Aroma khas mie yang dimasak menguar sampai ke hidungku, dengan mulut yang beberapa kali menguap, aku menunggu mie matang dengan sempurna. Suara jangkrik dari belakang pekarangan rumah mengisi ramai di malam yang sunyi ini. Hanya aku yang masih terjaga, aku pastikan yang lain telah hanyut ke alam mimpi. Ku lihat jam di dinding, yang dentingnya bersahutan dengan suara jangkrik.Â
"Udah jam 11 aja"Â batinku.
Dengan segera aku lahap mie yang telah matang tadi, memasukkannya ke dalam mulut untuk menyenangkan perut yang sudah aku abaikan selama berjam-jam. Bagaimana tidak, toko begitu ramai sehingga membuatku tidak sempat untuk sekedar membeli makan. Dan memasak mie instan adalah pilihan yang tepat untuk menghemat pengeluaran bulan ini. Lagi pula aku harus menabung dengan keras untuk bisa membayar uang kuliah di semester depan, jika aku ingin lulus.
Kasur ternyata tak kunjung membuatku terbuai, padahal mata telah memerah dan badanku juga telah lelah, bahkan sejak tadi mulutku tak berhenti menguap. Lantunan musik pengantar tidur akhirnya membersamaiku,Â
Sudah cukupkan keluh kesah itu biar menguap bersama rasa kantukmu ...,Â
mata terpejam, namun pikiranku melalang buana,Â
bagaimana masa depanku? apakah aku bisa wisuda? apakah aku bisa menyelesaikan skripsiku? apakah aku bisa mewujudkan mimpi-mimpiku? apakah aku bisa membanggakan ayah dan ibu? apakah aku bisa membuat mereka bahagia? apakah aku bisa terus bersama dengan orang-orang yang aku cintai?
Pertanyaan-pertanyaan dari alam pikirku itu tak kunjung mendapat jawaban, hingga kantuk benar-benar merenggutku, dan aku hilang bersama kekhawatiran yang terasa menyesakkan.
Waktu kurasakan semakin cepat berlalu, tanpa sempat aku melakukan banyak hal. Senin berganti selasa, pagi berganti malam, dan hari tiba-tiba saja berganti bulan. Aku berdiri di depan cermin dengan kecemasan-kecemasan yang memenuhi isi kepala tanpa tau kapan menemui kelegaan. Seakan membawa beban penuh di kepala, rasa sesaknya terasa sampai ke rongga dada, melahap jiwaku hingga keruh. Hasbunallah wani'mal wakil, kalimat itu aku rapalkan berulang-ulang, membasahi setetes demi setetes jiwaku agar kembali hidup.
Ting, satu pesan masuk mengalihkan perhatianku.
Ada dimana? jalan yuk, pesan masuk itu membuatku tersenyum tipis.
Aku duduk dengan manis di kursi taman kota setelah mengiyakan ajakan si pengirim pesan tadi.
"Mau es krim nggak?" tawarnya
"Boleh."
"Oke, tunggu ya"
Aku perhatikan ia yang terlihat asyik berbincang dengan abang penjual es krim itu. Hubungan yang telah berjalan hampir satu tahun ini, membuatku bersyukur bisa mengenal laki-laki itu. Vino namanya, dengan caranya ia membuat aku merasa dicintai. Meski tak banyak keluh kesah yang aku bagikan dengannya, karena takut membuat ia semakin merasa tak nyaman.
Di atas meja belajarku, buku bersampul biru muda itu bertengger dengan manisnya. Bibirku tak henti menyunggingkan senyum saat mengingat perkataan si pemberi buku ini siang tadi,
"Ini buat kamu, kamu bisa menulis apapun yang memenuhi isi kepalamu di buku ini, jangan dibiarin penuh, nanti berat, bisa bikin kamu sakit kepala,"
"Tapi lebih bagus lagi, kamu bisa ceritain hal-hal yang mengganggu pikiranmu ke aku, aku pendengar sejati tau."
Sejak kapan Vino belajar jadi cenayang? Apakah ia setau itu tentang isi kepalaku? atau hanya menerka-nerka?!
Dengan hati-hati aku membuka lembaran pertama, mengambil pena, tapi apa yang harus aku tulis dahulu?
Selasa, 7 Oktober 2022
Hai Overthinking, istirahat sebentar saja bisa tidak? kepalaku berat tau.Â
Terlalu memikirkan hal-hal di luar kendali kita emang nggak baik. Tapi siapa yang minta, mereka datang dengan sendirinya, merecoki isi kepala. Malam ini, aku ingin tidur dengan tenang. Jadi kalian, tolong pergi dulu dari kepalaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H