Mohon tunggu...
Felice
Felice Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Saya suka thriller.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

WAR-NET

27 Juli 2023   20:52 Diperbarui: 27 Juli 2023   20:56 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jaman sekarang rasanya aneh kalau masih ada orang yang pergi ke warnet. Bagaimana tidak? Internet yang dulu dicari orang-orang di warnet searang dapat ditemukan di mana-mana berkat perkembangan teknologi. Kegiatan menjalah internet, bermain game, menonton dapat diakses dengan mudah melalui handphone, alat paling penting di abad ke-20. Hampir semua orang memilikinya saat ini, kukatan hampir karena aku sendiri tak memilikinya.

Setiap malam akhir pekan, aku mengunjungi warnet dekat tempat tinggalku. Tempat penuh computer dan alat-alat canggih itu sudah sepi pengunjung dari lama. Setiap ke sana, hanya ada aku dan tiga orang lainnya yang selalu kutemui. Mereka semua adalah teman-temanku dengan berbagai latar belakang mereka untuk mengunjungi warnet ini. Aku sendiri berkunjung ke sini agar tidak ketinggalan jaman. Kebanyakan waktu aku menjelajah internet, menjajal berbagai aplikasi di komputer, dan mempelajari sesuatu dari sana. Sepeser uang jajan yang kusisihkan untuk membayar biaya warnet ini tidak terbuang sia-sia berkat pengetahuan yang kudapatkan selama lima jam di sana. Biasanya aku mencatat informasi penting dari penelusuranku di internet, termasuk rumus pemrograman dan cara memainkan game. Teman-temanku di sana sering membantu jika aku mengalami kesulitan. Kami cukup akrab, walau akhir-akhir ini salah satu dari kami terasa seperti menghindar.

Aku sangat bersyukur dapat merasakan perkembangan teknologi sekaligus mendapatkan teman di warnet ini, walau hanya seminggu sekali. Bagi aku yang tidak memiliki handphone, memiliki laptop atau komputer adalah hal yang tak pernah kupikirkan, jadi takkan pernah terbayang bagiku juga untuk ditunjuk sekolah mewakili lomba coding game tingkat nasional! Sekolah bahkan menuliskan surat khusus untuk mengundangku yang tidak punya handphone ini. Alisku mengkerut sembari tanganku memijat-mijat celah di antaranya. Aku memikirkan bagaimana ini bisa terjadi. Apa karena saat itu aku pernah membenarkan error di website sekolah yang dibajak murid-murid nakal yang enggan ikut ulangan online? Bukankah bisa dibilang itu hanya kebetulan? Mengapa sekolah begitu mempercayaiku mengikuti lomba ini, terutama lomba coding game?

Di tengah keresahanku, tiba-tiba kurasakan ada tangan jahil yang menepuk pundakku dengan keras. Aku hafal ini ulah siapa dan benar saja, Tora Cahyadi, salah satu temanku di sini yang selalu memakai topi. Topi seperti sudah menjadi bagian tubuhnya, aku bahkan tidak mengenalinya jika ia tidak memakai topi kesayangannya itu. Tora adalah anak pemilik kafe internet ini. Dia pun bertugas menjaga warnet ini. Dialah yang dari awal mengajariku cara menggunakan computer hingga aku mampu menjelajah sendiri. "Kenapa, Gha? Kok pusing gitu?" tanya Tora. Aku tidak menjawab pertanyaannya melainkan langsung memberikan surat yang kupegang kepadanya. "Lihat sendiri, Tor," pesanku. "Edyan, apaan nih! Surat dari sekolah untuk Ismail Ragha Sastrowidoyo, di tempat. Kami segenap civitas sekolah menginginkan saudara untuk mengikuti lomba Coding Game Developer tingkat nasional yang akan diselenggarakan pada-"

"Tor, udah, Tor!" teriakku berusaha membungkamnya yang membacakan surat itu dengan lantang. Meskipun warnet ini sepi, tetap ada beberapa orang yang ngopi di depan. Suara Tora pasti terdengar oleh mereka.

"Wah, gila! Keren banget, Bro! Ndak ada komputer wae bisa ditunjuk sekolah ikut lomba coding lho! Mantap, Men!" komentar Tora penuh semangat. "Itu pujian apa ejekan ya?" tanyaku bercanda.

"Lah, pake nanya! Jelas-jelas itu pujian lah. Bayangin aja siswa SMA yang nggak punya hape jadi juara lomba coding nasional. Wah, pasti mukamu disiarin jadi kisah inspiratif! Ditambah hadiahnya tuh IPhone lho, Bro! Wuish, kalah aku sama kamu," balas Tora. "Nah, itu masalahnya, Bro. Aku nggak yakin bisa menangin lomba ini. Aku tuh nggak pernah belajar coding game, dan tenggat waktu buat persiapan sama hari-H pengumpulannya singkat banget. Aku nggak mungkin bisa belajar secepat itu! Apa aku tolak aja ya?" keluhku resah.

"Duh... Ragha... Ragha, kamu kok nggak percaya diri banget sih? Jelas-jelas bakat kamu di situ lho! Jangan pura-pura bodoh gitu! Kesempatan kayak gini nggak datang dua kali lho, Gha. Udah ikut aja.  Menang kalah yang penting pengalaman," celetuk suara perempuan. Ia adalah Astrid. Di usianya yang masih 15 tahun, laptopnya sudah penuh dengan catatan keuangan penjualan bisnis online-nya, sehhingga tidak ada ruang untuk mengunduh game. Astrid pun ke sini untuk bermain game favoritnya. Aku merasa lebih tenang setelah mendengar ucapan Astrid dan Tora. Kehadiran mereka berhasil menghilangkan keraguanku dan membangkitkan jiwa kompetisiku. Tetapi aku juga sadar bahwa dukungan emosional saja tidak cukup, aku juga memerlukan dukungan finansial untuk memakai komputer warnet ini hampir setiap hari, dan juga seorang yang mampu mebimbingku merangkai kode-kode pemrograman. Semangatku menciut lagi dan itu terpancar dari wajahku.

"Lho, kok murung lagi sih, Bro? Ada apa?" tanya Tora yang sekarang duduk di sebelahku. "Hah... banyak faktor lain yang harus aku pertimbangkan juga, Bro... Kalau mau jadi juara nggak sesimpel itu, Bro," jawabku. Dua orang di dekatku saling bertatap-tatapan sambil memijat dagu mereka. Cukup lama keheningan canggung terjadi. Aku ingin segera menghentikannya, tetapi belum sepatah katapun terucap, tiba-tiba Tora mengatakan sesuatu.

"Oh, kamu khawatir sama biaya warnet ya? Ah, tenang aja, Bro, selama kamu latihan kamu boleh sepuasnya pakai komputer di sini, kapan aja dan yang mana aja, gratis!" ucap Tora santai. Aku tidak pernah menyangka orang sejahil Tora akan berbuat sebaik ini, terlebih di dengan tepat menjawab pertanyaan di kepalaku. "Hah, yang serius, Bro?" tanyaku. "Aku mana pernah bohong sih," balasnya sambil tertawa.

"Kalau faktor lain yang kamu butuh konsumsi atau moral support. Nih, ada aku pakarnya," ucap Astrid sambil menunjuk dirinya sendiri. "Udah, Gha. Jalanin aja, kita berdua bakal bantu kamu kok," tambahnya. "Ya ampun, serius, Trid?" responku bersemangat. "Aku nggak nyangka kalian ternyata sesuportif ini. Makasih banyak lho!" lanjutku.

"Tapi guys, sejujurnya yang paling aku butuhin sekarang adalah seorang pembimbing atau siapapun lah yang bisa bantu aku selama merancang kode," ucapku sejujur-jujurnya. "Yah... anak ini lupa sama satu lagi member kita di sini," ucap Astrid yang memincingkan matanya ke arah orang yang dia maksud. "Kan ada John, dia pasti bisa coding, orang dia mau jadi app developer," lanjutnya. Telunjuknya menunjuk seorang lelaki gemuk yang tengah fokus bermain game. Matanya fokus menatap layar dibalik kacamatanya, telinganya tertutup headphone yang kelihatannya canggih. Semua ini menandakan bahwa dia tidak bisa diganggu gugat sekarang. "Ah, iya, kamu bener juga, John pasti bisa bantu aku soal ini. Tapi aku rada nggak enak minta bantuannya, aku udah jarang bicara sama dia," ucapku. John memang sangat irit bicara, terkadang aku tidak menyadari keberadaannnya.

"Jujur aja nih, kami juga. Tapi tenang aja, John pasti mau bantuin kamu. Aku sama Astrid bakal bantu komunikasiin sama John, nanti kalau dia udah selesai main game," ucap Tora meyakinkan. Kami pun lanjut mengerjakan aktivitas kami masing-masing. Nampaknya, John bermain tanpa jeda, bahkan setelah aku selesai mencari berbagai tutorial dari internet. Aku pun pulang sebelum berhasil menyapanya hari ini. Begitu pun keesokan harinya saat aku memulai persiapan intensku. Astrid tidak bohong saat bilang akan membawakan camilan untukku setiap hari. Tora pun menolak saat aku membayar biaya warnet. Saat ditanya apakah dia tidak rugi, Tora bilang dia tetap membayar kepada ayahnya dengan uang hasil kerja sambilannya. Aku benar-benar bersyukur dengan kehadiran mereka. Selama dua minggu, mereka berdua selalu berkumpul di sekitarku untuk mendukung dan membantu semampu mereka. Aku sangat menikmati setiap proses yang kulalui, meski demikian keresahan yang sama masih menghantuiku. Aku tetap butuh bimbingan seseorang yang paham tentang coding. Masalahnya, entah itu Tora atau Astrid atau aku pun belum berkesempatan menyapanya sejak wacana kita dulu. Akhir-akhir ini John tidak mengunjungi warnet, terkadang dia datang hanya untuk bermain game sebentar. Auranya suram. Tidak ada yang berani menyapanya.

Tak terasa tinggal lima hari menuju pengumpulan hasil karyaku selama ini. Malam ini sungguh sepi tanpa kehadiran Astrid yang sedang sibuk dan Tora yang sedang berlibur dengan keluarganya. Ia masih membuka warnet ini khusus untukku. Dia bahkan mempercayakan kuncinya kepadaku. Sekitar pukul delapan malam, John datang ke sini. Dia terlihat mengerikan, kantung mata hitamnya terlihat jelas di belakang kacamatanya sekalipun. Aku rasa aku harus menanyakan keadaannya hari ini. Aku pun menunggunya menyelesaikan game-nya dulu. "You're loss. Game Over!" waktu itu pun tiba, John lagi-lagi kalah. Aku beranjak dari kursiku dan segera menghampirinya.

"Hai John!" sapaku yang seketika tercekat karena tubuh besar John tiba-tiba jatuh menatap lantai. Aku bergejolak kaget dan segera berlutut memeriksanya. Dia masih sadar walau nafasnya menderu dan wajahnya pucat. "John, ada apa? Bisa bangun nggak?" tanyaku sembari berusaha mengangkat tubuhnya. "Aku haus..." lirihnya. "Aku ambilin minum, kamu duduk dulu ya," ucapku setelah berhasil mendudukannya di lantai. Aku berlari mengambil botol minumku dan kuberikan kepada John.

Dia minum seakan sudah berhari-hari terdampar di gurun. Botol satu literku sudah diteguk setengahnya. Dia terlihat lebih bertenaga setelah minum. "Sepertinya, aku lupa minum obat lagi," katanya. "Apa kamu bawa obatnya di tas?" tanyaku. "Iya... boleh tolong ambilkan?" pintanya. "Tentu!" jawabku. Aku segera mencari obat itu sesuai instruksinya. Di dalam tas John ada banyak jenis obat, tetapi dia minta yang antidepresan. John segera menelannya dengan sisa air di botolku hingga tuntas. "Apa kamu perlu ke klinik?" tanyaku. "Ah, tidak perlu. Terima kasih banyak, Ragha. Aku sudah mendingan," balasnya pelan. "Serius? Tadi kamu hampir tak sadarkan diri lho. Kamu ada masalah apa, John?" tanyaku memastikan. "Aku punya penyakit mental. Kayaknya kamu nggak perlu tahu deh, takutnya kamu ikut stress, Gha," jawabnya dengan suara parau. Aku terdiam sejenak memproses informasi yang tak kusangka ini, namun kemudian aku mengajaknya makan untuk mencarikan suasana. Dia mengangguk. Aku segera mengambil semua makanan di mejaku, kami membagi nasi goreng setengah-setengah. Di tengah-tengah makan, kami pun saling bercerita tentang kehidupan akhir-akhir ini. Meski tadi dia bilang aku tidak perlu tahu masalahnya, nyatanya, kami saling membuka masalah kami di lantai dingin warnet ini. Aku tidak melanjutkan coding-ku malam itu. Meski demikian, malam itu, aku pulang dengan perasaan bersyukur.

Keesokan harinya, Tora dan Astrid sudah kembali. Aku lanjut menyempurnakan game-ku seperti biasanya. Tetapi tak kusangka, di tengah-tengah kegiatan, John menyapaku, juga Tora dan Astrid yang mangkal di dekatku. "Aku bantu kamu ya," ucapnya kepadaku. Aku menganggap ini sebagai kesempatan emas dan segera mengiyakannya. Astrid inisiatif memberikan kursi untuk John duduk di sebelahku. Kedua temanku sepertinya heran karena aku bisa akrab dengan John yang sudah cukup lama menjauh. Hubungan di antara kami pun membaik dan kami jadi akrab lagi. Tiga hari terakhir aku fokus menyempurnakan kode-kode pemrograman dan desain yang sangat dibantu dengan kehadiran John. Dia berhasil membuat game-ku terlihat lebih menarik.

Tema dari perlombaan kali ini adalah Game Multiplayer. Sejak awal aku sudah terpikir ide untuk tema ini, terima kasih kepada teman-temanku yang menginspirasi. Aku membuat game perlombaan lari, namun pada awalnya semua orang hanya bisa berjalan. Setiap orang harus berusaha seefektif mungkin untuk meningkatkan skill mereka masing-masing dengan bantuan berbagai item yang tersedia pula. Aku awalnya hanya membuat tiga karakter, namun setelah kemunculan John, aku menggantinya menjadi empat karakter. Aku memang sangat terinspirasi dengan teman-teman yang membantuku selama ini, penggambaran tiap karakter dan kemampuan mereka pun kugambarkan sesuai dengan karakter mereka. Orang yang sampai di garis finish duluan akan menang. 

Game buatanku pun dengan mantap kukirimkan setelah dicoba dengan teman-temanku dan aku berulang-ulang kali. Seperti dugaan Tora, aku menang dan wajahku ditampilkan sebagai tokoh inspiratif. Aku mendapatkan hadiah handphone. Semua orang sangat bangga kepadaku, sekolah, teman-teman, orang tua dan saudara. Aku pun bangga dengan pencapaianku, namun tak lupa saat ditanya siapapun akan bagaimana aku yang kekurangan perangkat ini bisa menang lomba, aku selalu menyebutkan bahwa prestasi ini tak akan teraih tanpa dukungan dan bantuan teman-temanku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun