Mohon tunggu...
feel dr
feel dr Mohon Tunggu... -

Aku senang menulis segala hal yang kualami: lihat, dengar, rasa, dan jumpai. Sayangnya aku masih sering kesulitan bagaimana menuliskannya. Semoga teman-teman baruku di kompasiana dapat membantuku untuk mengoreksi tulisan-tulisan bodohku. Feel free to leave comment for all my posts. Aku senang kritik pedas berisi, karena aku belajar dari makian dan sanjungan sering hanya membuatku puas diri. Mari berbagi.. Dari hati seorang perempuan yang selalu ingin belajar dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Si Gila

28 November 2010   17:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:13 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Si giLa memandangi handphone bututnya, berharap sebuah nomor memanggilnya atau setidaknya sms datang dari nomor yang ditunggunya. Tentu saja nomor yang ditunggunya adalah nomor Dia. Lima menit berlalu..... nihil! Satu jam berlalu... mustahil! Namanya juga orang giLa... ia masih memandangi layar ponsel di tangannya, kali ini terdengar hela napas panjang mengiringi penantiannya. Sepertinya si giLa mulai putus asa karena Dia tidak juga menghubunginya.

Setelah beberapa saat, si giLa mulai mengetuk-ketuk ponselnya dengan geregetan, tak sabar. Selanjutnya ia semakin gelisah dan kesal. Di bantingnya ponsel butut yang emang udah layak pensiun itu. Kemudian ia mulai mengamuk, tantrum. Si giLa marah karena tak pernah mendapat telepon atau sms dari Dia setelah selama 2 bulan si giLa mengungsi ke bulan. Kesalnya bukan kepalang.... kesal yang bercampur rindu mendalam akan sosok Dia yang begitu dicintainya.

Sebuah cermin besar di kamar si giLa menyaksikan peristiwa kemarahannya. Cermin itu tertawa geli, geli banget. Mendengar tawa si cermin, si giLa segera menghampiri cermin itu dan melampiaskan semua kemarahannya pada si cermin. Semakin si giLa murka, semakin si cermin ketawa. Hal itu terjadi selama lebih kurang 2 minggu. Tepat di hari ke-14, akhirnya si giLa menghentikan amarahnya dan seketika si cermin pun terdiam. Si giLa menatap cermin dalam-dalam... si cermin pun melakukan hal yang sama. Mereka diam. Setelah selama 2 hari mereka bungkam dan saling menatap, si giLa pun angkat bicara... "Aku mengerti sekarang. Tidak ada gunanya aku kesal dan marah karena Dia tak pernah sekalipun menghubungiku. Ya itu wajar karena aku yang memilih untuk mencintainya.... meskipun aku tidak pernah tahu apakah dia mencintaiku. Dan sepertinya memang dia tidak mencintaiku, karena dia tidak sekalipun menghubungiku. Dia tidak merindukanku sementara aku sangat merindukannya..... Bukankah ini tidak adil, cermin?!" ujarnya dilanjutkan dengan nada tinggi dan amarah yang semakin menjadi. Ya... si giLa marah lagi. Ia justru semakin kesal dengan apa yang dipikirkannya sendiri. Itulah kenapa sejak dulu ia benci logika.

Si giLa memang sejak lama menyadari telah jatuh hati pada Dia. Dan si giLa juga telah memilih untuk menjaga hatinya. Bahkan selama di buLan pun ia abaikan banyak 'pangeran' hanya karna cintanya untuk Dia. Tapi malang... tidak ada yang pernah tahu hati Dia. Apakah Dia mencintai si giLa atau tidak. Cermin pun hanya bisa tertawa.

Ya... Si giLa semakin marah...ya murka si giLa semakin menggila. Dan sudah tentu si cermin semakin tertawa. Peristiwa itu terjadi sampai sekarang dan entah sampai kapan si giLa akan sadar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun