Mohon tunggu...
Feby Indirani
Feby Indirani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis, Pencinta Kehidupan

Ruang berbagi pemikiran, pengalaman, bacaan, tontonan, apresiasi saya kepada kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Poligami : Jalan Surga Perempuan ‘Shalehah’?

6 April 2015   16:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:28 1072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ratusan lelaki bersatu mendirikan Poligami Sakinah Group (PSG). Kabar pendirian grup ini sempat menjadi topik pemberitaan di media massa pada 26 Maret 2015 lalu,.

Para lelaki dari sejumlah daerah di Indonesia sepakat membentuk grup untuk mewadahi aspirasi para pelaku poligami. Sedikitnya PSG sudah beranggotakan 270 orang dengan beragam profesi, mulai dari guru, pengusaha dan sebagainya. Sekitar 60 persen anggota PSG adalah pelaku poligami. Sisanya adalah pendukung poligami.

Menurut salah satu penggagas Poligami Sakinah Group, Imam Mawardi, grup ini dibentuk karena kegelisahan atas perlakuan negara terhadap pelaku poligami.

“Kami ingin menjalankan syariah yang selama ini tidak diadopsi dan bahkan dikebiri oleh negara kita,” kata Imam, pria asal Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur sebagaimana dikutip dari tempo.co (berita bisa dilihat di http://goo.gl/Pr0891 )

Praktik poligami biasanya selalu mendapat kritik dari kalangan aktivis perempuan sebagai bentuk penindasan. Namun di sisi lain, kita menyaksikan banyak pula istri yang menyatakan ikhlas dipoligami, karena mereka ingin menjadi perempuan yang shalehah. Salah satunya adalah Ninih Muthmainnah, istri kyai terkenal Abdullah Gymnastiar atau akrab disapa Aa Gym pernah bertutur tentang keputusan poligami yang dilakukan suaminya pada 2006.

“Memang, kita harus menaati suami, selama suami sesuai dengan syariat Islam. Sebagai istri yang ingin shalehah, tentu saya harus ikhlas menerima kenyataan ini. Pernikahan Aa dengan Rini mudah-mudahan menjadi jalan meraih ridha Allah SWT dan surga-Nya," ujar Teh Ninih, begitulah ia biasa disapa. Di tahun 2011, Aa Gym menceraikan Teh Ninih yang merupakan ibu dari tujuh anaknya, namun kemudian menikahinya kembali pada 2012. Kini Rini lah yang menjadi istri pertama. “Saya ikhlas, “ ujar perempuan bernama lengkap Alfarini Eridani ini. RIni memandang poligami adalah sesuatu yang biasa.

Lalu apakah melarang atau mempersulit poligami termasuk diskriminasi kepada muslim yang meyakini bahwa berpoligami adalah menjalani syariah Islam seperti para anggota PSG? Bagaimana jika perempuan menyatakan rela dipoligami, bukankah ini merupakan keputusan yang juga layak dihargai?

Adakah Perempuan Muslim Sungguh Bebas Memilih?

Hidup sebagai perempuan muslim memang kerap tidak mudah, terlebih ketika dibenturkan dengan kehendak para suami untuk berpoligami. Selintas, perempuan muslim seperti Ninih, Rini dan banyak lagi seolah memang memilih untuk menerima poligami yang dilakukan suami mereka. Toh bukankah Islam memberikan pilihan untuk bercerai?


Saya setuju bahwa perempuan muslim memiliki pilihan dalam Islam. Namun yang terjadi seringkali tidak sesederhana itu. Pertama, dalam menginterpretasi ayat-ayat Al Quran banyak yang berpandangan bahwa tidak semua orang bisa melakukannya. Hanya "orang-orang dengan maqam tertentu " saja yang boleh. Kyai, ulama biasanya dianggap yang paling berhak, dan sayangnya mereka ini kebanyakan para laki-laki yang masih bias gender (seringkali karena mengacu pada pandangan kyai di masa lalu yang juga bias gender).

Artinya 'pilihan bebas' bagi perempuan muslimah kerap tidak sepenuhnya ada. Katakanlah begini. Bercerai itu halal dalam Islam, tapi singgasana Allah terguncang karenanya. “Tapi bila kamu mau dipoligami maka surga imbalannya. Kalau kamu mau dipoligami, kamu akan menggapai cinta Allah. Hayo kamu, perempuan muslimah, pilih yang mana?” (redaksinya tidak persis seperti itu, tapi begitulah kira-kira).

Ini pernah saya alami sendiri pada 2001 saat saya menjadi salah satu peserta pesantren mahasiswa di Darut Tauhid. Hampir dalam setiap materi meski yang tak terkait sekalipun, isu poligami selalu muncul, baik dibahas secara khusus maupun sekedar bercanda. Saat itu saya baru menyadari, betapa kampanye poligami sangat kental di sana. Jadi saat akhirnya Aa’ Gym berpoligami, saya termasuk yang tidak terkejut. Karena sosialisasi dan kampanye mengenai pentingnya poligami sudah lama didengungkan di pesantren yang didirikannya.

Pendidikan yang ditanamkan di Darut Tauhid jelas. Kalian para ikhwan, jadilah laki-laki yang sebaik-baiknya dari segi apapun (kecerdasan, finansial dan segala sesuatunya) agar mampu menikahi lebih dari satu perempuan. Ini adalah solusi yang telah disiapkan Islam untuk mengatasi persoalan umat yaitu kemiskinan, pelacuran dan jumlah lelaki yang jauh lebih banyak daripada perempuan. Maka bagi para akhwat kalau mau menjadi perempuan shalehah, tak ada pilihan lain, kalian harus mempersilakan suaminya menikah lagi. Jika tidak mau dipoligami, artinya kami yang tidak ikhlas, kami yang tidak shalehah, kami yang kurang kuat imannya dan sebagainya.

Kalau sudah begini, apakah kami bisa betul-betul bebas memilih? Siapa sih yang tidak ingin jadi perempuan shalehah pemegang kunci surga?

Selesai menjalani pesantren, saya yang juga sempat tercuci otak, menyetujui bahwa poligami adalah jalan keluar terbaik bagi persoalan umat. Akhirnya untuk beberapa waktu saya sempat memilih : saya tidak mau menikah. Tapi keputusan itu terasa mengganjal dan mendorong saya terus belajar lebih banyak tentang poligami dalam Islam. saya tetap tak habis mengerti. Kenapa agama yang saya peluk kemudian tak menghargai fitrah keperempuanan saya yang mendambakan kesetiaan dari pasangan? Lantas, buat apa menikah kalau sebagai perempuan shalehah saya harus merelakan suami saya nantinya akan menikah lagi? Keputusan itu pun dalam kacamata agama, akan terbentur lagi. Jangan sampai tidak menikah, nanti tidak menjalankan separuh agama, tidak termasuk umat Nabi Muhammad dan sebagainya.

Benarkah Poligami adalah Jawaban?

Dalam proses selanjutnya, saya membaca lebih banyak tentang poligami dari para pemikir Islam yang memiliki perspektif berbeda. Berikut akan saya sandingkan pendapat yang umum dianut para pemikir Islam yang pro poligami dengan yang menolak atau setidaknya tidak mendukukung poligami.

Poligami kerap dianggap sebagai jalan keluar terbaik bagi persoalan umat dengan argumentasi:


1. Jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki, jadi dari pada ada perempuan yang tidak menikah (yang mana itu separuh dari agama) maka para lelaki beristrilah lebih dari satu.
2. Untuk melindungi perempuan janda atau lajang agar tidak terjerumus kepada pelacuran
3. Laki-laki memiliki kebutuhan seks yang lebih besar dan lebih bervariasi daripada perempuan. Bagi laki-laki daripada selingkuh dan berzina lebih baik berpoligami.

Sementara pendapat yang kontra atau tidak mendukung poligami adalah :

1.Ada kecenderungan keliru dengan data statistik. Data statistik baik di Indonesia menunjukkan jumlah perempuan dan laki-laki seimbang, bahkan di sejumlah negara lain justru jumlah laki-laki lebih banyak. Jumlah perempuan bisa lebih banyak umumnya juga disebabkan usia hidup perempuan lebih panjang daripada laki-laki. Artinya para lelaki maukah mengambil istri kedua, ketiga dan keempatnya janda-janda tua beranak banyak? Aa Gym menikahi Rini yang seorang janda, tapi toh muda dan cantik.

2. Cendikiawan muslim Nasaruddin Umar pernah mengatakan poligami dan upaya mencegah pelacuran tidak berbanding lurus. Akar masalah pelacuran adalah kemiskinan, kebodohan, dan kurangnya lapangan kerja. Saya sih memang belum punya data riset secara ilmiah. Tapi kenyataannya, seberapa sering sih kita mendengar lelaki mengambil istri kedua dan ketiganya dari kalangan pekerja seks komersial?

3. Apakah pernikahan semata dipandang sebagai urusan perut ke bawah? Urusan seks semata?Kalau memang iya, saran saya lebih baik masturbasi saja. Ok lah ada yang menilai masturbasi itu dosa. Tapi menyakiti hati istri pertamanya, dosa juga kan? –persoalan pilihan dosa personal (kita dengan Tuhan) atau dosa sosial (sesama manusia)

Melihat kedua sudut pandang ini, menyatakan poligami adalah satu-satunya jawaban dari persoalan umat yang karenanya juga harus difaslitasi dan dikampanyekan, sesungguhnya tidak berdasar. Bahkan poligami amat berpotensi menjadi bentuk kekerasan dalam rumah tangga, yang bisa berdampak negatif baik kepada istri maupun anak-anak.

Sebagian orang memperdebatkan masalah keadilan yang relatif. Ada yang menganggap bila para istri itu merasa diperlakukan adil, kenapa kita harus meributkannya?

Dalam hal ini ada sebuah proses hegemoni kekuasaan bekerja. Sangat halus, tak kasat mata, dan karenanya sangat efektif. Hegemoni ini terlihat pada para istri yang dimadu dan kompak itu.


Saya kembali mengutip Nasaruddin Umar bahwa kebanyakan para perempuan yang rela hidup rukun bersama madunya dalam keluarga poligami umumnya sudah beradaptasi dengan ketidakadilan. Ini mirip dengan perbudakan. Bagaimana jaman dulu para budak itu menganggap bahwa memang sudah takdirnya menjadi budak. Maka itulah yang harus mereka jalani.

Nasaruddin Umar mengutip cerita Nabi Ayub. Saat ia sedang sakit, sekujur tubuhnya dipenuhi luka borok dipenuhi belatung dan ulat, ia diasingkan oleh semua orang, termasuk istrinya. Kemudian ia memandangi ulat yang keluar dari lukanya itu dan ia berkata, "Ulat, aku dulu jijik padamu. Tapi kini, kau satu-satunya temanku."

Manusia adalah makhluk yang bisa menyesuaikan diri dengan apapun juga. Termasuk penderitaan. Tapi bukan berarti kita bisa mengatakan bahwa Ayub bahagia dalam ukuran masyarakat luas kan? Saya merasa perempuan-perempuan yang dipoligami dan kelihatan kompak itu juga begitu. Segala sesuatu menjadi terasa 'baik-baik saja' bila kita sudah terbiasa dengan hal itu, benarkan?


Poligami, benarkah Syariah?

Sebagian laki-laki berpoligami dengan alasan itu lebih baik dibandingkan selingkuh. Saya juga menolak perselingkuhan. Lagipula kata siapa hanya laki-laki yang membutuhkan variasi? Perempuan sebenarnya juga butuh variasi kok. Tapi bagi perempuan, hal semacam ini kan sudah ditutup rapat-rapat dari pintu apapun. Jadi dari titik berangkatnya memang sudah tidak seimbang. Laki-laki dianggap punya pintu darurat, perempuan tidak akan pernah.

Saya rasa, seandainya dibolehkan secara norma sosial dan agama ada banyak perempuan yang membutuhkan lebih dari seorang laki-laki.

Tentu bicara sebuah relasi semacam pernikahan, bagi perempuan (seharusnya bagi laki-laki juga kok) tidak hanya persoalan seks saja. Si laki-laki A bisa memenuhi kebutuhan dia dalam satu hal, laki-laki B bisa memenuhi kebutuhan dia dalam hal lain lagi. Dan dia bisa mencintai keduanya dengan derajat yang setara. Contoh saja, dalam Undang-Undang Perkawinan, laki-laki boleh menikah lagi kalau istrinya cacat atau tidak bisa memberikan keturunan. Bagaimana kalau yang terjadi sebaliknya? Si istri masih mencintai suaminya yang mandul, sekaligus ingin mengalami melahirkan?

Saya tutup tulisan ini dengan kembali menceritakan pengalaman saya di pesantren Darut Tauhid (Agustus 2001)

Suatu pagi, pada ceramah pasca sholat subuh, Aa Gym tiba-tiba membawa isu poligami. “Bagaimana ya, poligami itu bisa menjadi solusi bagi persoalan umat, namun memang masih banyak muslimah yang sulit menerima itu,” demikian kira-kira kalimat Aa yang disampaikannya dengan ekspresi cukup empatik.

Seorang teman perempuan saya berdiri dan berbicara. Ia tak setuju poligami karena, “Ayah saya berpoligami tanpa ijin Ibu saya. Dan saya tahu persis bagaimana menderitanya ibu saya.”

Dengan tenang Aa Gym menjawab bahwa untuk poligami memang tak perlu ijin kepada istri. Hal itu sah dilakukan dan benar di mata agama.

Ia pun bercerita bagaimana teh Ninih menangis ketika Aa bicara tentang poligami. Teh Ninih merasa sedih, kenapa ia belum juga merasa ikhlas kalau Aa Gym ingin berpoligami. Teh Ninih merasa bersalah dengan ketakrelaannya suaminya itu menikah lagi. Subuh itu pun jadi basah air mata dari para santri perempuan. Saya dan teman-teman saya. Kami merasa serba salah, merasa terhimpit antara ketidakikhlasan berbagi cinta dan keinginan untuk menjalankan agama secara kaffah.

Terus terang, ini yang membuat saya paling terganggu. Begitu banyak laki-laki seperti para pendiri Poligami Sakinah Group yang menjalankan poligami atas nama syariah. Begitu banyak orang yang berprofesi sebagai ulama menggunakan iming-iming surga dan cinta Ilahi. Para lelaki ini menggunakan intepretasi sempit mereka atas syariah serta otoritas keagamaan demi memenuhi hasrat.

Surga para perempuan ‘shalehah’ ternyata masih berada di tangan laki-laki. Laki-laki yang hendak berpoligami.

-Jika demikian, biarlah saya memilih untuk tidak ‘shalehah’-

[caption id="attachment_377101" align="alignnone" width="620" caption="Foto dari Tempo.co oleh Fotografer Santirta"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun