Chairil Anwar lahir di Medan pada 16 Juli 1922 dari pasangan Toeloes dan Saleha. Ayahnya  bekerja sebagai pegawai pemerintah kolonial Belanda yang memberikan keluarganya kondisi ekonomi stabil. Minatnya pada sastra sudah terlihat sejak kecil, dan dia mulai menulis puisi sejak masa remaja.Â
Setelah pindah ke Jakarta pada tahun 1942, dia semakin serius untuk mengembangkan bakat menulisnya dan bergabung dengan lingkaran seniman serta intelektual di ibukota.Â
Meskipun pendidikan formalnya terbatas, Chairil Anwar mampu mengakses karya-karya sastra dunia berkat kegemarannya pada literatur. Hal ini mempengaruhi gaya dan tema penulisannya yang membantu membentuk karya-karya yang revolusioner dan berbeda dari zaman itu.
Pada awal 1940-an, Chairil Anwar memulai karier sastranya dan segera menonjol di antara penyair lainnya dengan gaya yang kontroversial dan inovatif. Puisi-puisinya yang pertama muncul di majalah-majalah sastra ternama seperti "Pujangga Baru" dan "Gelanggang" yang segera memikat perhatian pembaca dengan gaya bahasa yang lugas dan tema yang mendalam.
Pada tahun 1943, Chairil Anwar menerbitkan kumpulan puisi pertamanya yaitu, "Deru Campur Debu" (1943). Kumpulan puisi ini memperlihatkan kepribadian yang pemberontak dan pemikiran yang kritis terhadap kondisi sosial-politik zaman itu. Puisi-puisinya tidak hanya menggambarkan perasaan individualisnya yang kuat, tetapi juga semangat perlawanan terhadap norma-norma yang mengikat.Â
Salah satu karyanya yang paling terkenal yaitu, "Karawang-Bekasi" (1948), menjadi simbol perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan. Puisi ini tidak hanya dianggap sebagai karya orisinal yang penuh emosi, tetapi juga sebagai kritik terhadap kekejaman dan tragedi yang dialami bangsa pada masa itu.
Gaya penulisan Chairil Anwar ditandai oleh bahasa yang kuat, penuh emosi, dan sering kali eksperimental. Ia sering mengeksplorasi tema-tema seperti kematian, kesepian, perjuangan, dan kebebasan. Dalam karyanya, terasa kuat pengaruh eksistensialisme yang menunjukkan pandangan hidupnya yang pesimistis namun juga penuh semangat.
Chairil Anwar juga aktif sebagai penerjemah, mengadaptasi karya-karya sastra dari penyair dunia seperti Rainer Maria Rilke dan Edgar du Perron ke dalam bahasa Indonesia.Â
Terjemahan-terjemahannya tidak hanya menambah kekayaan sastra Indonesia, tetapi juga menunjukkan kemampuannya dalam menangkap esensi karya asli dan mengadaptasikannya ke dalam konteks lokal.Â
Meskipun dihormati sebagai salah satu penyair terbesar Indonesia, karya Chairil Anwar juga menghadapi kontroversi. Beberapa kritikus sastra pada zamannya menuduhnya melakukan plagiarisme karena banyak karya-karyanya yang merupakan adaptasi atau terjemahan dari puisi-puisi penyair asing.Â