Mohon tunggu...
Feby Siahaan
Feby Siahaan Mohon Tunggu... -

Lulus S1 Teknik Sipil UNPAR tahun 1996, dan melanjutkan S2 di Rotterdam Business School, Netherland tahun 2003 atas beasiswa dari pemerintah Belanda. Mengawali karir sebagai penulis/reporter ekbis di Majalah D&R (s/d thn 1999), TEMPO (s/d 2005). Hingga kini berkarir profesional di sebuah konsultan keuangan di jakarta sebagai Associate Manager Training&Development division. Juga aktif mengajar dikampus, korporat maupun kementrian untuk topik Media Handling, Interview Skill dan writing skill for Humas/PR. Saat ini sedang mengambil kuliah paskasarjana di UPH untuk bidang komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Volvo Fallacy Pada Kasus KPK Vs Polisi

9 Februari 2015   01:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:35 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“When making judgments, most people ignore sound generalization (e.g what reported in research from studies of large number of people) and give preference to vivid personal experience.” Nisbett R.E &Ross L (1980). Human interference: Strategies and shortcomings of social judgment. Englewood Cliff, NJ: Prentice – Hall)

Nisbet dan Ross selanjutnya menyebut fenomena ini sebagai “Volvo Fallacy”; sebuah tendensi manusia dalam berkomunikasi (asli kata dari bhs latin, commūnicāre, berarti share meaning)

*

Fakta pertama: sebuah survey nasional yang sangat valid atas 10000 pemilik Volvo menyebutkan bahwa mobil merk Volvo sangat reliable. Fakta kedua: kemaren Anda melihat mobil Volvo tetangga Anda teronggok dipinggir jalan karena kerusakan mesin. Kedua ilmuwan tersebut menemukan bahwa Anda (dan mayoritas manusia lain) akan cenderung mengabaikan fakta pertama dan lebih ‘terikat’ pada fakta kedua.

Masyarakat cenderung mempercayai informasi yang ‘firsthand’ (tangan pertama), konkrit dan pengalaman yang vivid/pasti dibandingkan sebuah riset yang terkesan abstrak dan menggeneralisasi.”

Volvo Fallacy dapat menjelaskan mengapa SULIT bagi masyarakat (termasuk saya juga) untuk lebih mempercayai Kepolisian dibanding KPK.Atau jika dibalik, lebih mudah mempercayai KPK dibanding polisi. Saya rasa pilihan itu bukan masalah mau tidak mau….. saya sih sejujurnya ingin mempercayai polisi. *tapi rasanya seperti dipaksa memercayai seseorang yang telah menyakiti hati berulang ulang kali….weissss, sedappph*

Dari segi usia institusi, POLRI jauh lebih ‘tua’ dibanding KPK.Jadi, bisa jadi jangan jangan KPK juga kalau usianya sudah ‘semapan’ Polri bakal sama aja...

Tapi, ….. ya itu, kembali lagi sekarang ini rasanya koq sulit mau percaya sama Polri.

Saya sejujurnya juga tidak mau terlalu berlebihan mendewa-dewakan KPK, dan para pimpinannya. Siapapun rasanya sulit mempercayai ada pejabat BERSIH SIH SIH 100% di Indonesia ini.Korupsi udah berakar, sampai kadang korup adalah hal normal dan jujur adalah sesuatu yang tak wajar. Tapi KPK beruntung, daily job-descnya bukanlah sesuatu yang bersinggungan LANGSUNG dengan masyarakat. Anda pasti ngga pernah dong…ngeliat ada orang-orang berlabel jakat KPK, seliweran dijalan…atau tempat tempat publik?

Nah! Sangat berbeda dengan kepolisian.

Begitu keluar dari rumah juga sudah langsung ketemu dengan bapak/ibu polisi.Dan terus terang saya sering lho melihat langsung kesalahan ‘oknum’ polisi dijalan. Misalnya aja, lagi macet macetan di Thamrin-Sudirman…lalu tiba tiba beberapa mobil nyelonong masuk jalur busway…. Bisa lho, dari 5 mobil yang disetop….3 lolos, 2 nya lagi ditilang. Lolos bukan karena mereka tancap gas. Kelima-limanya sih sama sama diberhentikan, tapi….ya itu, gak tau deh kenapa yang 3 kaga ditilang. Sesama anggota kah? Pejabatkah? Atau apa?........

Belum lagi kejadian yang TIDAK langsung dialami (firshand seperti contoh barusan), tapi saya lihat dengan mata sendiri via video. Misalnya video soal angkutan umum yang lempar “uang” dipengkolan lah, setoran dari preman lah…dst.Semua bukti kesewenangan itu bersinggungan langsung dengan kehidupan kita sehari hari.Nisbett dan Ross menyebutkan VIVID experience. Dengan kata lain, saya telah ter’infeksi’ Volvo fallacy.

Lha kalau KPK? Jika ada penyidik atau pimpinannya dituduh melakukan korupsi pasti ada detil detil susulan seperti: “pada saat kasus ANU, ditingkat pengadilan ANU, dipropinsi ANU.” Bukan VIVID personal experience bagi saya. Ya mirip seperti contoh VOLVO fallacy tadi.

Atau kalaupun nanti terbukti Samad adalah pria pada foto mesra “itu”, misalnya, lha terus?????? Apakah kemudian saya merasa terancam dan was was? Ya kagak. Itumah paling jadi urusan Samad dengan istrinya, dan Tuhan…tentunya.Tapi tidak lantas saya merasa ‘tidak ada kepastian hukum dijalan raya’ seperti kasus terobos busway tadi.

*

Bisa jadi, kita semua sudah tak lagi balance karena terkena efek ‘volvo fallacy’ ini. Sudah tak lagi bisa membedakan oknum, dan institusi. Satu Volvo mogok, tak membuat SEMUA Volvo adalah rongsokan. Sebaliknya 10 ribu Volvo reliable, tak mejamin TIDAK  akan ada SATU atau DUA Volvo  rongsokan.

Semoga fenomena ini bisa dipahami oleh semua pihak.Pertama oleh masyarakat, supaya kita juga tidak terlalu mendewakan satu pihak dan malah memojokkan pihak satunya. *saya yakin disetiap institusi terburuk sekalipun ada orang baik. Sebaliknya disetiap institusi yang terjujur sekalipun, ada orang buruk* Kedua, smoga kepolisian bisa memperbaiki kinerja dilapangan….karena persepsi masyarakat sangat, SANGAT cepat terbentuk dari apa yang terjadi disana.Ketiga, KPK…terutama oknum oknum pimpinan juga sebaiknya statementnya yang meneduhkan, bukan mengkompor kompori atau “memaksa” rakyat untuk memihak institusi yang satu dan menghujat habis yang satunya.

Trims.

(feby siahaan) - tulisan ini juga diunggah diblog www.febrinasiahaan.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun