"Tapi guys, sejujurnya yang paling aku butuhin sekarang adalah seorang pembimbing atau siapapun lah yang bisa bantu aku selama merancang kode," ucapku sejujur-jujurnya. "Yah... anak ini lupa sama satu lagi member kita di sini," ucap Astrid yang memincingkan matanya ke arah orang yang dia maksud. "Kan ada John, dia pasti bisa coding, orang dia mau jadi app developer," lanjutnya. Telunjuknya menunjuk seorang lelaki gemuk yang tengah fokus bermain game. Matanya fokus menatap layar dibalik kacamatanya, telinganya tertutup headphone yang kelihatannya canggih. Semua ini menandakan bahwa dia tidak bisa diganggu gugat sekarang. "Ah, iya, kamu bener juga, John pasti bisa bantu aku soal ini. Tapi aku rada nggak enak minta bantuannya, aku udah jarang bicara sama dia," ucapku. John memang sangat irit bicara, terkadang aku tidak menyadari keberadaannnya.
"Jujur aja nih, kami juga. Tapi tenang aja, John pasti mau bantuin kamu. Aku sama Astrid bakal bantu komunikasiin sama John, nanti kalau dia udah selesai main game," ucap Tora meyakinkan. Kami pun lanjut mengerjakan aktivitas kami masing-masing. Nampaknya, John bermain tanpa jeda, bahkan setelah aku selesai mencari berbagai tutorial dari internet. Aku pun pulang sebelum berhasil menyapanya hari ini. Begitu pun keesokan harinya saat aku memulai persiapan intensku. Astrid tidak bohong saat bilang akan membawakan camilan untukku setiap hari. Tora pun menolak saat aku membayar biaya warnet. Saat ditanya apakah dia tidak rugi, Tora bilang dia tetap membayar kepada ayahnya dengan uang hasil kerja sambilannya. Aku benar-benar bersyukur dengan kehadiran mereka. Selama dua minggu, mereka berdua selalu berkumpul di sekitarku untuk mendukung dan membantu semampu mereka. Aku sangat menikmati setiap proses yang kulalui, meski demikian keresahan yang sama masih menghantuiku. Aku tetap butuh bimbingan seseorang yang paham tentang coding. Masalahnya, entah itu Tora atau Astrid atau aku pun belum berkesempatan menyapanya sejak wacana kita dulu. Akhir-akhir ini John tidak mengunjungi warnet, terkadang dia datang hanya untuk bermain game sebentar. Auranya suram. Tidak ada yang berani menyapanya.
Tak terasa tinggal lima hari menuju pengumpulan hasil karyaku selama ini. Malam ini sungguh sepi tanpa kehadiran Astrid yang sedang sibuk dan Tora yang sedang berlibur dengan keluarganya. Ia masih membuka warnet ini khusus untukku. Dia bahkan mempercayakan kuncinya kepadaku. Sekitar pukul delapan malam, John datang ke sini. Dia terlihat mengerikan, kantung mata hitamnya terlihat jelas di belakang kacamatanya sekalipun. Aku rasa aku harus menanyakan keadaannya hari ini. Aku pun menunggunya menyelesaikan game-nya dulu. "You're loss. Game Over!" waktu itu pun tiba, John lagi-lagi kalah. Aku beranjak dari kursiku dan segera menghampirinya.
"Hai John!" sapaku yang seketika tercekat karena tubuh besar John tiba-tiba jatuh menatap lantai. Aku bergejolak kaget dan segera berlutut memeriksanya. Dia masih sadar walau nafasnya menderu dan wajahnya pucat. "John, ada apa? Bisa bangun nggak?" tanyaku sembari berusaha mengangkat tubuhnya. "Aku haus..." lirihnya. "Aku ambilin minum, kamu duduk dulu ya," ucapku setelah berhasil mendudukannya di lantai. Aku berlari mengambil botol minumku dan kuberikan kepada John.
Dia minum seakan sudah berhari-hari terdampar di gurun. Botol satu literku sudah diteguk setengahnya. Dia terlihat lebih bertenaga setelah minum. "Sepertinya, aku lupa minum obat lagi," katanya. "Apa kamu bawa obatnya di tas?" tanyaku. "Iya... boleh tolong ambilkan?" pintanya. "Tentu!" jawabku. Aku segera mencari obat itu sesuai instruksinya. Di dalam tas John ada banyak jenis obat, tetapi dia minta yang antidepresan. John segera menelannya dengan sisa air di botolku hingga tuntas. "Apa kamu perlu ke klinik?" tanyaku. "Ah, tidak perlu. Terima kasih banyak, Ragha. Aku sudah mendingan," balasnya pelan. "Serius? Tadi kamu hampir tak sadarkan diri lho. Kamu ada masalah apa, John?" tanyaku memastikan. "Aku punya penyakit mental. Kayaknya kamu nggak perlu tahu deh, takutnya kamu ikut stress, Gha," jawabnya dengan suara parau. Aku terdiam sejenak memproses informasi yang tak kusangka ini, namun kemudian aku mengajaknya makan untuk mencarikan suasana. Dia mengangguk. Aku segera mengambil semua makanan di mejaku, kami membagi nasi goreng setengah-setengah. Di tengah-tengah makan, kami pun saling bercerita tentang kehidupan akhir-akhir ini. Meski tadi dia bilang aku tidak perlu tahu masalahnya, nyatanya, kami saling membuka masalah kami di lantai dingin warnet ini. Aku tidak melanjutkan coding-ku malam itu. Meski demikian, malam itu, aku pulang dengan perasaan bersyukur.
Keesokan harinya, Tora dan Astrid sudah kembali. Aku lanjut menyempurnakan game-ku seperti biasanya. Tetapi tak kusangka, di tengah-tengah kegiatan, John menyapaku, juga Tora dan Astrid yang mangkal di dekatku. "Aku bantu kamu ya," ucapnya kepadaku. Aku menganggap ini sebagai kesempatan emas dan segera mengiyakannya. Astrid inisiatif memberikan kursi untuk John duduk di sebelahku. Kedua temanku sepertinya heran karena aku bisa akrab dengan John yang sudah cukup lama menjauh. Hubungan di antara kami pun membaik dan kami jadi akrab lagi. Tiga hari terakhir aku fokus menyempurnakan kode-kode pemrograman dan desain yang sangat dibantu dengan kehadiran John. Dia berhasil membuat game-ku terlihat lebih menarik.
Tema dari perlombaan kali ini adalah Game Multiplayer. Sejak awal aku sudah terpikir ide untuk tema ini, terima kasih kepada teman-temanku yang menginspirasi. Aku membuat game perlombaan lari, namun pada awalnya semua orang hanya bisa berjalan. Setiap orang harus berusaha seefektif mungkin untuk meningkatkan skill mereka masing-masing dengan bantuan berbagai item yang tersedia pula. Aku awalnya hanya membuat tiga karakter, namun setelah kemunculan John, aku menggantinya menjadi empat karakter. Aku memang sangat terinspirasi dengan teman-teman yang membantuku selama ini, penggambaran tiap karakter dan kemampuan mereka pun kugambarkan sesuai dengan karakter mereka. Orang yang sampai di garis finish duluan akan menang.Â
Game buatanku pun dengan mantap kukirimkan setelah dicoba dengan teman-temanku dan aku berulang-ulang kali. Seperti dugaan Tora, aku menang dan wajahku ditampilkan sebagai tokoh inspiratif. Aku mendapatkan hadiah handphone. Semua orang sangat bangga kepadaku, sekolah, teman-teman, orang tua dan saudara. Aku pun bangga dengan pencapaianku, namun tak lupa saat ditanya siapapun akan bagaimana aku yang kekurangan perangkat ini bisa menang lomba, aku selalu menyebutkan bahwa prestasi ini tak akan teraih tanpa dukungan dan bantuan teman-temanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H