Mohon tunggu...
Feby GabriellaSembiring
Feby GabriellaSembiring Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa dari program studi Pendidikan Matematika yang memiliki minat dalam penulisan artikel

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Perlukah Mendengar Pendapat Orang Lain?

15 September 2023   07:05 Diperbarui: 15 September 2023   07:10 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Kita tentu saja sudah terbiasa mendengar seseorang berpendapat, entah itu dalam sebuah forum formal ataupun dalam pembicaraan kita sehari-hari. Pendapat memiliki dua makna apabila ditujukan kepada pribadi seseorang. Sebuah pendapat bisa bermakna konstruktif (membangun) dan juga bermakna dekonstruktif (merusak). 

So, kalau ditanya perlukah kita mendengar pendapat orang lain terutama mengenai diri kita? Jawabannya tentu saja perlu apabila pendapat itu bersifat konstruktif ataupun mampu meningkatkan value diri kita. Namun apabila pendapat itu bersifat dekonstruktif yang justru bertujuan untuk sekedar mengusik atau bahkan ditujukan untuk menjatuhkan kita, maka tentu saja kita harus membuang jauh-jauh persepsi itu dari pikiran kita. Apakah ini bermakna kita adalah orang yang narsis? Tentu saja tidak. 

Kita tentu paham bahwa setiap manusia termasuk kita sendiri memiliki kekurangan, namun mendengarkan atau bahkan menyetujui perkataan orang lain yang bersifat dekonstruktif terhadap diri kita memungkinkan kita untuk tidak percaya diri dan terkadang dalam tingkatan tertentu membuat kita down dan perlahan mulai kehilangan nilai dari diri kita. 

Lalu apakah semua pendapat yang bermakna konstruktif selalu berisi kata-kata yang lemah lembut dan penuh pujian? Tidak juga. Terkadang pendapat konstruktif dapat berupa kritikan mengenai diri kita. 

Misalnya kita sedang berpidato di depan kelas, dan ada teman kita yang berpendapat bahwa pada saat berpidato kita cenderung melihat teks narasi yang kita bawa, sehingga intonasi kita menjadi kaku dan lebih tampak seperti sedang membaca, kemudian ia menyarankan kita untuk sesekali berbicara sambil menatap audiens. Hal ini tentu termasuk pendapat yang konstruktif karena dengan mendengarkan pendapat ini mampu mengupgrade diri kita menjadi lebih handal dalam berpidato. Dan tentunya masih banyak pendapat-pendapat konstruktif lainnya yang sifatnya kritikan yang terkadang sedikit pahit untuk didengar. Untuk ini juga kita perlu belajar memfilter pikiran kita sendiri. 

Nada suara yang keras dan tegas bukan selalu tentang amarah, dan nada suara yang lembut tidaklah selalu berisi sanjungan. Kembali mengenai pendapat tadi, jika kita mengalami suatu kejadian dimana seseorang berkata kasar dan melontarkan pendapat yang menjatuhkan kita, bagaimana kah kita harus meresponnya? Apakah dengan marah-marah? Atau kita langsung memercayainya dan murung seharian? Atau bahkan kita membencinya? 

Menurutku sendiri, respon yang tepat untuk menanggapi perihal itu ialah dengan menganggapnya sebagai sebuah pendapat yang tidak memerlukan tanggapan kita. Atau simplenya menganggapnya sebagai angin lalu saja. Kita tidak bisa membatasi orang lain berpendapat, apalagi mengatur isi pendapat orang lain. Terlalu egois namanya jika kita mengendalikan siapa saja yang bisa berpendapat terhadap kita. 

Setiap orang dibebaskan untuk berpendapat, itu merupakan hak setiap orang. Yang menjadi masalah disini adalah kita sangat suka mengambil peran dalam setiap tanggapan orang lain. Kita suka menjadikan diri kita sebagai pemeran utama dalam isi pikiran orang lain. Mengapa begitu? Karena pada dasarnya rasa tersinggung itu tercipta apabila ada pihak yang menyinggung dan ada pihak lain yang "merasa tersinggung". Kamu tidak akan pernah tersinggung jika pikiranmu tidak menyetujui hal itu. 

Saya pernah membaca sepenggal kalimat di sebuah buku yang kurang lebih bermakna demikian "Seseorang tidak akan merasa terhina (tersinggung) apabila ia tidak lebih dulu menghina dirinya." Maksudnya bagaimana? Agar lebih mudah saya akan menjelaskannya dengan menggunakan contoh, ini merupakan realita yang pernah saya alami sendiri. Sewaktu kecil saya sering diledek karena memiliki rambut yang keriting. 

Pada saat itu, perasaan saya tentu sangat marah dan sedih, saya bahkan pernah berniat untuk meluruskan rambut saja, meskipun hal itu berpotensi merusak rambut yang saya miliki. 

Pertanyaannya mengapa saya harus merasa marah ataupun sedih? Pada dasarnya pernyataan ini bersifat netral, tidak bermakna sama sekali sampai saya mengambil kesimpulan dan memaknainya sebagai ungkapan negatif. Hal ini terjadi karena sebelum orang lain meledek, saya sudah terlebih dahulu beranggapan bahwa rambut keriting yang saya miliki itu jelek atau tidak sebagus rambut teman-teman saya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun