adalah penyakit akibat pertumbuhan sel yang tidak normal sehingga sel tumbuh tidak terkendali dan menyerang jaringan tubuh disekitarnya. Sel -- sel dalam tubuh selalu mengalami pembaharuan, dimana sel lama yang telah rusak akan digantikan dengan sel - sel baru. Di dalam setiap sel selalu memiliki materi genetic (DNA). Ketika DNA mengalami kerusakan, sel normal akan mempebaharuinya dengan cara meregenerasi sel. Namun proses ini berbeda pada sel kanker. Sel kanker yang mengandung DNA rusak tidak digantikan oleh sel baru yang baik. Melainkan sel tetap memproduksi sel baru dengan DNA yang rusak.

Setelah memahami tentang bagaimana penyakit kanker bisa terjadi. Mari kita membahas tentang bahaya kanker setelah mengalami transplantasi organ. Dalam setiap metode pengobatan tentunya memiliki keuntungan dan resiko yang berbeda-beda. Salah satu resiko terbesar ketika kita memilih metode transplantasi organ adalah kanker.  Dalam suatu studi dikatakan bahwa, penerima organ transplantasi beresiko dua kali lipat mengidap kanker dibanding mereka yang tidak menerima transplantasi. Selain itu mereka berkemungkinan mengidap 32 jenis kanker yang berbeda.

Dr. Eric Engels dan timnya mengkaji data di Amerika Serikat sebanyak hampir 176.000 transplantasi organ padat yang dilakukan pada tahun 1987 hingga 2008. Para peneliti menemukan bahwa angka kejadian kanker 2,1 kali lebih tinggi dalam populasi non transplantasi. Ia menjelaskan "Jadi, jika tujuh dari setiap 1.000 orang populasi umum diduga akan berisiko terkena kanker, kami mengamati sekitar dua kalinya, sekitar 13 atau 14 di antara 1.000 pasien transplantasi yang diikuti selama satu tahun berisiko terkena kanker,"

Risiko lainnya adalah penyakit limfoma non-Hodgkin yang meningkat lebih dari tujuh kali lipat. Selain itu tingkat kanker paru-paru dan hati juga meningkat secara signifikan. Berdasarkan penelitian ini, didapati bahwa pada semua penerima transplantasi ginjal insiden kanker ginjal meningkat hampir lima kali lipat.

Hal ini kemungkinan karena adanya penyakit  awal yang mendasari pasien membutuhkan ginjal baru dan kemungkinan imunosupresan yang berperan pada semua pasien transplantasi. Engels juga  mengatakan bahwa ini mungkin disebabkan karena kanker telah ada sebelumnya. Sebagai contoh, untuk mengobati beberapa jenis kanker hati adalah metode transplantasi hati, mungkin beberapa sel kanker masih bertahan dalam proses transplantasi.

Penelitian lain juga mengatakan bahwa anak-anak yang menerima transplantasi organ, beresiko mengalami pengembangan kanker 200 kali lebih tinggi dari pada populasi umum. Studi lain dari Institut Kanker Nasional A.S. menemukan bahwa risiko kanker pada anak-anak yang menerima transplantasi organ mencapai 19 kali lebih tinggi daripada populasi umum.

Meskipun resiko kanker meningkat, para peneliti menyatakan bahwa sebagian besar anak yang menerima transplantasi organ tidak terkena penyakit kanker. Kurang dari 400 anak dari hampir 18.000 penerima transplantasi organ, didapati mengalami gejala kanker rata-rata sekitar empat tahun masa tindak lanjut.

Dr. Christina Lee Chung, seorang rekanan profesor dermatologi di Drexel University di Philadelphia menyatakan bahwa penerima transplantasi organ beresiko mengidap penyakit kanker kulit lebih besar. Penemuan ini berlaku untuk seluruh pasien transplantasi, baik mereka yang memiliki ras kulit putih, ras kulit hitam ataupun ras keturunan asia. Dr. Christina menganalisa 413 rekam medis penerima transplantasi, dimana 63% bukan dari ras kulit putih. Dari penelitiannya didapati bahwa dari 19 persen baru yang mengidap kanker kulit, 15 diantaranya bukan ras kulit putih. Mereka yang mengidap kanker teridiri dari 6 pasien kulit hitam, 5 pasien keturunan Asia, dan 4 pasien Hispanik.

Berdasarkan penelitian tersebut didapati bahwa pasien berkulit hitam mengalami kanker kulit pada tahap awal. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya resiko kanker kulit lebih besar bagi mereka yang memiliki ras kulit putih. Sedangkan pada keturunan Asia, kanker kulit kebanyakan lebih sering muncul pada area kulit yang sering terpapar sinar matahari.

Dalam penelitian lain didapati bahwa obat yang digunakan oleh penerima transplantasi disebut azathioprine membuat sel lebih sensitif terhadap UVA cahaya. Menurut Peter Karran, PhD, dan rekan-rekannya yang bekerja di Clare Balai Laboratorium, bagian dari Cancer Research UK London Research Institute,  Dua puluh tahun setelah transplantasi, antara 60% dan 90% dari pasien terkena kanker kulit yang disebut karsinoma sel skuamosa.

Menurut American Cancer Society, Sel skuamosa karsinoma mencapai sekitar 10% sampai 30% dari semua kulit kanker. Sel ini juga sering muncul pada bagian tubuh yang sering terkena paparan sinar matahari, yaitu wajah, telinga, leher, bibir, dan punggung tangan.

Menurut penelitiannya, kanker kulit ini disebabkan dari penggunaan Azathioprine yang umum digunakan untuk menekan sistem kekebalan tubuh pada penerima transplantasi organ. Pada penelitian mereka, didapati bahwa Azathioprine dibentuk di DNA dan menyebabkan penumpukkan. Penumpukkan ini mengakibatkan kepekaan terhadap UVA cahaya, sehingga DNA terpicu untuk membuat perubahan yang malah mengakibatkan kanker.

Berdasarkan penelitian, ada dua faktor yang menyebabkan resiko kanker menjadi lebih besar pada penerima donor. Faktor pertama adalah obat imunosupresan  yang digunakan sebagai penekan kekebalan tubuh agar tidak menyerang organ baru yang ditransplantasi. Faktor kedua adalah infeksi virus Epstein-Barr.

Obat imunosupresan yang digunakan menyebabkan penerima organ beresiko tinggi terkena berbagai penyakit kanker. Hal ini dikarenakan sistem kekebalan tubuh mengalami masalah, sehingga menjaga sel kanker tetap ada. Sistem kekebalan tubuh yang lemah ini, mengakibatkan penerima donor mudah terserang virus Epstein-Barr.

Virus Epstein-Barr ini dapat tertular secara langsung dari organ baru yang ditransplantasi ke penerima. Selain itu virus ini juga dapat tertular melalui kontak langsung dengan seseorang yang sudah terjangkit virus Epstein-Barr. Mulai dari keluarga, teman, hingga kerabat maupun orang lain yang kita ditemui di masyarakat dan rumah sakit.

Seorang profesor hematologi dan onkologi pediatrik di Duke University bernama Dr. Daniel Weschler, menulis sebuah editorial yang menyerupai penelitian yang diterbitkan dalam Mei Pediatrics. Ia menyatakan bahwa virus Epstein-Barr merupakan salah satu penyebabkan mononucleosis. Sekitar 70% - 80% populasi telah terinfeksi di beberapa titik. Hal ini berkaitan dengan tumor, limfoma non-Hodgkin, dan limfoma Hodgkin.

Dr. Darla Granger, direktur program transplantasi pankreas di Rumah Sakit dan Rumah Sakit St. John di Detroit, membuat kita memiliki titik terang mengenai hubungan sistem kekebalan tubuh rendah dengan resiko kanker. Ia mengatakan bahwa "Menekan sistem kekebalan tubuh memang meningkatkan risiko kanker. Dan, jika Anda menderita kanker, Anda menginginkan sistem kekebalan tubuh yang kuat untuk melawan kanker."

Hal lain yang berkaitan juga disampaikan oleh Dr. Lewis Teperman, kepala operasi transplantasi di NYU Langone Medical Center di New York City. Ia mengatakan "Kami selalu tahu bahwa beberapa jenis tumor meningkat setelah transplantasi. Tumor tertentu diketahui terkait dengan virus, jadi ketika kita memberi obat imunosupresan, kita menurunkan kemampuan tubuh untuk melawan virus."

Ini berarti disaat seorang penerima organ transplantasi mengkonsumsi obat imunosupresan, sistem kekebalan tubuhnya akan menurun. Hal ini diharapkan agar tubuh tidak menolak organ baru yang ditransplantasi. Sedangkan disaat yang bersamaan resiko kanker menghadang. Dimana kondisi kekebalan tubuh kita yang rendah menyebabkan virus Epstein-Barr mudah menginfeksi tubuh penerima donor. Ketika tubuh terinfeksi virus ini dan sel -- sel kanker berkembang, tubuh tidak memiliki cukup imunitas untuk melawannya. Hal inilah yang membuat para penerima transplantasi organ perlu berhati-hati dalam menjaga kesehatannya dan mempertimbangkan keputusan yang telah dipililih.

Meskipun begitu Tidak semua kanker bisa dikaitkan dengan obat imunosupresi. Dalam beberapa kasus, terutama pada kanker hati dan paru-paru, mungkin saja sejumlah kecil sel kanker sudah ada dalam tubuh penerima donor sebelum transplantasi.  Dr. Darla Granger  mengatakan "Sulit untuk memilah penyebab pasti kanker, tapi ada juga yang jelas terkait dengan imunosupresi."

Berdasarkan berbagai fakta yang ada, benar adanya bahwa transplantasi organ dapat meningkatkan resiko kanker pada penerima donor menjadi lebih tinggi. Mesipun begitu ada hal positif lain yang bisa kita ambil.  Teperman mengatakan, hal ini menjadi catatan khusus agar para medis bisa meminimalisir penggunaan obat imunosupresi. Selain itu ada baiknya para peneliti melakukan pengamatan lebih lanjut terhadap beberapa virus, terutama virus Epstein-Barr.

Dr. Darla Granger juga mencatat bahwa bagi mereka yang memiliki organ transplantasi atau sedang menunggu donor untuk sebisa mungkin meminimalisir resiko. Para penerima donor diharapkan melakukan tes kesehatan yang ketat saat akan menerima organ transplantasi. Selain itu penerima donor dapat meminimalisir resiko dengan tidak merokok, memiliki pola hidup yang sehat, memakai tabir surya, dan yang terpenting adalah selalu memeriksa kondisi kesehatan dengan dokter yang sudah berpengalaman.

Seperti yang sudah saya katakana diawal, transplantasi organ merupakan suatu kesuksesas terbesar di dunia medis. Meskipun transplantasi organ memiliki berbagai resiko, perlu digaris bawahi bahwa metode transplantasi organ merupakan pilihan tepat bagi mereka yang memiliki gagal organ. Jika anda memang benar-benar membutuhkan transplantasi organ, operasi transplantasi berpotensi besar menyelamatkan nyawa anda. Dr. Eric Engels sendiri menyatakan bahwa manfaat transplantasi organ jauh lebih besar dibanding kemungkinan resiko yang terjadi. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa dengan bijak mengambil keputusan dan selalu menjaga kesehatan sebagai penerima donor.

Sumber : 1 | 2 | 3 | 4 |

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun