Mohon tunggu...
Sosbud Pilihan

Membangun Desa Tertinggi di Pulau Jawa

14 Desember 2017   10:23 Diperbarui: 14 Desember 2017   10:56 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wonosobo adalah kabupaten/kota di Jawa Tengah yang terkenal dengan pegunungan Dieng beserta candi-candi didalamnya. Keberadaan candi dan bangunan bersejarah yang ditemukan tidak lepas dari sejarah Hindu-Budha, kolonial, hingga saat kemerdekaan. Pada zaman Hindu-Budha, kawasan kekuasaan Kerajaan Majapahit merupakan bagian dari daerah Pengging yang merupakan Wonosobo saat ini. 

Kemudian pada saat kekuasaan kolonial, daerah Wonosobo sering muncul dalam foto bahwa banyak orang Belanda yang melakukan aktifitas wisata, seperti foto di depan Hotel Dieng, berkuda, foto perkebunan teh dan mengunjungi candi. Sedangkan pada zaman kemerdekaan, Pangeran Diponegoro menjadi tokoh karena memenangkan perang pertamanya di Wonosobo.

Melihat perjalanan sejarah Wonosobo tidak heran apabila ditetapkan menjadi Kawasan Pusaka oleh Kementerian PU. Kota pusaka sendiri diartikan sebagai kawasan/kota yang didalamnya terdapat bangunan cagar budaya dengan nilai-nilai penting bagi kawasan tersebut dengan menerapkan kegiatan penataan dan pelestarian sebagai strategi utama pengembangan.

Kegiatan penataan dan pelestarian tersebut dilakukan dengan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) dalam Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP). RTBL Kawasan Pusaka Kota Wonosobo tersebut sebagai instrumen pengaturan dan pengendalian bangunan dan lingkungan di kawasan bersejarah yang memperhatikan warisan budaya benda (tangible) dan tak benda (intangible). Mengingat lingkup perencanaan RTBL yang batas wilayah perencanaan adalah 60 hektar, maka perlu menilai kawasan mana yang memiliki lebih banyak nilai sejarah dan perlu dilestarikan serta dikendalikan pembangunannya.

Melalui analisa sejarah time-seriesdan FGD (focus group discussion) dengan Bappeda, akademisi, LSM, dan kelompok sejarah, ditetapkan Desa Sembungan sebagai wilayah perencanaan. Pertimbangan penentuan kawasan tersebut adalah dekat dengan Candi Dieng, adanya Telaga Cebong, terdapat Bukit Sikunir sebagai tempat melihat matahari terbit, dan arsitektur bangunan yang masih asli. Selain itu terdapat budaya tak benda berupa kebiasaan masyarakat dan tradisi potong rambut gimbal yang diadakan festival setiap tahun.

Pendekatan dalam pembangunan yang diterapkan adalah dengan HUL (Historic Urban Landscape), yaitu pendekatan lanskap bersejarah dengan melihat dan menafsirkan kota sebagai rangkaian dalam ruang dan waktu. HUL menganggap keanekaragaman budaya dan kreativitas sebagai modal utama dalam pembangunan manusia, sosial dan ekonomi.

Dari segi pembangunan manusia, Desa Sembungan termasuk tertinggal karena rata-rata hanya lulusan Sekolah Dasar dengan 83% penduduk bekerja dibidang pertanian, terutama pertanian kentang. Kemudian dari analisa diketahui bahwa 20 tahun kedepan, yaitu tahun 2027, penambahan jumlah penduduk hanya sejumlah 134 jiwa dari 1272 penduduk. Analisa tersebut menjadi input untuk rencana, bahwa tidak perlu banyak melakukan pembangunan rumah serta perlunya pemberdayaan masyarakat.

Ditinjau dari perekonomian masyarakat, terdapat potensi dari pertanian kentang yang dapat menyuplai hingga seluruh Jawa Tengah. Potensi lainnya yaitu Desa Sembungan yang merupakan desa tertinggi di Pulau Jawa memiliki beberapa lokasi wisata, seperti Danau Cebong dan puncak Sunrise Sikunir. Penduduk Desa Sembungan menyadari adanya potensi wisata tersebut dengan memutuskan untuk mengembangkanlokasi wisata Golden Sunrise Sikunir (GSS)[1].

Sebelum tahun 2011, semua penduduk desa bekerja sebagai petani kentang dengan rata-rata pendapatan sebulan sebesar 2.000.000 rupiah. Dengan adanya sektor pariwisata yang berkem-bang, 280 penduduk desa memiliki pendapatan tambahan sebesar 2.500.000 rupiah tergantung pada besarnya keterlibatan masing-masing[2]. Potensi tersebut didukung dengan tren peningkatan kunjungan wisatawan sebesar 23% setiap tahun dari tahun 2013 ke 2015.

Dalam perencanaan RTBL, Desa Sembungan diarahkan menjadi wisata dengan daya tarik lanskap alam dan kegiatan wisata Golden Sunrise di Bukit Sikunir. Pembangunan desa tertinggi di Pulau Jawa tersebut dititik beratkan pada pembangunan lingkungan, area sekitar Telaga Cebong, akses dan tempat wisata, perbaikan bangunan, dan pemberdayan masyarakat.

Output dari perencanaan tersebut adalah pembangunan pelestarian dan preservasi cagar budaya dengan adanya DED (Detail Engineering Desain) pada tahun 2017 dan diharapkan dapat mulai dibangun pada akhir tahun 2018.

Sumber:

[1] Wawancara dengan Bapak Sudiyono (Kepala Desa Sembungan), 27 Juli 2017.

[2] CIPS-Indonesia.org tahun 2016.

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun