Mohon tunggu...
Ferra ShirlyAmelia
Ferra ShirlyAmelia Mohon Tunggu... Perencana Keuangan - istri yang suka menulis dan minum kopi

senang bekerja dan belajar dari rumah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Manunggal Air ke Swasembada Pangan: Harapan Menghidupkan Kembali Macan Asia

17 Januari 2025   15:10 Diperbarui: 17 Januari 2025   15:09 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang ini, tiba-tiba rasa haru menyeruak dalam dada. Haru yang bergelut dengan secercah harapan, saat melihat reels Sekretariat Kabinet yang di post dua hari lalu tentang program TNI-AD Manunggal Air (program terobosan untuk mengatasi kesulitan air bersih di seluruh wilayah Indonesia). Dan ternyata, program ini sudah diluncurkan sejak 2022 dan hingga saat ini sudah terealisasi lebih dari 3.355 titik sumber air di seluruh Indonesia, 1.243.996 jiwa telah mendapatkan akses air bersih, serta 48.043 ha sawah tadah hujan di seluruh wilayah tanah air juga turut merasakannya. Bangga rasanya sekaligus muncul kembali asa jika Indonesia bisa kembali menjadi Macan Asia.

Indonesia yang pernah dijuluki sebagai Macan Asia bukan hanya karena kekuatan militernya, tetapi juga karena ekonominya yang berkembang pesat dan berhasil mencapai swasembada pangan. Namun, hingga saat ini kita masih menghadapi tantangan besar yaitu ketergantungan pada impor bahan pangan, yang tak jarang diwarnai dengan kasus korupsi. Sementara itu, desa-desa semakin kehilangan generasi penerusnya ketika anak muda lebih memilih merantau ke kota atau bekerja di manca negara. Profesi petani masihlah dipandang sebelah mata, padahal dengan kemajuan teknologi yang kian pesat, pertanian bisa dikembangkan menjadi sektor yang modern, efisien, dan menguntungkan.

Program TNI-AD Manunggal Air mampu menjadi angin segar bagi masyarakat pedesaan dan memastikan bahwa air sebagai nyawa pertanian tetap tersedia. Namun, ketahanan pangan tidak hanya bergantung pada ketersediaan air bersih, tetapi juga pada siapa yang akan mengelola lahan pertanian di masa depan. Tanpa regenerasi petani, swasembada pangan hanya akan menjadi impian belaka. Sayangnya, masih sedikit sekali anak muda yang tertarik dalam bidang pertanian dengan beberapa alasan seperti berikut ini:

  • Pandangan bahwa bertani itu berat dan tidak menjanjikan secara finansial.
  • Minimnya dukungan bagi petani muda, baik dalam akses modal, teknologi, maupun pelatihan.
  • Kurangnya pemahaman akan potensi besar dalam agroteknologi dan agribisnis.
  • Daya tarik pekerjaan di kota atau luar negeri lebih kuat dibandingkan bertani di desa.

Padahal, dunia pertanian saat ini telah mengalami transformasi besar dengan hadirnya pertanian berbasis teknologi (agrotech) yang ternyata telah mulai diterapkan dan dikembangkan di Indonesia dengan berbagai inovasinya seperti drone pertanian, sistem irigasi otomatis, pertanian hidroponik dan vertikultur, serta smart farming berbasis AI dan IoT. Semua ini memungkinkan pertanian menjadi lebih modern, produktif, dan menguntungkan.

Maka, sudah saatnya Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menghidupkan kembali pertanian dan menarik keterlibatan anak muda, seperti:

1. Menggencarkan Kembali Program "Petani Muda Bangkit"

Program yang sudah pernah dicetuskan ini, bisa lebih digencarkan kembali dengan dukungan penuh dari Pemerintah. Dimana pemerintah bisa memberikan pinjaman modal tanpa bunga dengan disertai pendampingan, pengawasan, dan bimbingan hingga usaha petani muda benar-benar balik modal, menghasilkan, dan mampu mandiri secara berkelanjutan. Selain itu, diperlukan juga kemitraan dengan BUMN dan perusahaan pangan agar hasil panen petani muda memiliki jaminan pasar yang jelas dengan harga yang layak.

2. Menggencarkan Program Pelatihan dan Inovasi Pertanian Berbasis Teknologi

Dengan mendirikan pusat-pusat pelatihan dan inovasi pertanian modern yang menghubungkan anak muda dengan mentor dari kalangan akademisi, praktisi, dan investor, diharapkan mampu menjadi daya tarik bagi anak muda untuk berwirausaha di sektor ini.

3. Menggalakkan Program "1 Desa 10 Petani Muda"

Setiap desa harus memiliki setidaknya 10 petani muda yang mendapatkan pendampingan intensif dari pemerintah. Tentunya dengan perekrutan yang adil dan transparan tanpa adanya unsur nepotisme. Benar-benar anak muda yang mau belajar dan mampu untuk bekerja membangun desanya lewat pertanian. Tentunya insentif yang menarik juga harus diperhatikan agar mereka semakin bersemangat. Program ini bisa dikolaborasikan dengan perguruan tinggi melalui program kuliah kerja nyata (KKN) berbasis pengabdian, di mana mahasiswa pertanian diterjunkan langsung ke desa-desa untuk mendampingi para petani muda ini.

4. Mengembangkan "Desa Digital Pertanian"

Di berbagai daerah, pemandangan petani membuang hasil panennya karena harga jual yang terlalu rendah seolah menjadi kisah klasik yang terus berulang. Bawang, cabai, tomat, dan hasil panen lainnya yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, justru terbuang sia-sia. Bukan karena petani malas atau gagal panen, tetapi karena sistem distribusi yang tidak berpihak pada mereka.

Bagaimana mungkin di satu sisi petani terpaksa menjual hasil panennya dengan harga yang menyakitkan, sementara di pasar harga barang tetap tinggi? Bagaimana bisa mereka yang menanam, merawat, dan memanen dengan penuh kesabaran justru menjadi pihak yang paling dirugikan? Petani seharusnya tidak lagi menjadi kaum marginal di tanah airnya sendiri.

Salah satu solusi nyata yang bisa diterapkan adalah dengan mengembangkan "Desa Digital Pertanian", yang menghubungkan petani langsung dengan pasar, menghilangkan rantai perantara yang seringkali menyebabkan harga anjlok di tingkat petani namun tetap tinggi di konsumen. Jika Desa Digital Pertanian ini benar-benar diterapkan, maka petani tidak akan lagi terjebak dalam siklus kemiskinan yang selama ini membelenggu mereka. Harga yang lebih adil, sistem distribusi yang lebih efisien, dan akses pasar yang lebih luas akan membuat profesi petani kembali bernilai dan dihormati.

Harapannya, Tidak ada lagi pemandangan menyedihkan petani membuang hasil panennya. Tidak ada lagi cerita petani yang bekerja keras tapi tetap hidup dalam keterbatasan. Karena sejatinya, mereka adalah pilar utama ketahanan pangan dan kedaulatan bangsa ini. Sudah saatnya petani Indonesia tidak hanya menjadi buruh di ladangnya sendiri, tetapi mampu menjadi pemimpin di sektor pertanian yang modern dan berdaulat.

Sebagai penutup, sebagaimana air yang mengalir mampu membawa kehidupan, dengan adanya program Manunggal Air ini, semoga hadirnya tidak hanya sekadar membasahi tanah yang kering, tetapi juga mampu menyirami semangat anak-anak muda untuk kembali membangun pertanian dan berperan nyata membangun negeri. Sebab sejatinya, ketahanan pangan adalah kunci kedaulatan bangsa. Tanpa itu, tak ada kejayaan yang bisa kita banggakan.

Jika program yang ada benar-benar dijalankan dengan baik, amanah, bertanggung jawab, dan terus berkelanjutan, rasanya tak sulit negara kita yang kaya ini bisa swasembada pangan lagi dan mengaum dengan gagahnya menjadi Macan Asia kembali. 

Indonesia negeriku, aku cinta padamu..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun