Mohon tunggu...
Fiky Akirta
Fiky Akirta Mohon Tunggu... -

Penulis\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ini Lucu?

11 Juli 2013   10:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:42 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selalu dengan buku. Hanya dengan buku sepertinya kau baru mau bicara. Diam dalam senyap yang selalu kurasa pengap baru kau katakan kalau itu nyaman. Aku tak pernah mengerti dengan arah pikiranmu. Tidak. Aku tidak mengatakan kalau kau aneh. Kau hanya sulit dimengerti dan mungkin tidak mau dimengerti.

Seperti saat ini. Kau masih saja menatap buku yang ada di hadapanmu, menelanjanginya sampai habis. Tak ada rasa bosan. Matamu begitu lincah menari menelusuri setiap kata. Kau mulai sangat jarang berbicara, nyaris saja aku lupa bagaimana suaramu.

Dari tempat dudukku aku masih menatap punggungmu. Badanmu agak kurus dan pipimu kian tirus dari sejak pertama kali kita bertemu di kelas ini. Hampir dua tahun. Dulu kau selalu mengajakku bicara, kau hampir seperti udara yang kuhirup, selalu saja mampu menghilangkan pengap dan sesak kala aku terjebak dalam masa dan tersesat dalam kalam.

Terakhir kali kau mau menyapaku adalah seratus dua puluh delapan hari yang lalu. Saat kita berdiskusi tentang sekolah dan pendidikan, lalu kerap kali kita berbeda pendapat sampai urat-uratmu menegang dan nada bicaramu naik tujuh oktaf. Setelah itu kau jadi seperti ini. Diam. Lebih senang sendiri menikmati sunyi.

Apa lidah ini salah bergerak? Atau pikiranku yang tersesat? Apa yang keliru?

Aku hanya menyarankan agar kau melanjutkan pendidikanmu. Dan apa jawabmu? Kamu hanya mendengus. Kau bilang untuk apa?

Untuk apa kau bilang? Gusar aku mendengar jawabmu. Aku rasa pikiranmulah yang sedang tersesat.

“Sekarang aku yang bertanya kepadamu. Untuk apa kau melanjutkan sekolah? Belajar? Menyandang status mahasiswa? Mendapatkan gelar sarjana? Gengsi?” kau mendengus sekali lagi. “Aku yakin kau sama saja dengan yang lainnya, hanya gengsi.”

Aku tidak terima! Aku ingin membela diriku tapi suaraku tercekat. Pikiran dan hatiku menyusuri lautannya untuk mencari jawaban. Benarkah hanya karena gengsi?

“Lalu kenapa kau sekolah?”

“Aku sekolah untuk bekerja dan aku bekerja agar aku bisa sekolah.” Suaramu seperti nyanyian sungai yang mengalir tanpa gejolak, begitu tenang.

“Tapi agar kau bisa bekerja lebih layak kau juga harus sekolah lebih tinggi.”

“Tapi sekolah juga butuh uang. Aku tak sanggup membaca jumlah nominal uang yang harus dibayar untuk bisa sekolah lebih tinggi. Kau tahu? Sampai disini saja aku hampir mati sesak. Apa kau pikir pendidikan bagiku masih lebih penting daripada bertahan hidup?”

Aku menatap nanar lantai kelas. Hatiku teriris saat kudengar pernyataan yang baru saja melontar dari mulutmu. Aku yakin semua orang begitu sensitif dengan apa yang berkaitan dengan ‘uang’. Benda itu kian menjadi dewa dalam kehidupan manusia. Mungkin kedudukannya sudah lebih tinggi dari dewa Brahmana, dan tentu saja lebih sakti.

“Aku sesungguhnya hanya ingin belajar. Aku hanya ingin lebih banyak tahu. Tapi ternyata harganya terlalu mahal. Aku harus hidup seribu tahun untuk bisa mengumpulkan uang sebanyak itu.” Nada bicaramu seolah kau sudah berada di tepi jurang tak berdasar.

“Tapi kau kan pintar, kau bisa mencari beasiswa.”

“Tidak. Aku sudah muak dengan pendidikan yang seperti ini.” Sorot matamu mulai menyala seperti bara api yang memanas.

“Maksudmu?”

“Kau tidak tahu atau pura-pura tidak tahu? Atau kau tuli? Kau buta? Dunia ini penuh dengan politik. Bahkan di sekolah ini, di kelas kita, semuanya orang-orang politik! Mereka punya otak tapi tak pernah mereka gunakan. Mereka hanya berpikir bagaimana caranya agar mendapat nilai yang tinggi tanpa berpikir? Kau tahu seberapa bodohnya mereka? Akibatnya apa? Kejujuran menjadi tak bermakna, kebohongan merajalela, dan politik yang berkuasa! Yang kuat dia yang menang!”

“Tapi tidak semua orang seperti itu! Tidak semua sekolah seperti itu!”

“Kau pikir begitu? Adakah sekolah yang bersih dari politik? Politik uang! Sekarang asalkan punya uang siapapun bisa masuk begitu saja kemana saja sekolah yang mereka inginkan! Dan yang benar-benar berusaha mati-matian kalah! Kalah telak!” dadamu mulai naik turun. Jiwamu mulai menyerap emosi yang tadinya hanya menggelitik saja.

“Aku tidak menyalahkanmu atas semua pemikiranmu, tapi aku yakin kau punya banyak harapan untuk dapat melanjutkan sekolah.”

“Kau tidak mengerti jadi aku! kau tidak pernah merasa jadi aku! kau tidak tahu apa-apa! Aku muak dengan negeri ini! Dan aku lebih muak pada diriku sendiri! Aku merasa lebih hina dari dari seekor katak yang tak bisa melompat! Aku ingin menyusut bersama kabut yang beringsut mengering tanpa harus mengerang.”

Skak mat! Perkataanmu mampu membuat semua sistem dalam tubuhku terhenti.

“Sekarang kau pikirkan. Untuk apa kau sekolah?”

Itu adalah kalimat terakhir yang kau muntahkan padaku. Hingga saat ini, mungkin hingga waktu berhenti. Hingga masaku habis. Hingga aku tak bisa lagi merenda angan. Dan apa yang salah dari perkataanku? Aku sungguh tak memahami apapun yang kau rasa dan kau cipta dalam otakmu.

Detik ini. Detik ke empat ratus dua puluh lima aku menatap punggungmu. Aku tahu kau akan terus diam dan mendiamkanku. Andaikan sukmaku mampu untuk menyentuh sanubarimu, semua sunyi yang memilukan ini pasti berakhir seperti karma yang meluruh. Aku menundukkan kepala, aku terlalu tidak tahu apa yang harus aku perbuat padamu. Aku melihat sebuah tangan meletakkan secarik kertas ke dekat tanganku. Sudut mataku menangkap seorang bercelana abu-abu berdiri di sampingku. Aku tahu itu kau. Karena itulah aku tetap menunduk. Entahlah, aku merasa nista di matamu.

Kau berjalan dan menyampirkan tas di bahumu, melangkah menyusuri koridor hingga sosokmu tak mampu lagi ditangkap mataku. Aku menatap secarik kertas yang kau berikan padaku.

Benar.

Aku memang hanya piku yang kelabu



24 September 2011

20:48 WIB


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun