Mohon tunggu...
By
By Mohon Tunggu... Penulis - Merakit jadi cerpenis

Ini adalah aku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bara Memburu

15 Juli 2024   18:16 Diperbarui: 15 Juli 2024   19:48 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang anak manusia berdiri mematung memandangi arus sungai yang terlihat begitu deras, seakan siap menerjang apapun dan siapapun yang ada di depan sana, aliran itu berhasil menghancurkan batu dan hati yang begitu keras. Anak manusia itu berbalik, meninggalkan jejak kaki di atas jembatan, membawa kembali gejolak di dada yang masih terasa begitu berat. 

Tangannya menggenggam, seakan menggenggam bara dan harapan di kedua telapak tangannya. Setidaknya ia harus menangis, tapi air mata sedikitpun tak keluar dari kedua pelupuk matanya. Wajahnya terlihat muram, amarah seakan terpendam di dalamnya. Selalu begitu.

"Sedikitpun dunia tak mengizinkanku beristirahat barang sejenak", pikirnya. 

Rindai merasa hidupnya begitu suram, bara api dimana-mana hingga dadanya merasakan gejolak panas dari api yang membara itu. Bibirnya selalu diam seribu bahasa, namun batinnya meraung-raung, jiwanya bergemuruh bak lahar panas di gunung berapi. 

Tubuh yang tengah meringkuk itu terlihat lemah. Yah ia lemah, seperti tak berdaya untuk hidup di muka bumi ini, namun bersikap seolah-olah mampu hanya mengandalkan dirinya sendiri.

Hidup di dunia memang begitu melelahkan dan menakutkan. Meski begitu, mau tidak mau manusia yang telah lahir ke dunia harus tetap hidup sampai waktu yang telah ditentukan. Apa gunanya meraung? apa gunanya mengeluh habis-habisan? Bahkan apa hebatnya memilih untuk mengakhiri hidup? 

Manusia-manusia itu memang sudah kodratnya terlahir lemah. Tapi mereka lupa, bukankah ada Tuhan yang senantiasa menggenggam tangan mereka di kala kesulitan itu datang. Namun mereka mengabaikannya. Mereka lupa siapa yang telah menciptakan dirinya. Begitulah yang sedang dialami si Rindai.

Sepuluh tahun sudah ia hidup terluntang-lantung di negeri orang, hingga dadanya terasa sesak sendiri. Ia merasa dengan cukup mengandalkan dirinya sendiri hidupnya akan baik-baik saja. Namun apa yang telah terjadi selama sepuluh tahun belakangan nampaknya cukup tak baik-baik saja. 

Dua belas tahun yang lalu ia memilih meninggalkan kampung halamannya, namun ternyata secara perlahan-lahan ia juga memilih untuk meninggalkan Tuhannya. Keluarganya di kampung sana memang bukan keluarga yang agamis, tapi bapaknya sudah sangat cukup baik mengajarkan Rindai kecil tentang bagaimana ia harus hidup sebagai seorang hamba. Namun seiring ia beranjak dewasa petuah-petuah itu lambat laun ia tidurkan dalam ingatannya.

Masalah bak silih berganti Rindai rasakan, tiada hari tanpa ketenangan. Pikirannya hanya tertuju pada dunia, dunia dan dunia. Tanpa sadar selama ini ia telah hidup dalam keserakahan, namun ia tak pernah sadar akan hal itu. Mungkin memang Rindai belum sadar bahwa masalah yang silih berganti dan berlarut-larut itu bisa saja teguran dari Tuhan. 

Rindai lupa bahwa seluruh alam semesta adalah milik-Nya, dan semua bekerja di bawah kuasa-Nya. Rasa panas di dadanya berlarut-larut tak kunjung mereda. Mungkinkah rasa panas itu berasal dari sikap sombong yang ia tanamkan selama ini?

Hanya ada satu cara agar bara yang terasa membakar diri Rindai itu mereda, yakni kembali kepada Tuhan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun