Mohon tunggu...
Ferra ShirlyAmelia
Ferra ShirlyAmelia Mohon Tunggu... Perencana Keuangan - istri yang suka menulis dan minum kopi

senang bekerja dan belajar dari rumah

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Gaji Naik: Awas Jebakan Lifestyle Inflation!

24 Januari 2025   09:44 Diperbarui: 24 Januari 2025   09:51 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah maraknya flexing, ada satu jebakan yang sering tidak disadari banyak orang yaitu: lifestyle inflation. Ini adalah kondisi di mana seseorang terus meningkatkan gaya hidupnya seiring dengan bertambahnya penghasilan, tanpa mempertimbangkan kestabilan finansial jangka panjang. Fenomena ini banyak terjadi, terutama ketika seseorang merasa perlu mengikuti standar sosial tertentu agar dianggap sukses.

Awalnya, mungkin hanya ingin membeli barang yang sedikit lebih mahal sebagai bentuk apresiasi diri. Namun, lambat laun, kebiasaan ini berkembang menjadi kebutuhan untuk selalu "naik kelas." Dari handphone terbaru, pakaian bermerek, hingga mobil yang lebih mewah, semua dibeli bukan karena kebutuhan, tetapi karena dorongan untuk tetap terlihat sukses di mata orang lain. Yang lebih mengkhawatirkan, banyak orang terjebak dalam pola ini tanpa perhitungan matang, bahkan rela berhutang demi memenuhi ekspektasi sosial.

Di sisi lain, ada orang-orang yang memilih jalan berbeda yaitu mereka yang diam-diam membangun kestabilan finansial tanpa perlu terlihat mewah. Mereka lebih memilih menabung, berinvestasi, dan membangun aset ketimbang sekadar memamerkan gaya hidup. Mereka memahami bahwa kekayaan sejati bukanlah tentang seberapa banyak yang bisa dibelanjakan, tetapi seberapa baik seseorang bisa mengelola keuangannya untuk jangka panjang.

Kenaikan gaji sering kali datang dengan godaan besar: mengubah gaya hidup dan memenuhi keinginan untuk "mengikuti tren." Tidak jarang, setelah menerima kenaikan gaji, kita merasa lebih mampu dan berhak untuk menikmati barang-barang yang lebih mahal. 

Padahal, kenaikan gaji seharusnya menjadi kesempatan untuk memperbaiki kondisi finansial jangka panjang, bukan sekadar alat untuk meningkatkan gaya hidup. Ketika gaji naik, banyak yang merasa harus "menyesuaikan" standar hidupnya. Namun, itu sering kali menjebak dalam siklus belanja yang tak berujung sampai akhirnya justru bisa memperburuk kestabilan finansial. Alih-alih menggunakan tambahan gaji untuk menambah tabungan atau investasi, banyak yang lebih memilih untuk berbelanja demi memenuhi keinginan yang berlandaskan pada citra sosial, bukan kebutuhan yang sesungguhnya.

Faktor yang membuat seseorang terjebak dalam pola ini beragam. Salah satunya adalah tekanan sosial, baik dari lingkungan sekitar maupun media sosial. Ketika melihat teman sebaya sudah memiliki rumah mewah atau sering liburan ke luar negeri, muncul rasa ingin ikut serta agar tidak dianggap tertinggal. Di sisi lain, iklan dan tren konsumtif juga memainkan peran besar, membuat seseorang merasa perlu membeli sesuatu yang sebenarnya tidak mendesak.

Jika dibiarkan, dampaknya bisa sangat serius. Mereka yang terus meningkatkan gaya hidup tanpa perhitungan akan menghadapi berbagai risiko, seperti:

1. Kesulitan menabung dan berinvestasi, karena sebagian besar penghasilan habis untuk pengeluaran konsumtif.

2. Terjebak utang, terutama jika gaya hidup dipertahankan dengan cara kredit atau pinjaman.

3. Tekanan finansial yang meningkat, karena semakin tinggi standar hidup yang dibuat, semakin sulit pula untuk mempertahankannya.

4. Ketidakmampuan menghadapi kondisi darurat, karena tidak memiliki dana cadangan yang cukup untuk menghadapi situasi tak terduga.

Sebaliknya, mereka yang lebih bijak dalam mengelola keuangan memilih untuk tidak terburu-buru meningkatkan gaya hidup hanya karena penghasilan bertambah. Mereka lebih memilih mengalokasikan uangnya ke hal-hal yang lebih produktif seperti investasi, tabungan, dan aset yang bernilai jangka panjang. Mereka mungkin memiliki penghasilan tinggi, tetapi tetap memilih hidup sederhana karena memahami bahwa kekayaan sejati bukanlah tentang seberapa banyak yang bisa dipamerkan, melainkan tentang seberapa besar kestabilan yang bisa dibangun.

Pendekatan ini membuat mereka memiliki fleksibilitas finansial lebih besar dan ketenangan dalam menjalani hidup. Salah satu contohnya adalah orang-orang yang lebih memilih membeli properti untuk disewakan daripada membeli mobil mewah yang nilainya terus turun. Atau mereka yang lebih memilih mengembangkan usaha kecil secara perlahan daripada langsung menghabiskan uang untuk gaya hidup.

Bukan berarti menikmati hasil kerja keras itu salah. Sesekali memberikan reward untuk diri sendiri adalah hal yang wajar. Namun, perbedaannya terletak pada bagaimana cara mengelola dan mengendalikan keinginan tersebut agar tidak mengorbankan kestabilan jangka panjang. Ada beberapa prinsip yang bisa diterapkan agar tidak terjebak dalam lifestyle inflation:

1. Tentukan Prioritas Keuangan

Sebelum meningkatkan gaya hidup, pastikan kebutuhan utama sudah terpenuhi. Miliki dana darurat yang cukup, lunasi utang yang tidak produktif, dan pastikan sudah berinvestasi untuk masa depan.

2. Jangan Membeli Sesuatu Hanya untuk Impresi

Sebelum membeli barang mahal, tanyakan pada diri sendiri: apakah ini benar-benar dibutuhkan, atau hanya sekadar ingin terlihat sukses? Jangan sampai keinginan untuk mendapatkan pengakuan sosial membuat keuangan tidak sehat.

3. Fokus pada Aset, Bukan Sekadar Konsumsi

Gunakan kenaikan penghasilan untuk menambah aset yang bisa memberikan pemasukan pasif, seperti properti, saham, atau logam mulia, dibandingkan hanya untuk konsumsi jangka pendek.

4. Jangan Terpancing Tren dan Tekanan Sosial

Kesuksesan tidak diukur dari barang yang dimiliki, tetapi dari seberapa baik seseorang bisa mencapai kebebasan finansial. Jangan biarkan standar orang lain menentukan bagaimana seharusnya kita menjalani hidup.

5. Pahami Perbedaan antara Kekayaan dan Pencitraan

Ada perbedaan besar antara orang yang benar-benar kaya dan mereka yang hanya terlihat kaya. Banyak miliarder dunia yang tetap hidup sederhana karena mereka memahami nilai uang yang sesungguhnya. Belajar dari mereka bisa membantu kita melihat keuangan dengan cara yang lebih bijak.

Pada akhirnya, di tengah tekanan sosial dan tren flexing yang semakin marak, memilih untuk membangun kestabilan finansial tanpa banyak gaya dan bicara adalah keputusan yang lebih bijak. Memiliki kestabilan finansial lebih penting daripada sekadar terlihat kaya. Alih-alih membangun citra, lebih baik membangun fondasi keuangan yang kuat. Karena pada akhirnya, yang benar-benar berharga bukanlah seberapa banyak barang mewah yang kita miliki, tetapi seberapa tenang dan nyaman kita menjalani hidup tanpa tekanan utang dan ekspektasi sosial yang tak berujung.

Jangan biarkan gaya hidup mengendalikan keuangan kita, tapi sebaliknya, kendalikan keuangan kita agar bisa menjalani hidup dengan lebih leluasa dan bermakna. 

Semoga naik gaji dan berkah ya teman-teman. Aamiin 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun