Mohon tunggu...
Feda Anisah Makkiyah
Feda Anisah Makkiyah Mohon Tunggu... Spesialis Bedah Saraf

selalu mencoba sederhana dan berbagi apa yang dipunya

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

"Sudden Death" pada Dokter Spesialis Muda, Saatnya Memanusiakan Dokter

16 Oktober 2017   11:06 Diperbarui: 17 Oktober 2017   11:30 13704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Gemedic.co.uk

Pagi ini saya dikejutkan dengan kabar Whatsapp yang  beredar di grup RS yang mengabarkan bahwa teman sejawat kami meninggal mendadak di dini hari setelah semalamnya melakukan operasi di sebuah rumah sakit. Terus terang saya sangat terkejut dan sejenak menjadi merenung sendiri, sekaligus sedih.

Masih ingat beberapa bulan yang lalu, seorang dokter spesialis muda meninggal di kamar jaga sebuah rumah sakit. Berita itu menjadi viral berhari-hari dan dibahas di beberapa koran tetang sindrom yang kemungkinan menyebabkan sudden death. 

Rasa terkejut dan introspeksi sendiri menyelimuti pikiran saya. What is wrong ????

Apa yang salah dengan pendidikan dokter spesialis

Menjadi dokter spesialis adalah impian semua mahasiswa kedokteran. Memang dokter spesialis senior berhasil menciptakan gambaran kehidupan yang sangat mapan di umurnya. Berlomba-lomba dokter umum langsung memasuki dunia spesialis. 

Mulai tahun 2000, terjadi transformasi pendidikan dokter spesialis di Indonesia. Mahasiswa kedokteran angkatan 1993 dan lulus tahun 2000, adalah angkatan pertama yang bisa langsung memasuki dunia spesialis tanpa pengalaman bekerja sebagai dokter umum terlebih dahulu.

Entah ide siapa hal itu, tetapi yang jelas semenjak tahun itu, dunia pendidikan spesialis lebih terkesan matrialistis dan koneksitas tinggi. Sementara yang memang belum ada apa-apanya, lebih memilih bekerja dulu, menabung kemudian baru mendaftar sekolah.

Kenapa harus menabung terlebih dahulu? Karena sebagai dokter yang menjalani pendidikan spesialis disebutnya residen, harus bisa sekolah tanpa digaji sepeserpun. Meskipun, tahun tahun belakangan ini ada reformasi diberi gaji, tetap saja tidak memadai untuk dedikasi waktu, tenaga yang dikeluarkan. 

Biasanya yang berasal dari orang tua yang mampu, akan tenang menjalani pendidikan. Yang tidak mampu, harus berjibaku, kerja sana-sini sambil sekolah dan mengirit habis. Waktu saya sekolah spesialis bedah saraf selama 6 tahun, saya hanya berbekal motor legenda tahun 1996, yang membawa saya wara-wiri rumah-rumah sakit selama 6 tahun dan harus bekerja di klinik untuk menambal hidup dan tentunya hidup irit.

Artinya selama pendidikan, tenaga, waktu, hati semua diperas. Yang terjadi setelah selesai adalah berlomba-lomba mempercepat mencapai level mapan di bidang ekonomi hidup.

Apa yang salah dengan gaji dokter spesialis

Sistem penggajian yang dianut di Rumah Sakit sekarang ini berbanding lurus dengan pembayaran BPJS. Hanya sedikit RS yang bisa tidak tergantung dengan BPJS, dan tentunya itu juga hanya RS elite yang dihuni oleh dokter-dokter senior. Bisa dibilang hampir 70 persen dokter spesialis di Indonesia mengandalkan pembayaran BPJS ke RS.

  • Pembayaran BPJS bedasarkan pasien
  • Dokter spesialis dibayar bedasarkan jumlah pasien yang ditangani. Bisa dibayangkan, dokter spesialis mesti kerja  pagi di RS A, Siang RS B, Sore RS C. Belum lagi dengan macet dan cape yang hinggap di badan. Keuntungannya  jumlah pasien banyak, kerugiannya,  badan remuk redam dan kualitas servis ke pasien akan lebih baik jika hanya mendedikasikan waktunya di satu RS.
  • Pembayaran BPJS  kurang lebih tidak sesuai waktunya.

Dokter spesialis kadang harus tanpa bisa membantah untuk setuju kalau habis kerja, belum tentu bulan ini dibayar. Kadang memang harus terbiasa dibayar 3 bulan atau 4 bulan atau kadang kalau tidak ada kecocokkan klaim RS dengan BPJS,  jasa atau tenaga yang diberikan, tidak jelas rimbanya pembayarannya.

Dokter spesialis tidak boleh libur

Pasien di Indonesia terbiasa mengeluh inginnya hari libur juga dilihat sama dokter spesialis. Inginnya detik itu juga dilihat sama dokter spesialisnya. Jadi, sabtu minggu, hari kejepit nasional, dokter tetap harus lihat pasien.

Dokter spesialispun harus detik itu juga bisa mengangkat telpon, menjawab whatsap. Meski kala sedang tidur lelap  sekalipun. Kalau tidak masuk dalam buku catatan, dokternya tidak menjawab telpon berulang kali.

Siapapun yanng bekerja lebih dari 12 jam sudah pasti menuai cape luar biasa dan kualitas kerjanya tidak bisa konsisten terus baik. Apalagi kalau harus 7 hari dan  tanpa absen menjawab telpon atau konsulan di waktu malam. Siapapun pasti akan tumbang.

Saran penggajian dokter

Dokter di Indonesia sudah saatnya  dibayar bedasarkan fixed salary. Pemerintah harus tegas menerapkan gaji dokter bedasarkan kemampuan dan lama kerjanya. Tetapkan usia pensiun dokter, batasi jam kerja dokter, ratakan  penempatan dokter spesialis, berikan semua  fasilitas dokter spesialis untuk bekerja.

Sudah saatnya, dokter bisa lebih dimanusiakan, sebagaimana pasien ingin dimanusiakan. Tentunya dengan outcome improvement di pelayanan kesehatan. Bravo dokter Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun