Mohon tunggu...
Felicia Meli Fonnenti
Felicia Meli Fonnenti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Bukan mencari yang sempurna, namun mencari yang tepat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Erupsi Gunung Semeru, Apakah Bisa Diantisipasi?

14 Desember 2021   18:11 Diperbarui: 5 Desember 2022   08:53 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keindahan Gunung Semeru | Liputan6.com

Kini Erupsi Gunung Semeru hanya menyisakan kenangan akan keindahan alamnya juga meninggalkan banyak luka bagi para korbannya. 

Erupsi Gunung Semeru di Indonesia pada 4 dan 5 Desember menewaskan sedikitnya 43 orang, dengan 13 orang hilang dan sedikitnya 3.000unit rumah rusak hingga 9 Desember. 

Ribuan warga, khususnya Kabupaten Lumajang, Jawa Timur mengungsi ke desa-desa terdekat.

Gubernur Jawa Timur, tempat gunung berapi itu berada, mengklaim sistem peringatan dini gunung berapi (VEWS) telah aktif dan berjalan, mengutip Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

Tapi Mengapa Sistem Peringatan Dini Gagal Menyelamatkan Nyawa Warga Sekitar Semeru?

Untuk menjawab pertanyaan ini, penting untuk memahami bagaimana PVMBG Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengklasifikasikan peristiwa fisik Semeru dan tingkat siaga yang sesuai. 

PVMBG memantau dan mensurvei status bahaya Semeru menggunakan VEWS yang berfokus terutama pada ancaman utama gunung berapi yaitu letusan, termasuk emisi abu yang lebih besar dan material lain ke atmosfer dari dalam.

Indonesia 'mengadopsi' klasifikasi bahaya gunung berapi AS, di mana status gunung berapi tertinggi adalah Awas (Tingkat Peringatan – Merah). 

Awas berarti “gunung berapi akan meletus, sedang meletus atau dalam keadaan kritis yang dapat mengakibatkan bencana. Tanda-tanda kritis ditandai dengan pelepasan abu ke atmosfer yang berpotensi memicu letusan dalam waktu kurang dari 24 jam”. 

Implikasinya, pesan peringatan di tingkat masyarakat hanya dikeluarkan di tingkat Awas dan tidak di tingkat bawah lainnya.

Menurut PVMBG, ledakan di sekitar Semeru bukan karena aktivitas utama dari dalam gunung berapi, melainkan ledakan akibat curah hujan. 

Curah hujan yang berlebihan berinteraksi dengan akumulasi lava yang akhirnya meluber ke bagian kubah lava gunung berapi yang terkikis. 

Hal ini memicu ledakan aliran piroklastik dan puing-puing panas padat. Karena ledakan itu disebabkan oleh faktor sekunder dan bukan aktivitas internal gunung berapi, PVMBG telah mempertahankan Semeru dalam status Waspada atau Siaga Kuning pada 10 Desember 2021.

Kepala PVBMG Andiani mengatakan kepada media bahwa kondisi bahaya Semeru masih dalam status quo dan masih di bawah tingkat bahaya tiga gunung berapi dengan status Siaga (Awas): Merapi di Yogyakarta, Lewotolok di Nusa Tenggara Timur, dan Sinabung di Sumatera Utara.

Berbagai media menyebut apa yang terjadi di Semeru sebagai letusan, tetapi mantan Kepala PVBMG Surono mengatakan terminologi yang lebih tepat adalah ledakan yang disebabkan oleh curah hujan dan karenanya merupakan 'ancaman bahaya sekunder (secondary hazard)'. 

Seperti yang ditunjukkan oleh data PVMBG, tidak ada letusan dari aktivitas gunung berapi internal, tetapi peningkatan kerusuhan di atas tingkat latar belakang di kawah dan interaksi antara hujan dan material lava menyebabkan kubah lava melepaskan longsoran awan abu panas. Sementara di bagian hilir, seperti yang juga terjadi tahun lalu, curah hujan mempercepat transportasi cepat Lahar.

Ledakan Mata Rantai Yang Hilang Dan Celah Tata Kelola Risiko

Erupsi Gunung Semeru | Detik.com
Erupsi Gunung Semeru | Detik.com

Pemerintah harus menyadari bahwa kemungkinan besar (dan terbukti secara empiris di Semeru) 'ancaman bahaya sekunder' tidak kalah mematikan dan merugikan. 

Jenis risiko ini nyata dan harus diintegrasikan dalam rencana kesiapsiagaan gunung berapi secara keseluruhan dan sistem peringatan.

Ancaman bahaya sekunder harus dipantau sebagai bagian integral dari tata kelola risiko gunung berapi, dan harus diperlakukan sama seriusnya dengan ancaman bahaya primer (primary hazard). 

Pemerintah dan masyarakat dapat bersama-sama membangun sistem peringatan dini gunung berapi yang berpusat pada masyarakat. Krisis gunung berapi yang disebabkan oleh curah hujan telah didokumentasikan dalam konteks Gunung Berapi Montserrat dan Kīlauea, Hawai'i.

Organisasi seperti PVMBG harus mempertahankan struktur sistem peringatan dini yang terhubung dengan komunitas akar rumput. Sistem peringatan dini yang sehat harus mampu menyelamatkan nyawa. 

Klaim adanya formal volcano early warning system (VEWS) yang berfungsi dengan baik namun terbukti tidak mampu menyelamatkan masyarakat menunjukkan bahwa keseluruhan VEWS tetap merupakan teks prosedur birokrasi elitis yang tidak ada kaitannya dengan keselamatan publik.

Masyarakat harus dilibatkan dalam peran mengelola risiko gunung berapi dan sistem peringatan. Sistem peringatan dini yang bekerja untuk orang-orang yang rentan harus berjalan dua arah. 

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan PVMBG harus bekerja sama dengan dan bagi masyarakat untuk melakukan mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana tersebut.

Ada juga kebutuhan untuk mengintegrasikan sistem pemantauan bahaya klimatologi dan hidrologi dan pemantauan bahaya vulkanik dengan kesiapsiagaan yang dipimpin masyarakat. 

Sejauh ini, peringatan dini cuaca ekstrem dipantau secara terpisah oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). 

PVMBG harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang sifat interaksi gunung berapi dengan iklim dan cuaca ekstrim untuk menjelaskan hal ini kepada pemerintah daerah dan penduduk.

Integrasi VEWS dengan sistem peringatan berbagai bahaya dikenal sebagai sistem peringatan dini multi-bahaya (MHEWS). Masih ada kesenjangan kelembagaan yang serius yang perlu diselesaikan di Indonesia. 

Upaya yang diperlukan untuk mengintegrasikan sistem peringatan dini di Indonesia lintas bahaya tidak mudah untuk dikaji secara rinci di tingkat regulasi, koordinasi dan perencanaan, apalagi di tingkat implementasi. Namun, VEWS Indonesia harus segera mengadopsi pendekatan multidimensi untuk menyelamatkan nyawa masyarakat.

Informasi Panduan Mengurangi Risiko Bencana Gunung Meletus

  • Tutup rapat jendela, Pintu, dan lubang angin rumah.
  • Lindungi kendaraan bermotor atau peralatan mesin lainnya dan matikan mesinnya.
  • Masukan hewan peliharaan dan persediaan makanan ke tempat lebih aman
  • Kumpulkan keluarga, ambil tas yang sudah di siapkan, dan segera mengungsi
  • Kenakan pakaian yang melindungi tubuh, seperti baju panjang, topi, dan lainnya.
  • Gunakan kacamata atau apapun untuk mencegah debu masuk mata.
  • Jangan memakai lensa kotak.
  • Pakai masker atau kain untuk menutup mulut dan hidung
  • Menutup wajah dengan kedua belah tangan saat abu letusan gunung turun
  • Dengarkan instruksi pihak berwenang dan ikuti rute mengungsi yang di tetapkan
  • Hindari lokasi rawan letusan (Lereng Gunung, Lembah, Sungai Kering, Aliran lahar)
  • Usahakan masuk ke ruang lindung darurat/ Bungker
  • Siapkan diri menghadapi bencana susulan

Respons Dari Pemerintah

  • Otoritas penanggulangan bencana setempat telah mendirikan pusat evakuasi serta menyiapkan logistik untuk daerah yang terkena bencana;
  • Misi pencarian dan penyelamatan untuk orang hilang sedang berlangsung;
  • BNPB dan Kementerian Kesehatan telah mengirimkan tim untuk mendukung BPBD Kabupaten Lumajang dan Provinsi Jawa Timur. Pemberian bantuan berupa selimut makanan instan, terpal, tenda darurat, dan Alat Pelindung Diri (APD) dilakukan;
  • PVMBG dan BMKG secara aktif memantau Gunung Semeru. Berdasarkan penilaian PVMBG dan pertimbangan potensi bahaya, Gunung Semeru tetap berada pada Tingkat Waspada II (Waspada). Dalam Kewaspadaan Tingkat II, disarankan agar masyarakat/pengunjung/wisatawan tidak melakukan aktivitas dalam radius 1 km dari kawah Gunung Semeru dan 5 km ke arah selatan-tenggara dari kawah. Siaga Tingkat II juga menyerukan kewaspadaan terhadap awan panas, aliran lava, dan aliran lahar—potensi bahaya dari aktivitas vulkanik Gunung Semeru.
  • Menurut BMKG, tidak ada dampak signifikan terhadap aktivitas penerbangan di bandara dekat Gunung Semeru;
  • Kabupaten Lumajang masih mengevaluasi situasi terkait penetapan status tanggap darurat;
  • Penilaian kerusakan dan dampak sedang berlangsung oleh otoritas dan lembaga terkait

Akhir kata, tinggal di dekat gunung berapi akan selalu berisiko. Penelitian ilmiah meningkatkan keakuratan prakiraan letusan dan membantu menyelamatkan banyak nyawa, tetapi tidak peduli seberapa bagus prakiraan ini.

Berada dekat dengan gunung berapi tidak akan pernah aman. Jadi tetap berwaspadalah dan mengikuti instruksi dari lembaga terkait karena bencana datang di saat yang tak terduga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun