Mohon tunggu...
Felice
Felice Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Saya suka thriller.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pentigraf: Satu-Satunya yang Beruntung

7 Juli 2023   13:30 Diperbarui: 7 Juli 2023   18:34 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di garis keturunan keluargaku, selalu ada anak kembar setidaknya dua dan anak kembar tiga setidaknya satu. Kami cukup terkenal karena itu. Kami juga dikenal sebagai keluarga yang hampir semua keturunannya kaya raya--terlepas dari usaha ilegal atau tidak. Aku lahir sebagai anak kembar tiga di keturunan ibuku. Mirisnya, aku dan kedua saudaraku lahir tanpa ayah. Ibuku diusir oleh orang tuanya karena hamil di luar nikah dan terpaksa tinggal bersama kakak iparnya yang adalah seorang janda. Untuk pertama kalinya di keturunan Dong ada anak kembar tiga yang tidak diistimewakan. Ulang tahun kami tidak pernah dirayakan--seakan-akan eksistensi kami hanya akan menjadi aib. Kami memang terlahir di rumah sakit mewah, tetapi kami dibesarkan di apartemen kecil milik bibi kami. Kebanyakan waktu, ibu kami sibuk mencari pekerjaan dan pria untuk dikencaninya. Dia jarang pulang ke apartemen. Hidupnya sangat tunggang langgang. Meski demikian, bibi mampu merawat kami, sekaligus merawat anaknya sendiri dengan baik. Dia memastikan kami semua makan, mengerjakan tugas sekolah, dan tidur tepat waktu. Dia satu-satunya keluarga yang tidak membenci kami. Ibu kami sendiri membenci kami--lebih tepatnya dia berekspektasi hanya salah satu dari kami yang lahir, tidak bertiga begini. Selama ini, dia berusaha mencari ayah kandung kami--yang tidak bisa ia ingat dengan baik, agar bisa menitipkan dua dari kami bertiga kepadanya.

Akhirnya setelah sembilan tahun mencari, ibu mampu menemukan ayah kandung kami. Aku masih ingat saat di mana ibu memaksa kami bertiga turun di depan rumah yang begitu besar, namun tidak terlihat mewah, justru menyeramkan. Dia tidak bilang ini rumah siapa atau alasan datang ke sini--yang pasti dia terlihat menggebu-gebu. Setelah satpam membiarkan kami semua masuk, ibu menyeret kami bertiga yang saat itu tidak ada yang mau masuk ke rumah horror ini. Begitu sampai di ruang tamu, kami disambut dengan pria dewasa yang terlihat tinggi kekar. Dia terlihat angkuh menjaga jarak dari ibuku yang terus berjalan mendekatinya. Seketika pertengkaran antara ibu dan pria itu meledak. Kata-kata kasar keluar tanpa hormat dari mulut ibuku, pria itu juga tak mau kalah mendominasi ibu. Meski begitu, menurutku ibu masih berada di posisi dominan. Dia memang pandai berdebat. Aku baru sadar pria itu adalah ayah kandungku setelah ibu meminta pertanggung jawaban. Salah satu kalimat ayah yang paling kuingat sampai saat ini adalah, "Aku tidak sudi menerima tiga anak iblis ini sebagai anakku!" katanya sambil menunjuk lurus ke arahku. Aku sebagai kakak yang paling dewasa, menutup salah satu telinga adik-adikku, dan menyuruh mereka menutup sisi lainnya. Salah satu adikku menangis, dia sangat tidak suka kekerasan. Satunya lagi terlihat seakan-akan ingin menginterupsi pertengkaran di depannya dan ikut dalam perdebatan ini, mukanya marah.

Pertengkaran itupun akhirnya disudahi--dari yang kudapat, ibulah pemenangnya. Setelah itu sesi lelang segera dimulai. Ibu membebaskan ayah memilih dua di antara kami untuk diambilnya. Ayah memilihku dan saudaraku yang menangis tadi. Kemudian dia langsung mengusir ibu dan membelakangi kami. Ibu tidak langsung pulang, dia justru mulai perdebatan akan betapa tidak sopannya ayah kepadanya. Sembari mengeluarkan kata-kata yang tidak kalah tidak sopannya--ibu menukarku dengan dengan anak yang terlihat marah tadi. Kami bertiga kembar identik dan disuruh memakai baju yang sama ke sini. Tentu saja, ayah tidak mampu menyadarinya, dia baru saja dikenalkan dengan anak-anaknya. Dan hanya begitu--aku dibawa pulang oleh ibu dan dia memulai keluarga barunya dengan suami baru. Ibu melihatku sebagai anak sekarang, dia merawatku dengan baik, aku juga memiliki saudara perempuan seibu dan ayah yang menyenangkan. Jika disuruh cerita pengalaman traumatis mungkin ceritanya hanya berakhir sampai di sini untukku, tetapi tentu tidak bagi kedua saudara kembarku yang selama bertahun-tahun disiksa oleh ayah di rumah horrornya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun