Di saat dunia sibuk dengan gemerlap distraksi, seorang nelayan sederhana memberi kita tamparan literasi. Bukan dengan kata-kata indah, tetapi dengan keberanian yang luar biasa.
Pak Kholid, seorang lelaki sederhana yang menggantungkan hidupnya pada laut, tiba-tiba menjadi sosok yang mampu menggugah banyak hati. Ia bukan seorang yang berpangkat, ia hanya seorang rakyat. Namun, ada satu hal yang membuatnya berbeda, "Ia melek literasi".
Pak Kholid membaca. Ia memahami. Ia berpikir. Dan yang paling penting, ia berani bersuara.
Di saat banyak orang memilih diam, ia berdiri tegak, menyampaikan kegelisahannya dengan lantang. Ia tidak terbungkam oleh tekanan, tidak gentar meski yang ia hadapi adalah proyek besar yang konon demi kepentingan umum. Seolah tahu, apa yang terjadi bukan sekadar angka-angka dalam laporan atau garis-garis di atas peta perencanaan. Ini tentang laut yang menjadi sumber kehidupan, tentang mata pencaharian yang sedang dipertaruhkan.
Ironisnya, mereka yang memiliki wewenang, yang duduk di kursi nyaman dengan gelar dan jabatan tinggi, justru seolah tak tahu-menahu. Bibir mereka seperti kelu, tangan mereka seolah ragu. Padahal, merekalah yang seharusnya berdiri di garis depan untuk membela rakyatnya. Tapi entah mengapa, justru seorang nelayan yang akhirnya membuka mata kita semua.
Sadar atau tidak, Pak Kholid telah 'menampar' kita semua. Di tengah era digital dengan segala kemudahan akses informasi, apa yang sebenarnya kita lakukan dengan gadget keren di genggaman kita? Literasi apa yang kita dapat darinya?Â
Apakah literasi yang bermanfaat, yang membuat kita lebih paham akan realitas dan mampu berpikir kritis? Atau sekadar tenggelam dalam scroll tak berujung, menonton joget-joget tanpa makna, mengikuti huru-hara selebrita, atau sibuk memenuhi keranjang olshop dengan barang-barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan?
Pak Kholid telah membuka mata kita semua. Walaupun ia rakyat kecil, tapi ia pintar. Seolah berpesan, jangan sampai kita bodoh dan mau dibodoh-bodohi. Jangan sampai kita hanya menjadi penonton dalam persoalan bangsa sendiri. Sibuk dalam distraksi yang tak berarti, sementara mereka yang seharusnya mengayomi malah membiarkan ketidakadilan terus terjadi.
Sekali lagi, benar-benar kita diajarkan oleh sosok bapak satu ini. Bagaimana mungkin kita bisa melek hati nurani jika melek literasi saja kita tidak mampu?
Pak Kholid mengajarkan bahwa literasi bukan sekadar membaca, tetapi juga berpikir, memahami dan bertindak dengan tepat. Bukan sekadar melihat, tetapi juga berani menyampaikan pendapat. Walaupun hanya seorang nelayan tapi ia mampu mengerti seperti apa seharusnya kebijakan dan dampaknya bagi kehidupan rakyat, bahkan bagi bangsa ini.
Hadirnya pak Kholid di tengah kita, semoga mampu membawa perubahan nyata. Jangan sampai suara-suara rakyat kecil terabaikan begitu saja.Â
Semoga ada keberpihakan yang benar, bukan sekadar retorika. Dan semoga para pemimpin kita bisa belajar dari sosok pak Kholid ini, bahwa untuk membela kebenaran, tidak cukup hanya dengan gelar yang tinggi dan kekuasaan yang besar, tetapi juga butuh hati nurani yang bersih dan keberanian untuk bersuara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H