Mohon tunggu...
Feby Indirani
Feby Indirani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis, Pencinta Kehidupan

Ruang berbagi pemikiran, pengalaman, bacaan, tontonan, apresiasi saya kepada kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memperkenalkan Indonesia (Cerita Press Trip Wartawan Jerman ke Jakarta-Makassar 1-7 Juni 2015)

8 Juli 2015   00:56 Diperbarui: 8 Juli 2015   00:56 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Saya kagum penulis di Indonesia ternyata banyak yang  perempuan, muda dan cantik. Sementara kalau di Jerman, biasanya laki-laki dan… tua..” ujar Susan Christely, wartawan ZDF TV ketika memperkenalkan diri saat diterima Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, dan diminta mengungkapkan kesan awalnya tentang Indonesia.  

Susan termasuk dalam rombongan Press Trip 16 wartawan yang datang untuk meliput dunia literasi Indonesia  yang menjadi Guest of Honor di Frankfurt Book Fair (FBF).  Banyak sekali media yang mendaftar ikut dalam perjalanan liputan ini, namun tak semua bisa diterima. Tetap semangat meliput Indonesia, akhirnya sejumlah media mengirim wartawan mereka dengan biaya sendiri.

Menangani program press trip wartawan Jerman ke Indonesia adalah salah satu agenda yang dipersiapkan Komite Media dan Hubungan Luar, dimana saya menjadi bagian darinya.  Selain bertahun- tahun terlibat aktif di dunia perbukuan Indonesia  sebagai pembaca, penulis, dan penggiat literasi melalui media,  saya pun berpengalaman bekerja sebagai wartawan.  Latar belakang spesifik ini ternyata  membantu  saya  menjalankan tugas ini. Menangani wartawan, konon membutuhkan ketrampilan tersendiri.

Sebelum press trip, beberapa rekan asal Jerman yang melihat daftar media yang akan datang sempat mengingatkan agar saya siap mental. Pertama, mereka adalah para wartawan sastra dan budaya yang berasal dari berbagai media terkemuka di Jerman. Die Ziet, Die Welt, FAZ, Taz, hanyalah sebagian dari deretan nama ngetop. Kedua,  ternyata  lebih dari separuh rombongan ini adalah wartawan senior, beberapa bahkan sangat senior. Usia mereka berkisar  pertengahan 40 hingga pertengahan 50.

 “Dan karenanya mereka bisa sangat kritis…dan mungkin bisa sulit ditangani,” ujar seorang rekan dari Jerman. Belakangan saya tahu, beberapa dari wartawan senior ini juga bergelar doktor.   Memang ada pula  wartawan muda, 30-an awal, namun rekam karyanya cukup diakui dan berpengalaman meliput panjang tentang negara tamu kehormatan FBF selama 4 tahun terakhir.

Wartawan senior dari media terkemuka dari negara manapun, lazimnya  memiliki standar tinggi. Ini tentunya bukan perjalanan pers pertama yang mereka pernah ikuti.  Rekan-rekan Jerman kami juga mengingatkan,  bersiaplah untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan seputar berbagai persoalan di Indonesia, dari mulai isu hukuman mati, Islam, lingkungan hidup, politik dan banyak lagi.   

So Little Time, So Much to Do…

Malam pertama para wartawan ini tiba dari penerbangan panjang dan menembus kemacetan Jakarta, mereka langsung diminta mengisi daftar untuk jadwal interview dengan narasumber. Sebagian besar narasumber ini adalah pengarang,  tapi ada juga praktisi di dunia literasi ataupun komite nasional, karena wartawan pun ingin tahu bagaimana persiapan Indonesia untuk FBF Oktober mendatang.

Tak tunggu dua kali panggilan, para wartawan ini langsung berdiri dan menuliskan nama, sambil membandingkan dengan daftar narasumber yang sudah mereka rencanakan sendiri.  Kadang mereka kebingungan menentukan prioritas karena jadwal press trip sangat ketat, padahal begitu  banyak pengarang Indonesia yang ingin mereka wawancarai.  Marten Hahn dari Krass MEDIA  melihat excel sheet di laptopnya, lalu mengacaukan rambutnya sendiri. “Aaah, banyak sekali narasumber penting…tapi saya terpaksa harus memilih..” keluhnya, galau.

Begitu banyak narasumber dan topik menarik.

Begitu sempit waktu.

Secara umum, orang Jerman terkenal dengan kebiasaan mereka memiliki perencanaan jangka panjang. Karenanya sejak jauh-jauh hari PR agency kami di Jerman sudah mendistribusikan mini biografi sebagian besar narasumber yang akan mereka temui di Indonesia. Namun tak terhindarkan, daftar narasumber kerap berubah karena kesibukan dan jadwal masing-masing.  Helvy Tiana Rosa, pengarang karya-karya Islami misalnya terpaksa membatalkan kehadirannya karena sedang sibuk menggalang dana untuk sebuah produksi film.  A.S. Laksana pengarang peraih penghargaan, sedang sibuk menyelenggarakan festival sastra di Kupang, Nusa Tenggara Timur.  Banyak lagi perubahan yang terjadi di saat-saat akhir dengan narasumber lainnya.

Beberapa wartawan sudah mendaftar jauh-jauh hari untuk mewawancara narasumber tertentu, tapi banyak  juga yang baru memutuskan last minute berdasarkan pengamatannya di lapangan. Ternyata ada kesamaan  dengan karakter wartawan Indonesia, atau beberapa negara lain yang pernah saya kenal, yaitu senang  berimprovisasi.  Ada sih yang mewajibkan diri  membaca tuntas karya si penulis sebelum wawancara. Tapi ada juga yang lebih cuek, langsung go show dan mengajukan pertanyaan. Ada yang penuh sekali daftar narasumber yang ingin diwawancarai, tapi ada juga yang bersikap lebih berjarak, mengamati situasi dan berupaya mengambil narasumber atau angle berita yang berbeda dari rekan-rekan wartawan.

Antusias Mewawancara

Terlepas dari karakter masing-masing wartawan, saya melihat satu hal yang membuat hati bungah. Mereka sangat bersemangat mewawancarai para pengarang Indonesia. Kami selalu harus membuat antrean untuk mengatur proses wawancara. “Kalau tidak diatur urutannya, mereka bisa bertengkar,“ ujar Kirsten Lehnert, staf PR Agency yang mendampingi perjalanan pers ini.

Bisa dibayangkan, jika seorang narasumber diwawancarai 5 media berbeda, masing-masing meminta waktu  20-30 menit, itu sudah membutuhkan 2 jam.  Padahal dalam proses wawancara, seringkali pertanyaan berkembang sehingga waktu bisa molor. Dan yang namanya wartawan, biasanya enggan mewawancarai narasumber bersama dengan media lain. Saya hapal itu, karena dulu saya biasanya pun tidak mau melakukan group interview, kecuali terpaksa. Wawancara yang mendalam dan ekslusif nyaris selalu jadi tujuan semua wartawan.

Kirsten seorang PR berpengalaman. Dugaannya benar, sudah diatur  pun hasilnya tidak selalu sesuai rencana. Hal ini sudah terjadi sejak di agenda wawancara pertama, yaitu di Dewan Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. Lebih dari 10 orang wartawan  ingin mewawancara Linda Christanty, sastrawan, jurnalis dan anggota Komite Sastra DKJ. Agar lebih efisien, kami mencoba mengaturnya dengan meminta mereka melakukan wawancara bersama selama 10 menit, agar pertanyaan yang basic tak perlu berulang, dan setelah itu baru mulai melakukan wawancara untuk masing-masing media.

Meski demikian, tetap saja jadwal mulai molor. Dua wartawan di  urutan paling buntut pun mulai cemberut. Sementara wartawan TV yang sedang melakukan wawancara tetap saja fokus mendengarkan penjelasan Linda, tak peduli panitia berusaha memberikan kode dengan sopan bahwa giliran mereka sudah habis. Wartawan yang paling akhir menampakkan muka kecewa. Ketika akhirnya berhasil berbicara dengan Linda, ia tak tega mewawancarai terlalu lama karena waktu makan siang nyaris lewat. “Linda sudah terlalu lelah,” ujarnya.   

Tak hanya Linda yang diwawancarai di agenda pertama itu. Ada pula komikus Beng Rahadian, dan penyair Zen Hae. Para petinggi DKJ, Irawan Karseno, Alex Sihar, Aksan Sjuman, juga berbagi wawasan dengan para wartawan ini. Memang, antrean wawancara kepada Linda paling panjang, karena selain buku esainya Jangan Tulis Kami Teroris akan diterbitkan ke dalam bahasa Jerman, banyak pula yang tertarik dengan latar belakang jurnalistik Linda yang  lama meliput di Timor Timur dan Aceh. Selain itu, para wartawan tertarik bertanya lebih jauh ketika Linda memberikan pendapatnya bahwa tidak ada penulis komunis di Indonesia.

Antusiasme terus terlihat di sepanjang agenda wawancara di hari-hari berikutnya. Protes pun keluhan karena merasa kurang waktu wawancara tetap terdengar, tapi akhirnya  banyak juga yang paham situasi serba terbatas ini dan mau berkompromi dengan sesekali bersedia melakukan wawancara berdua, atau bertiga dengan rekan media lain.

Agenda  perjalanan pers berlangsung di Jakarta, kemudian Makassar. Komite Media memang sengaja mencocokkan jadwal kunjungan pers ini dengan Makassar International Writers Festival yang berlangsung 4-7 Juni. Makassar adalah salah satu pusat terpenting perkembangan sastra di Indonesia Timur.  

Dari Makassar, mereka kembali lagi ke Jakarta. Hingga hari terakhir sebelum pesawat pulang ke Jerman, masih berlangsung wawancara dengan sejumlah narasumber : sastrawan, arsitek, musisi, hingga wartawan Jerman yang tinggal di Jogja dan menulis buku tentang Indonesia. Sebagaimana sudah diprediksi, sejumlah pertanyaan di luar literasi–kritis maupun awam-- muncul dalam wawancara maupun dalam percakapan sehari-hari.  

Indonesia yang Minim Dikenal

Antusiasme media Jerman memberitakan Indonesia ini adalah salah satu dampak positif terpilihnya Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di FBF tahun ini.

Saya teringat pengalaman saya mengikuti fellowship untuk wartawan, International Journalist Program di Jerman pada 2010. Saat itu saya sempat magang di Financial Time Deutschland Berlin selama sebulan, dan sulit sekali bagi saya  bisa menulis sesuatu tentang Indonesia di harian tersebut. Halaman mereka untuk porsi pemberitaan Asia begitu terbatas. China dan India, Pakistan, Afghanistan cukup sering mengisi halaman ini. Satu-satunya artikel saya yang akhirnya tembus dalam sebulan upaya,  akhirnya adalah kehebohan video seks musisi Ariel yang ketika itu pun mendapat perhatian sejumlah media di Jerman.

Ironis? Ya. Tapi seharusnya mudah saya tebak. Ketika saya berada di Jerman, jarang saya mendapati orang tertarik pada Indonesia. Di antara peserta fellowship, saya merasakan perbedaan respon yang muncul ketika kami menyebut negara asal kami. China, ya mereka mudah dikenali secara fisik dan begitu familiar bagi orang Jerman. Banyak pula buku pengarang China yang sudah diterjemahkan ke bahasa Jerman.  India, wah banyak orang Jerman penggemar berat film India dan aktor Shahrukh Khan. Rasanya tak ada yang tidak menunjukkan kekaguman pada dua negara berpenduduk terbesar ini.  Lalu Vietnam,  yah setidaknya banyak yang langsung menghubungkan dengan makanannya. Bahkan kepada kawan dari Bhutan, negara kecil yang konon terbahagia, orang-orang rata-rata merespon takjub karena, “Wah mungkin kamu orang Bhutan pertama yang pernah saya temui. “

Tapi Indonesia?

Kebanyakan dari mereka pernah mendengar, tapi sangat sedikit wawasan maupun ketertarikannnya terhadap Indonesia. Suatu ketika, saya mendapati pertanyaan. “Bagaimana bentuk rumah-rumah di Jakarta kota tempatmu tinggal?” Setelah melongo satu detik, saya menjelaskan sambil setengah bingung dengan pertanyaan itu, bahwa rumah di kota saya sama saja dengan di Berlin, “Ada dinding, lantai, atap ya sama seperti di sini.”  

Belakangan saya baru sadar,  sepertinya kenalan saya itu membayangkan rumah-rumah di Jakarta berciri tradisional, mungkin semacam beratap rumbia atau alang-alang. Tidak terlintas di kepalanya, Jakarta memiliki begitu banyak high rise building.

Juga video seks yang menggemparkan. Sebuah video seks beredar di negara dengan penduduk muslim terbesar.

Saat itu saya hanya bercita-cita, suatu hari nanti ada lebih banyak berita positif tentang Indonesia.

Itulah salah satu misi kami di Komite Nasional untuk Indonesia sebagai Tamu Kehormatan Frankfurt Book Fair. Kami ingin mengupayakan percakapan-percakapan yang lain tentang Indonesia di media-media internasional. Bukan hanya Bali, tsunami, gempa bumi, terorisme, tapi  juga cerita-cerita menarik yang belum banyak diketahui. Bahwa Indonesia memiliki banyak karya sastra dan intelektual. Bahwa begitu banyak upaya yang terus dikembangkan untuk meningkatkan minat baca, termasuk inisiatif unik perahu pustaka yang berasal dari warga.  Bahwa Presiden Indonesia begitu rendah hati dan Gubernur DKI Jakarta—ibukota yang sulit dibenahi ini—menyempatkan waktu setiap pagi  mendengarkan keluhan warga yang antre menunggunya di Balai Kota.

Serta segala hal mencengangkan lainnya.

Dan tentu saja, semua ini barulah langkah-langkah kecil, sebuah mula perjalanan, untuk memperkenalkan lebih banyak lagi tentang diri kita. Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun