ejak dulu, ibu selalu bercita-cita memiliki pekarangan yang bisa ditanami berbagai tanaman dan bisa memberikan manfaat. Cita-cita yang sederhana, tetapi penuh makna.Â
SSetelah bapak memasuki masa pensiun, impian itu akhirnya terwujud. Alhamdulillah, ada rezeki yang cukup untuk membeli sedikit tanah yang menempel dengan rumah. Lahan yang dulu kosong dan tak terurus kini berubah menjadi hijau, dipenuhi aneka tanaman seperti lung telo (daun ubi rambat), kucai, daun salam, kemangi, hingga belimbing wuluh.
Pekarangan ini bukan sekadar tempat menanam, tetapi juga mampu memberi kemudahan dalam kehidupan sehari-hari. Saat membutuhkan daun salam atau belimbing wuluh untuk memasak, lung telo untuk sayur bening atau cemeding, kemangi untuk campuran pepes atau lalapan, dan kucai untuk adonan mendoan, ibu tak perlu jauh-jauh pergi atau membeli. Semua telah tersedia di halaman sendiri.Â
Begitu pula dengan tetangga yang membutuhkan. Mereka tinggal datang, meminta izin, lalu memetik sendiri tanaman yang diperlukan. Tak ada harga yang ditetapkan, tak ada pamrih yang diharapkan, hanya ada kebahagiaan yang tumbuh dari indahnya berbagi walaupun hanya dengan dedaunan.
Hadirnya pekarangan lebih dari sekadar memberi manfaat praktis, ada sesuatu yang lebih berharga di sana. Pekarangan ini menjadi pengingat bahwa kebaikan bisa ditanam di mana saja. Tidak harus dalam bentuk harta, tidak harus dalam jumlah besar.
Menyediakan tanaman yang bisa dimanfaatkan bersama, insyaAllah, menjadi ladang amal yang penuh keberkahan. Dari sepetak pekarangan, ibu mengajarkan bahwa berbagi kebaikan, sekecil apa pun, akan selalu memberi arti dan menghadirkan kebahagiaan dalam hati.
Di depan pekarangan, sebuah teras kecil juga dibangun, dihiasi tanaman hijau yang semakin menambah keteduhan. Tempat sederhana ini menjadi ruang kebersamaan. Setiap pagi dan sore, ibu dan bapak sering bercengkrama di sini, juga berbagi cerita dan tawa dengan tetangga. Suasana terasa hangat, penuh keakraban, menghadirkan ketenangan yang tak bisa diukur dengan materi.
Melihat orangtua bisa menikmati masa tuanya dengan tenang adalah nikmat yang luar biasa. Berpuluh-puluh tahun mereka menghadapi badai kehidupan yang tidak mudah, berjuang dan berkorban demi anak-anaknya, kini tiba juga masa mereka bisa merasakan kedamaian. Maka, tak ada kata yang lebih pantas kami ucapkan selain syukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya.
Hidup ini memang penuh ujian dan perjuangan, tetapi di setiap kesulitan, insyaaAllah ada kebahagiaan yang menanti. Kita mungkin tak tahu kapan waktunya tiba, karena di situlah Allah ingin mengajarkan makna sabar.Â
Sementara tugas kita sebagai manusia hanyalah terus berusaha, berdoa, dan senantiasa bertaubat. Seburuk apa pun keadaan, jangan pernah berputus asa dari ampunan dan pertolongan-Nya. Sebab, di balik setiap kesulitan, pasti ada kemudahan.
Setiap kali pulang kampung, pemandangan pekarangan ini selalu menghadirkan rasa haru dan syukur. Di sinilah tempat ibu dan bapak menghabiskan hari-hari mereka dengan tenang, menikmati jerih payah mereka selama ini.Â
Saat duduk di teras kecil ini, sambil mengemil atau memakan sesuatu sembari mendengarkan cerita mereka, saya menyadari betapa berharganya waktu bersama orangtua. Tempat ini memang sederhana, tetapi di sanalah tersimpan banyak doa, kasih sayang, dan kebahagiaan yang tak ternilai.
Pulang kampung bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan hati. Kembali ke tempat di mana segala kehangatan bermula, di mana kita selalu diterima dengan tangan terbuka. Semoga Allah memberi kita kesempatan untuk terus membahagiakan orangtua, sebagaimana mereka telah mengorbankan segalanya untuk kita.
Ya Rabb..jaga selalu kedua orangtua kami dengan sebaik-baiknya penjagaan-Mu. Kelilingilah selalu mereka dengan kebaikan dan kebahagiaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI