Menurut Andrew Scoball dalam penelitiannya dan pengamatannya terhadap permasalahan China dan Timur Tengah, bahwa negara-negara di Timur Tengah memiliki peran yang sangat penting bagi China, dimana kepentingan tersebut tidak hanya sebagai pemasok energi dan bahan bakar untuk keberlangsungan ekonomi dan peindustrian, namun lebih jauh lagi peran geopolitik[2].
China adalah ekonomi terbesar kedua di dunia, dengan PDB sekitar 11,19 triliun USD pada 2016. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi China juga telah meningkatkan permintaan energi sehingga mendorong perkembangan sektor industrinya. Namun, kebijakan pembangunan sektor energi gagal mengimbangi pertumbuhan ekonomi yang pesat. Dalam produksi minyak dalam negeri, China hanya dapat memproduksi 4,5% minyak, yang berbanding terbalik dengan konsumsinya, nomor dua setelah Amerika Serikat.
Kazakhstan dan Turkmenistan, dua negara Asia Tengah yang kaya sumber energi, merupakan mitra potensial untuk memenuhi kebutuhan energi Tiongkok. Oleh karena itu, jika memutuskan hubungan dengan mitra yang ada di Timur Tengah, Afrika, dan Rusia, berbagai proyek "Belt and Road" akan memberi China peluang untuk menemukan sumber energi alternatif.
Selain mencari sumber energi alternatif, China juga telah merumuskan kebijakan inisiatif “One Belt One Road” untuk menjaga pasokan energi dari mitra lamanya, Timur Tengah. Untuk mencapai tujuan tersebut, China telah menjalin hubungan yang lebih erat dengan beberapa negara termasuk Pakistan. Kerja sama erat dengan Pakistan ini tercermin dalam proyek infrastruktur seperti jalan raya, rel kereta api, dan jaringan pipa gas alam, serta keputusan Pakistan yang mengizinkan perusahaan China untuk mengontrol bisnis pelabuhan Gwadar di laut Arab, sehingga memberi perusahaan China akses ke Teluk Persia dan Timur Tengah. Gwadar merupakan bagian dari China-Pakistan Economic Corridor, dimana China menandatangani perjanjian investasi pada April 2015 senilai total 48 miliar USD[3].
Selain kepentingan negara dalam memastikan ketahanan energi, pendirian Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) pada tahun 2015 juga sebagai sarana kepentingan ekonomi China.
Pada pencanangannya, BRI bertujuan untuk menghubungkan ekonomi Eurasia dengan infrastruktur, perdagangan, dan investasi. Namun dibalik tujuan tersebut, China sebenarnya memiliki beberapa agenda lain dalam mengeluarkan kebijakan tersebut yang bisa dirangkum menjadi tiga arah utama; Pertama, mengamankan jalur pasokan energi sekaligus mencari sumber energi alternative di Asia Tengah. Kedua, China berambisi untuk mengambil alih peran kepemimpinan di negara-negara yang bekerja sama dengan pembangunan berbagai proyek infrastruktur. Ketiga, BRI sebagai upaya China untuk membangun hegemoni di bidang keamanan dan juga ekonomi.
Referensi
[1] Belt Road Initiative. Diakses pada 19 November 2020.
[2] Scobell, Andrew, Edmund J. Burke, Cortez A. Cooper III, Sale Lilly, Chad J. R. Ohlandt, Eric Warner, and J.D. Williams, China's Grand Strategy: Trends, Trajectories, and Long-Term Competition. Santa Monica, CA: RAND Corporation, 2020.
[2] Chan, Gerald. China’s High-speed Rail Diplomacy Global Impacts and East Asian Responses. EAI Working Paper, 2016.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI